Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Tidak semua orang jepang begitu

Tidak semua orang jepang merayakan hari natal dengan pesta yang mewah. ada anggapan bahwa hari raya agama adalah sebagai adat di jepang. dan merayakan hari natal hanya suatu kesempatan.

14 April 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TULISAN tentang "Siksaan Natal Harus Dibayar Mahal" (TEMPO, 6 Januari 1990) juga dibicarakan di Jepang. Tulisan itu tidak salah sekali. Memang, pada hari Natal, restoran dan hotel yang mewah dipenuhi orang. Banyak kue Natal dan macam-macam hadiah laris terjual. Pada 25 Desember saya terkejut, sewaktu berbelanja di toko emas. Sebab, banyak pemuda membeli cincin. Rupanya, karena banyak mahasiswa mendapatkan uang dengan kerja sambilan, tingkat kehidupan mereka menjadi tinggi. Mereka dapat membeli hadiah yang mahal-mahal. Begitu dalam benak saya. Tapi, saya kira artikel itu terlalu dibesar-besarkan. Memang benar bahwa ada yang mencarter helikopter atau memakai beratus-ratus ribu yen untuk pakaian, hadiah Natal, restoran, atau hotel yang istimewa. Tapi itu hanya segelintir orang. Walaupun tingkat kehidupan orang Jepang naik, laki-laki umumnya tidak biasa menghabiskan uang begitu banyak untuk hari Natal. Juga tidak semua perempuan melewatkan malam Natal dengan teman kencannya. Apalagi dengan laki-laki yang tidak dicintainya. Hanya karena dia tidak mau menghabiskan malam Natal sendirian di apartemen. Memang kini lebih banyak perempuan yang kurang berpikir panjang, dibanding dulu tapi seburuk itu. Jangan lupa di Jepang, sekarang, ada kecenderungan informasi diluaskan oleh "perang dagang" melalui media massa. Para pengusaha menciptakan mode. Orang-orang yang dipengaruhi informasi itu dan takut ketinggalan zaman, tanpa pikir, meniru mode mentah-mentah. Di Jepang, orang yang tidak menganut agama tertentu tidak aneh. Tapi menurut pandangan orang Indonesia sikap itu tidak lazim. Suatu ketika saya ditanyai oleh seorang mahasiswa UGM, "Agama apa yang kamu anut?" Dengan tidak sadar saya menjawab, "Saya tidak menganut agama apa pun." Si penanya terkejut dan terdiam. Saya terpaksa menjelaskan alasannya. Mahasiswa tadi semakin tidak bisa mengerti bahwa, meskipun tidak menganut agama Kristen, orang Jepang merayakan hari Natal. Saya pikir, orang Jepang tidak dapat melakukan pesta tanpa kesempatan tertentu. Hari Natal itu cuma kesempatan. Mahasiswa UGM tadi sekali lagi bertanya, "Kalau begitu, apakah penyangga hatimu?" Mungkin kebanyakan orang Jepang menganut dewa "Yao-Yorozu" yang kuno. Tapi, itu adat bukan agama. Saya pikir bahwa hari raya agama juga dapat dianggap sebagai adat di Jepang. Saya malu kalau orang-orang Indonesia memikirkan bahwa semua orang Jepang begitu, dan aneh. Sebab itulah saya menulis ini. MINA TAWARAYAMA 2-6-5 Yahara Nerima-ku Tokyo 177 Japan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus