Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sisi lain basoeki abdullah

Pameran lukisan basoeki abdullah di gedung departemen p dan k jakarta. 70 lukisan dipamerkan dengan tema "kasih sayang". ia berungkap dengan sapuan ekspresif: "tanpa pamrih"-citra ibu teresa dengan anak miskin.

27 Agustus 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIA pelukis potret perempuan cantik, dari Miss luhiah yang dilukisnya "ala Dorothy Lamour" (begitu komentar Sudjojono dulu) hingga Jenny Rachman. Dia juga pelukis potret presiden, raja, dan sultan yang ada di Asia Tenggara, termasuk latu Sirikit, Ratna Sari Dewi, Imelda. Tidak sedikit pembesar dan petinggi negeri yang menyimpan dan mengagumi lukisannya. Karyanya dicontoh pelukis tak ternama, yang memandangnya sebagai teladan. "Orang awam" menakjubinya, meski menikmati karyanya hanya melalui reproduksi. Tetapi dia juga pelukis yang tidak henti dicemooh dan dilecehi sejumlah seniman dan cendekiawan. Memang, tak ada pelukis seperti R. Basoeki Abdullah, kelahiran Solo 1915. Sejak 24 hingga 30 Agustus ini ia memamerkan sekitar 70 lukisan di Gedung Departemen P dan K, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. Dengan tema "Kasih Sayang" (lihat boks) yang diangkat dari tema sebagian lukisannya itu, ia mengundang teman-teman pelukis, seperti dari Singapura, Muangthai, India, Jepang, Uni Soviet, Yordania, Yugoslavia, Nederland, dan Brasil. Tak semua mereka dapat hadir membawa karyanya, memang. Namun, pameran yang dibuka oleh Nyonya Tien Soeharto itu memilih tiga lukisan untuk dilelang. Kemudian hasil itu disumbangkan kepada Yayasan Gotong Royong, badan yang me nolong korban bencana alam. Ada sebuah lukisan dalam pameran ini yang menarik perhatian kita, karena menyimpang dari stereotype alias klise yang dibuat, khususnya oleh "seteru-seteru" Basoeki, tentang seni lukis seniman ini. Lukisan itu berjudul Tanpa Pamrih, yang menggambarkan Ibu Theresa dan anak miskin. Anak itu telanjang dan kurus-kering berbaring. Wajahnya kesakitan dan menderita. Tangan kanannya memegang tangan perempuan tua itu, seolah minta tolong. Ibu Theresa, agak membungkuk, pada wajahnya terbaca perhatian dan ketulusan. Tangan kanannya meraba kepala si anak, tangan kirinya menyambut pegangan anak itu, seakan memberinya keyakinan. Latar belakang gelap. Seluruh lukisan berwarna kecokelatan. Tak ada kemolekan. Tak ada kecerahan manis yang mendatar. Bahkan tidak ada trompe-l'oeil alias tipu mata. Basoeki tidak menggambarkan kerut-merut pada wajah perempuan tua itu (bandingkan dengan lukisan lain berjudul Ibu Theresa), untuk memperlihatkan kebolehannya. Ia tidak memperhalus atau melebur sapuan-sapuannya agar lukisannya, pada suatu jarak, memberikan ilusi tentang benda-benda nyata. Sebaliknya, sapuan-sapuannya tampak tegas pada seluruh lukisan itu, dan menunjang suasana berat serta citra kemlskinan dan penderitaan. Basoeki Abdullah berungkap dengan sapuan ekspresif? Ya, dan ini bukan barang langka. Lihat, misalnya, ia menggunakan sapuan-sapuan acak untuk menggambarkan debu yang beterbangan dalam Masa Remaja yang kebiruan, lukisan yang mencitrakan dua anak kuda remaja sedang bercanda. Suasana dramatis Gunung Krakatau disebabkan antara lain oleh sapuan-sapuan yang tampak di situ. Bahkan hujan debu digambarkan enak saja dengan beberapa sapuan. Basoeki menggunakan sapuan tegas, tetapi juga, bila perlu, sapuan halus, mengabur, seperti dalam Belaian Kasih yang kehijauan, yang menggambarkan induk kuda sedang membelai anaknya. Dalam pameran ini ia memang banyak melukis kuda, dan bukan merpati, misalnya. Agaknya dia lupa bahwa merpati juga simbol kasih sayang, perdamaian. Tapi kalau ingat kuda, kata Basoeki, banyak alasannya. Kuda itu baginya perlambang kejantanan, kekuatan, kekuasaan, sekaligus lambang kecantikan. Di dunia ini, hewan yang paling sempurna dan estetik anatominya adalah kuda. "Lukisan-lukisan saya bisa menjadi simbol sekaligus isyarat ironik, kenapa makhluk yang jantan, perkasa, dan cantik di dunia ini justru yang menciptakan konflik," katanya. "Yang hebat-hebat, yang jempol-jempol malah rendah kasih sayangnya. Lukisan-lukisan saya menyuguhkan kenyataan yang saya impikan. Kerukunan beberapa kuda. Kemesraan dunia kuda." Tetapi, jika kita keluar dari pameran ini dan pergi ke waktu lalu, kita juga tidak jarang menemukan sapuan yang digunakan Basoeki sebagai alat ungkap, di samping unsur lukis lainnya, seperti warna. Misalnya dalam potret Bung Karno, yang banyak dibuat Basoeki, kadang kala pelukis ini menggunakan sapuan yang kuat untuk menunjang pengungkapan watak modelnya. Malah, dalam pamerannya yang pertama pada 1939, salah satu karyanya, Ploegende Karbouqen (Kerbau Membajak), telah memukau Sudjojono. Hasil itu dipujinya sebagai "pekerjaan seorang genius, yang boleh dimasukkan dokumen nasional". Pertemuan pertama Basoeki Abdullah dengan seni lukis adalah dengan seni lukis Hindia Belanda. Oleh para pelukis dan penulis kita, seni lukis ini telanjur dicemooh sebagai "Seni Lukis Mooi Indie" (seni lukis Hindia Molek) karena banyak melukiskan kemolekan tanah air kita. Julukan itu diberikan dengan melupakan sejumlah pelukis seperti Jan Frank dan P. Ouborg, yang tidak usah kurang "ekspresif" ataupun kurang "ekspresionistis" dibandingkan dengan Sudjojono. Ouborg bahkan telah melukis abstrak sejak 1931. Kepergian Basoeki remaja ke Eropa, antara lain belajar di Academie voor Beeldende Kunsten di Den Haag, tentu memberinya kesempatan mengenal berbagai kecenderungan modernis di sana. Maka, agaknya bahasa lukis yang dianjurkan Sudjojono dan kawan-kawan -- antara lain mengutamakan peran sapuan kuas dalam ungkap-mengungkap -- bukan tak dipahami. Basoeki dan bukan pula tidak punya daya tarik sama sekali. Masa pembentukannya sebagai pelukis adalah masa peraliha dalam seni lukis di negerinya. Ia ditarik oleh dua kutub. Bahwa kecenderungannya ke kutub yang satu lebih besar daripada ke kutub lainnya, itu adalah soal paham dan cita rasa seninya, yang tentu tak sedikit dibentuk keluarganya (ayahnya adalah pelukis pemandangan alam yang tersohor), pendidikannya, dan oleh pergaulannya. Yang jelas, seni lukis Basoeki Abdullah tidak hanya punya satu sisi, yang memang sudah banyak dibicarakan orang dan dijadikan citra stereotype tentang pelukis ini. Sebenarnya, ia juga mempunyai sisi lain. Sanento Yuliman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus