Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Butoh Sana-sini

Yogya Art Festival II dihadiri para penari Butoh Jepang dan Korea. Sebuah festival yang berinisiatif menjadi bagian dari forum besar antarfestival di Asia.

3 Oktober 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tangan Mi Ran semakin s-ibuk memukul chong ju (jang gu). Per-kusi tradisional Korea berbentuk seperti kendang yang ditabuh dengan dua stik itu dikenal sebagai perkusi yang paling mengekspresikan emosi orang Korea.

Di sebelah kirinya, tetabuhan da-ri kulit sapi untuk menghasilkan b-unyi rendah. Sementara di bagian k-a-nan-nya, perkusi dari kulit kuda u-ntuk mem-produksi bunyi tinggi. Pe-rempuan lulusan Seoul Art Institu-te itu tampak begitu dinamis mere-spons tarian tunggal sahabatnya, KimHeui Hyun. Di panggung, tubuh Kim sedari muncul telah telanjang bulat.

Itulah penampilan cukup mengejutkan pada acara Yogya Art Festival, yang berlangsung di Gedung Societet, Yogyakarta, pekan lalu. Mula-mula Kim yang menyebut dirinya Rama Simon itu meringkuk, seperti posisi bayi dalam kandungan. Dari sebelah kanan panggung, bertaburan buih-buih se--perti kapas. Begitu ia berdiri, penon-ton melihat rambutnya pa-njang tergerai—sebagian dipelintir-pe-li-n-tir, dikepang—dan ia tak memakai apa-apa. Gerakannya indah. Pukulan chong ju dan tubuhnya seperti saling me-rasuki.

”Nama Rama saya ambil dari Rama-yana, dan Simon dari Rasul Peter Simon,” kata lelaki itu. Ia mengaku, se---telah belajar balet di Seoul, lalu ber--ke-lana mempelajari tari tradisio-nal dari Fiji sampai Thailand, dan terpi-kat menekuni yoga di India. Ia kemu-dian mendirikan Dance Therapy Company di Seoul. Dan yang disajikan di Y-ogya, menurut dia, semacam puri-fikasi diri, sebuah tari yang menjinakkan in-s-tin-g-insting kekerasan da-lam tubuh. Di panggung, kemudian ia mengenakan celana, jas, dan sepatu hitam, me-ragakan eksekutif Korea yang serba tergesa-gesa. Gerakannya menjadi liar, dan diakhiri simbolisasi bunuh diri.

Penampil lain adalah Yukio Waguri, 53 tahun. Ia dedengkot butoh. Bebe-ra-pa kali ia datang ke Indonesia. Pertama kali ia tampil di Art Summit Jakarta pada tahun 1998, membawakan Topography of Image. Ia tokoh penting generasi kedua butoh, murid langsung Tatsumi Hijikata, pelopor Butoh. Di Yogya, ia selalu tampak rileks, senang. ”Tidak ada wujud abadi,” ujarnya agak berfilsafat ketika menjelaskan pertunjukannya yang berjudul Transforma—kisah orang gila yang hidupnya tidak menetap.

”Butoh harus punya dasar tari yang kuat. Banyak Butoh asal-asalan juga,” kata koreografer Bimo Wiwohatmo. Me-nurut koreografer yang beberapa kali berpentas di Jepang dan sedikit-banyak mengamati perkembangan Butoh itu, sesungguhnya butoh tak punyastandar. ”Bila kita tanya, Butoh itu apa, mereka bilang ini bukan tari juga bukan teater, tapi apa, susah dijelaskan,” katanya.

Definisi Butoh memang longgar. Dan penampilan Mitsuyo Uesugi berjudul Butterfly in the Dark mungkin menunjukkan kelonggaran itu. Dia murid Kazuo Ohno, maestro pelopor Butoh lainnya yang pernah tampil memukau dalam Art Summit di Jakarta. Tapi, menyaksikan Uesugi, penonton mengernyitkan dahi. Bersama empat penari perempuan, ia menampilkan gerakan patah-patah, meloncat-loncat kaku. Baru pada menit-menit terakhir gerak mereka mencair.

Penampilan mengesankan justru dari penari Besar Widodo, yang digembleng di padepokan Bagong Kusudiarjo. Berjudul Suwung, eksplorasi utamanya adalah tempayan besar. Sepasang penari, perempuan dan laki-laki, masuk ke tempayan itu. Dari atas, turun curahan air. Di akhir, sese-orang menyodokkan tongkat ke tempayan sehingga pecah-berlubang, air melim-pah deras, sementara air dari atas tetap mengucur.

Faktor Asia, tempat asal para penya-ji, telah membuat festival ini mena-rik. Memang panitia bermaksud mengga-bungkan diri dengan The Associa-tion of Asia Performing Art Fest-ival, sebuah forum antarfestival di Asia. ”Keuntungannya, kita bisa tukar-me-nukar penampil,” kata Bambang Paningron, pemimpin produksi festi-val. Setiap festival memang harusmemiliki karakter yang khas. Di Tok-yo ada festival Asia Meet Asia. Di Jakarta ada Art Summit, yang lebih terbuka untuk pertunjukan dari mana pun. Di Yogya ada Yogya Art Festival, yang bisa menjadi sebuah forum yang mewadahi gejolak dan pencarian estetika khusus seni pertunjukan kontemporer Asia.

Seno Joko Suyono, Heru C. Nugroho

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus