Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Bukan sebuah tesis, tapi suasana

Riding the tiger, sebuah film dokumenter tentang indonesia yang dibuat orang australia: christine olsen (produser) dan curtis levy (sutradara).

15 Agustus 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORANG Indonesia suka menganggap negerinya seperti Monalisa dalam lukisan abstrak. Kita sering repot mempersoalkan bagaimana seharusnya cara orang melihat dan mengapresiasinya. Seakan-akan kita tahu pasti bahwa ada cara yang "paling benar" dalam melihat Indonesia. Maka, kita sering tersinggung atau tersenyum mencemooh karena pandangan orang lain tentang negeri kita, Indonesia, yang sulit dan menarik ini. Terkadang reaksi jenis ini bisa cengeng sekali. Sulitnya, memang tak sedikit konklusi yang dungu dan gampangan yang diutarakan orang asing tentang Indonesia -- setidaknya sama banyaknya dengan penilaian yang bodoh dan serampangan dari mulut orang Indonesia tentang negeri lain. Syukurlah. Dari deretan kebodohan itu bisa muncul, di luar negeri, karya-karya tulis, reportase radio atau film tentang Indonesia yang -- meskipun tak sepenuhnya cocok dengan keinginan kita untuk dipuji-puji -- dilakukan dengan kejujuran menjelajah, bukan dengan kecenderungan menyempitkan pandang. Di tahun 1992 ini patut dicatat film dokumenter karya Curtis Levy dan Christine Olsen, Riding The Tiger. Keduanya orang Australia. Faktor ini menyebabkan filmnya bisa dibilang istimewa. Gambaran tentang Indonesia di Australia umumnya dibentuk oleh para pekerja media yang latar belakang referensinya (karena mereka bukan orang aborigin yang nahas) adalah sebuah negeri yang tanpa trauma sejarah dan tanpa banyak hal yang harus diperjuangkan dengan pilihan hidup atau mati. Singkatnya: sebuah negeri yang mujur, the lucky country, yang dalam beberapa dasawarsa terakhir tak banyak lagi menyediakan bahan untuk marah dan tergugah dengan adrenalin yang kencang. Tak heran kita bila orang media Australia menyaksikan negeri macam Indonesia, (yang sesak, yang orangnya lebih miskin, yang sejarahnya pedih, dan yang penjaranya lebih padat) sebagai tempat yang mengagetkan -- dan sekaligus mengasyikkan. Di sini ada cukup bahan untuk melatih agar hati nurani tak menjadi kendur dan hidup tak menjadi tawar. Riding The Tiger jelas bukan sebuah hasil usaha orang yang ingin melatih hati nurani. Film dokumenter untuk televisi ini (terdiri dari tiga bagian) mencoba menampilkan gambaran tentang Indonesia dengan kesabaran seorang asing yang menyenangi apa yang hidup di Indonesia -- yang eksotis maupun yang tidak, yang gombal maupun yang necis, yang berjaya maupun yang malang. Ada masa silam kolonial (bagian yang diberi nama Kings and Coolies), masa perjuangan (Freedom or Death), dan masa Orde Baru (The New Order). Dalam lintasan sejarah itu, Indonesia, dengan segala kebanggaan dan luka sejarahnya, tampak. Tidak utuh, dan dalam banyak hal hanya merupakan sebuah untaian sketsa, tetapi justru itu kelebihan film ini dari sebuah karya tulis jurnalistik. Bentuknya tak ditentukan oleh sebuah asumsi ataupun konklusi, melainkan lebih oleh sebuah suasana. Bukannya Levy dan Olsen (dengan bantuan sejarawan Anton Lucas) tak berangkat dari sebuah asumsi. Film ini, misalnya, berangkat dengan niat menggambarkan cara kontrol yang intensif terhadap kehidupan masyarakat oleh negara. Levy dan Olsen menampilkan unit rukun tetangga (RT) sebagai ilustrasi dan indikator. Bahkan ada wawancara dengan Laksamana Madya Sudibyo Rahardjo, yang mengukuhkan anggapan bahwa memang ada desain untuk mengontrol kehidupan masyarakat sampai bagian terkecil -- suatu hal yang memang agak merisaukan mereka yang tak senang diawasi. Tapi yang memikat dalam Riding The Tiger ialah bahwa ia bergerak, dari shot ke shot, seraya mengabaikan tesisnya sendiri. Levy dan Olsen membiarkan filmnya melenceng ke sana kemari. Yang tergambar akhirnya ialah bukan sebuah masyarakat yang secara ketat diawasi, seperti dalam sebuah negeri totaliter (sesuatu yang dulu agaknya direncanakan Jepang, waktu membentuk unit tonarigumi di kampung-kampung), melainkan sebuah masyarakat tempat manusia saling berdekatan, tanpa ketegangan, dan banyak ketawa. Bahkan tokoh penggali pasir yang merangkap menjadi juru akrobat dan buruh wanita yang menyanyi di kantin pabrik -- dalam posisi mereka yang serba kurang -- tak tampil sebagai manusia yang tertindas: sebuah sikap tabah, stoic, dengan humor. Sejarah Indonesia juga tampil mengharukan: ada masa Jepang yang dibenci tetapi dikisahkan dengan bersih dan kadang lucu, ada 10 November 1945 di Surabaya, ada ribuan orang mengelu-elukan kemerdekaan dan datangnya Bung Karno, ada tentara republik yang berbaris gagah menggantikan pasukan Belanda. Di tahun 1965 ada penangkapan orang yang dituduh PKI, ada kisah penahanan dan pembunuhan, semuanya tampak traumatis tapi tanpa kebencian: pada akhirnya ini memang sebuah bangsa yang sedang menempuh lakonnya yang tak semulus jalanan Kota Canberra. Film ini bukannya tanpa ketidak akuratan. Kata "rambu" (tanda lalu lintas), misalnya, telah diterjemahkan menjadi "Rambo". Pendapat dan ingatan Jenderal Nasution tentang praktek dwifungsi kini dan dulu tidak sepenuhnya pas. Ada segi-segi yang hebat dari Indonesia (prestasi keluarga berencana, prestasi produksi pangan) yang tidak ada dalam film ini, tetapi juga banyak hal buruk yang dilewatkan -- misalnya korupsi dan hukum yang berantakan. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus