Ia ADA negara di mana mutasi dalam slagorde angkatan bersenjatanya merupakan perkara biasa yang berulang lebih kurang tiga tahun sekali. Penggantian perwira lama dengan perwira baru sama saja dengan penggantian pegawai lama dengan pegawai baru di kalangan birokrasi. Mutasi dalam pimpinan angkatan bersenjata tidak membawa implikasi politik di negara yang angkatan bersenjatanya berfungsi tunggal saja, yaitu bertanggung jawab dalam bidang pertahanan dan tidak melibatkan diri dalam bidang pemerintahan. Lain lagi di negara yang angkatan bersenjatanya mempunyai fungsi lebih dari satu. Di negara seperti itu penggantian pimpinan angkatan bersenjata bukan sama saja dengan penggantian birokrat, tetapi lebih mirip dengan penggantian pemimpin partai politik di negara di mana partai politik berkuasa. Penggantian pemimpin partai politik sudah tentu ada implikasi politiknya, apalagi jika partai itu merupakan tulang belakang pemerintah. Demikian juga penggantian pemimpin-pemimpin tentara di negara di mana tentara memainkan peranan politik yang agak menentukan. Karena tentara memainkan peranan politik yang besar, tidak mengherankan sekiranya mutasi dalam tentara menimbulkan banyak spekulasi di kalangan pemantau politik -- baik dalam maupun luar negeri. Mengapa perwira ini diangkat, mengapa perwira itu digeser, apakah terjadi perebutan kekuasaan di dalam tentara sendiri? Di Muangthai, misalnya, mutasi dalam angkatan bersenjata diadakan setahun sekali pada tanggal 1 Oktober. Sudah tentu bermacam-macam desas-desus dilontarkan pada bulan September setiap tahun dan bermacam-macam spekulasi dan interpretasi tentang implikasinya diutarakan setiap bulan Oktober. Spekulasi sering berkisar pada soal pergeseran kuasa dalam angkatan bersenjata. Apakah hasil mutasi itu memperkuat kelompok ini atau memperlemah kelompok itu? Saya kira spekulasi seperti itu wajar saja, mengingat peranan yang dimainkan oleh tentara. Di negara yang berpemerintahan sipil, spekulasi selalu berkisar pada persaingan antara kelompok di dalam partai politik. Demikian juga di negara di mana tentara terlibat dalam politik, spekulasi sudah tentu berkisar pada persaingan antar kelompok dalam tentara. Sepatutnya para pemimpin tentara menganggap spekulasi itu sebagai semacam kehormatan tidak langsung, karena menunjukkan bahwa para pemantau politik mengakui pentingnya sumbangan tentara kepada pemerintah. Spekulasi tentang persaingan intern sering dikaitkan dengan soal kekompakan angkatan bersenjata. Sudah tentu ketidak kompakan dalam tentara dapat berakibat buruk. Misalnya, jika persaingan antarkelompok menjurus ke warlordism dan gontok-gontokan seperti dialami oleh Indonesia pada tahun 1950-an dan 1960-an. Tetapi ketidak satu paduan dalam sebuah organisasi politik tidak semestinya merupakan gejala yang buruk asal pada tingkat yang moderat dan tidak menjurus ke arah perpecahan yang besar. Pengalaman Muangthai sesudah tentara kembali berkuasa pada tahun 1977 merupakan contoh yang menarik. Tentara telah berkuasa di Muangthai di bawah pimpinan dua strongman -- Jenderal Thanam dan Jenderal Prapat -- hingga tahun 1973, saat rezimnya ditumbangkan oleh demonstrasi mahasiswa. Kemudian sistem demokrasi dicoba selama tiga tahun tetapi gagal dan diganti oleh tentara yang melakukan dua kup secara berturut-turut pada tahun 1976 dan 1977. Pemerintah baru dipimpin oleh Jenderal Kriangsak dan didominasi oleh tentara. Tetapi pemerintah pasca 1977 berbeda dengan pemerintah sebelum tahun 1973, walaupun kedua-duanya dikuasai oleh tentara. Tentara sebelum tahun 1973 kompak tentara sesudah tahun 1977 kurang kompak. Karena militer kurang bersatu padu dari segi politik dan tidak ada satu kelompok militer yang jelas dominan, baik Kriangsak maupun perwira anti Kriangsak terpaksa mencari kawan sipil di kalangan partai politik. Kemudian pada tahun 1980 Kriangsak dijatuhkan dan diganti oleh Jenderal Prem. Prem pun terpaksa mencari pendukung sipil saat ditantang oleh perwira-perwira tertentu bersama sekutu sipil mereka. Akhirnya Prem jatuh dan pemerintahan Chatichai -- seorang jenderal yang sudah lama dipensiun -- dipilih dalam pemilihan umum. Dengan demikian pada tahun 1980an sistem politik Muangthai menjadi semakin fleksibel dan terbuka. Para perwira tentara tetap memainkan peranan besar dalam bidang politik tetapi persaingan antar kelompok di dalam tentara memaksa mereka memberi peluang yang lebih luas kepada partai politik dan pihak sipil lain. Demikianlah ketidak kompakan yang moderat tidak semestinya menjadi musibah tetapi dapat menolong proses keterbukaan dan demokratisasi. * Senior fellow di Research School of Pacific Studies, Australian National University, Canberra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini