Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta menerbitkan dua buku bunga rampai catatan kritik seni. Kedua buku itu merupakan bunga rampai dari esai, kritik seni dari Bambang Bujono dan Oei Sian Yok. Masing-masing berjudul Bambang Bujono Rumpun dan Gagasan Bunga Rampai Esai dan Kritik Seni Rupa 1969-2019 dan Dari Pembantu Seni Lukis Kita: Bunga Rampai Tulisan Oei Sian Yok 1956-1961.
Dua buku tersebut menjadi penting untuk para penulis kritik sastra, jurnalis dan pegiat seni . Hal ini tertuang dalam diskusi bedah buku menghadirkan kritikus seni Alia Swastika dan Ibrahim Arimurti Rasha di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa, 15 Januari 2020.
Membaca tulisan-tulisan Bambang, Alia merasa seperti didorong untuk memikirkan kembali konteks spesifik masing-masing medium. Dia memanggil kembali pengalamannya melihat pameran lukisan, patung, grafis dan memasukinya dalam dimensi yang berbeda. Bambang membuka dirinya, menjelajahi medium demi medium dan membaginya melalui tulisan.
“Mengingatkan kita betapa pentingnya mejadi penonton yang berserah pada pengalaman estetikanya, membawa tubuh dan pikiran kita pada spectrum yang terprediksi,” ujar Alia.
Melalui tulisan-tulisan Bambu, panggilan akrab Bambang Bujono, Alia juga mendapatkan konsep dari yang ditawarkan untuk merenungkan sebuah praktik penciptaan, yakni Engagement.
Bagi Bambu, seorang seniman membutuhkan engagement sehingga praktik berkesenian ini juga menjadi semacam laku spiritual, karena memberikan kepuasan batin.Engagement dilihat sebagai sesuatu yang muncul dalam “dunia dalam”(inner world) seniman. Sekarang, kata engagement sering dikaitkan dengan aspek sosial seni.(dari kiri) Brigitta Isabella, Alia Swastika, dan Ibrahim Arimurti Rasha dalam acara bedah buku 'Pembantu Seni Lukis Kita: Bunga Rampai (1956-1961) Tulisan Oei Sian Yok' dan 'Rumpun dan Gagasan: Bunga Rampai Esai dan Kritik Seni Rupa (1969-2019) karya Bambang Bujono'. Diskusi Buku Seri Wacana Kritik Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) berlangsung di Galeri Cipta II, TIM, Jakarta, Selasa 14 Januari 2020. Foto: Eva Tobing
Hal lain yang muncul yakni konsep tentang tukang dan artisan. Artisan menjadi sebuah profesi baru yang makna sosialnya lebih ketimbang tukang. Profesi artisan (yang membantu merealisasikan gagasan seniman menjadi karya seni) menjadi titik penting dalam “industri seni” masa kini.
Alia menjelaskan, dalam tulisan-tulisannya, Bambang Bujono mengedepankan teks dengan teks seperti garis, tekstur bahan, material sapuan kuas, warna, komposisi, dan keseluruhan penampakan, menjadi pokok pembahasan yang cukup penting. Hal ini dirasakan penting untuk bisa membawa pembaca untuk memahami pula proses penciptaan, sehingga ada gambaran tentang bagaimana sebuah ide diterjemahkan dalam perjalanan penciptaan.
Setelah itu, Bambang Bujono akan mengarahkannya dengan kecenderungan praktik sang seniman, atau sesekali pada aspek personalnya, terutama jika ia telah memiliki relasi yang cukup dekat dengan seniman.
Alia juga membandingkan dengan penulisan tulisan dan kritik seni di media dalam praktik saat ini. "Lebih banyak disandarkan pada percakapan wartawan, seniman, kurator sehingga pembaca seringkali justru kehilangan nilai dialekstis antara seniman dengan penulis," katanya.
Wartawan, kata Alia, lebih banyak memposisikan diri untuk menampilkan subjektivitas seniman. “Tulisan mas Bambang ini memberi ruang dialektika antara penonton dan seniman, ada subjektivitas yang berani dan jujur,” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini