MULAI akhir Maret, tarif kereta api disesuaikan. Seperti biasa, disesuaikan berarti dinaikkan. Sangat jarang sesuai berarti turun. Eufimisme seperti itu sudah lama dipakai untuk kata menciduk, menahan, dan yang sering tampil sebagai pengganti adalah mengamankan. Walau sudah sejak tahun 1965-an mengamankan berarti menciduk, makna yang "baru" itu tidak dijelaskan di kamus. Bila kita rajin menyimak pidato, "bahasa pejabat" dapat ditandai dengan melihat kosakatanya. Kata-kata yang baku adalah pembangunan, tinggal landas, delapan jalur pemerataan, peran serta, swadaya, boleh mengkritik tapi kritik yang membangun, dengan mengabaikan apakah lawan bicaranya tahu maknanya atau tidak. Sering kita dengar ucapan kita akan pertimbangkan dengan -- maksud kami akan mempertimbangkan. Kebiasaan memakai kata kita seolah-olah lawan bicara ikut di dalamnya akan tampil utuh bila ucapan dikutip langsung media elektronik. Namun, pemakaian kita belum sejauh remaja di kota besar, yang memakai kita untuk menunjuk saya. Sejumlah pejabat belakangan juga terdengar mengucapkan meliputi daripada ... Biasanya yang bersangkutan tidak sadar akan kesalahannya mengucapkan daripada karena itu sudah lazim. Gejala serupa muncul di dalam ungkapan dalam rangka, yang oleh pemuka pers Rosihan Anwar digolongkan "kata-kata penat" lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Di dalam tema-tema kegiatan, dalam rangka tidak pernah kehabisan peminat. Malah ada pejabat yang dalam sebuah kalimat pendek memakai dua kali dalam rangka. Ada sementara orang yang berkeberatan atas pemakaian berkenan dengan alasan tidak demokratis. Karena bahasa sebagai alat komunikasi, pemakaian berkenan oleh pejabat yang lebih rendah sebagai penghormatan kepada pejabat yang lebih tinggi boleh-boleh saja. Begitu juga perkenan (izin, persetujuan). Yang aneh, bila ada pembawa acara berkata, "Bapak dan Ibu ... berkenan meninggalkan ruangan. Hadirin dimohon berdiri." Timbul kesan seolah-olah ada kejutan, tadinya Bapak dan Ibu ... tidak berkenan, tetapi kemudian berkenan. Padahal sang pembawa acara sekadar menyampaikan pemberitahuan. Karena melihat seringnya pejabat kurang cermat berbahasa, ada yang mengusulkan agar para pejabat tidak usah berbicara di radio dan televisi. Di dalam banyak kesempatan, misalnya Kongres Bahasa Indonesia V, 1988, orang mempersoalkan "bahasa pejabat". Di Kongres Bahasa Indonesia V itu Menteri Sekretaris Negara Moerdiono diminta membawakan makalah "Berbahasa dengan Baik dan Benar Meningkatkan Citra Pejabat Negara". Atas izin panitia, Menteri mengubah judul itu menjadi "Bahasa Indonesia dalam Tugas Penyelenggaraan Pemerintahan" dengan alasan judul pertama agak teknis dan di luar kemampuannya. Adalah benar jika Moerdiono menulis bahwa masyarakat kita tidak sudi dipermalukan di depan umum. Kalau kita amati, kritik mengenai "bahasa pejabat", yang notabene pejabat yang sudah lanjut, sebagian diwarnai keinginan mengolok-olok. Ada yang berdalih karena pemimpin jadi anutan, anak-anak akan mengikuti berbahasa secara salah. Memang banyak yang karena kebiasaan melafalkan akhiran kan menjadi ken. Toh anak-anak tetap melafalkan memberikan, misalnya. Kalau ada anak SMP atau SMA melafalkan memberiken, itu bukan karena terpengaruh, tetapi ingin mengolok-olok. Ketika ada usul mengadakan "penertiban bahasa" di kalangan pejabat tinggi, usul itu "diredam" supaya paling tinggi sampai pada pejabat eselon I saja. Kalau disampaikan secara pribadi, empat mata mungkin, kritik itu lebih mengenai sasaran. Umpamanya di kalangan sesama menteri. Sayangnya, salah seorang pengusul "penertiban bahasa" ternyata bekas menteri. Bila usul "penertiban bahasa" itu realistis, kritik tidak akan seramai yang ada selama ini. Harus diakui bahwa pembakuan lafal (atau yang mendekatinya) sangat sulit, lebih sulit daripada pembakuan ejaan, yang ternyata juga sangat amat susah. Orang yang sudah lama di Jakarta pun ada yang tetap melafalkan pendidi'an dan memili'i alih-alih pendidikan dan memiliki. Tidak heran kalau ada penyiar TVRI yang selalu melafalkan mengena'kan dengan suara k rangkap seperti meletakkan. Bahkan ada penyiar lain yang selalu salah memberi tekanan pada kata juga yakni juga lebih menempel pada subyek daripada menempel ke predikat. Umpamanya, "Presiden juga / mengadakan temu wicara" padahal yang lebih tepat "Presiden / juga mengadakan temu wicara", sebagai penjelas bahwa ada kegiatan lain, misalnya meresmikan proyek. "Penertiban bahasa", khususnya lafal, untuk Angkatan 45 dapat tidak usah diprioritaskan. Yang lebih penting, dan lebih mungkin dilakukan, adalah "penertiban bahasa" untuk generasi penerus, dan menghindarkan pejabat dari suku lain mengikuti lafal yang salah hanya karena diucapkan oleh pejabat yang lebih tinggi. "Penertiban bahasa" untuk pejabat tentu tidak boleh diartikan bahwa semua pejabat berbahasa buruk. Menteri Moerdiono dalam makalah itu, untuk mengutarakan hasil mengamati, memunculkan kata amatan, yang selama ini sering kita pilih bentuk lainnya, pengamatan. Pilihan amatan itu benar, ada di kamus, dan mengilatkan seperti "bahasa pejabat bahasa", sejalan dengan Prof Dr. Anton Moeliono yang lebih memilih simpulan (hasil menyimpulkan) daripada kesimpulan. "Bahasa pejabat bahasa" sering menimbulkan kesan khas, resmi. Dalam kegiatan sehari-hari di Pusat Bahasa acap terdengar ucapan "rapat nanti pukul 10.00", yang kalau di kantor lain akan terdengar "rapat nanti jam 10.00". Ada yang usul agar Pusat Bahasa dibubarkan. Bagaimana kalau dibesarkan? Kalau tidak organisasinya, ya kewenangan teknisnya. Penyuluhan kepada lembaga-lembaga tinggi memang perlu, tetapi yang tidak kalah penting adalah aktivitas secara praktis. Misalnya naskah pidato dan makalah yang akan disampaikan para menteri dan pejabat eselon I diserahkan ke Pusat Bahasa untuk disunting. Bila naskah sangat mendesak, pesawat facsimile telah ada. Dengan hasil suntingan itu, para staf dan pejabat yang bersangkutan lebih tahu "bahasa yang baik dan benar", dan makin terjaga bahasanya paling tidak bahasa tulisnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini