Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Buyung, LBH, Dan Demokrasi

28 September 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adnan Buyung Nasution atau Bang Buyung adalah sosok yang hidup di segala zaman, berkiprah dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dia tak pernah selesai. Dia menemukan tantangan dan menggerakkan pemikiran, dan semua itu didasari ideologi pegangan hidupnya: membela si miskin, membela si buta hukum, membela si tertindas. Itulah obsesi yang berkecamuk dalam pikirannya sejak dulu sampai dia mengembuskan napas terakhirnya pada Rabu, 23 September lalu, sekitar pukul 10.15.

Beberapa hari sebelum Bang Buyung berpulang, dia sudah tahu akan pergi. Pada Minggu, 20 September lalu, dia menulis di secarik kertas kata-kata: "sekarang pergi". Anggota keluarganya yang membaca tulisan tangan itu berusaha menafsirkan arti "sekarang pergi". Saya juga belum sepenuhnya paham apa artinya. Beberapa waktu kemudian, ketika Bang Buyung melihat saya, lalu meminta secarik kertas untuk menuliskan sesuatu, saya punya firasat bahwa hari-hari terakhir tengah dilalui. Di secarik kertas itu, dia menulis: "Jagalah LBH/YLBHI. Teruskan pemikiran dan perjuangan bagi si miskin tertindas."

Saya membaca tulisan itu berkali-kali hingga akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa inilah pernyataan pamit Bang Buyung. Dia meminta perjuangan membela si miskin tertindas diteruskan karena itu kewajiban konstitusional yang tak bisa diabaikan. Membela si miskin tertindas juga merupakan kewajiban negara dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Jelas terlihat dia tak ikhlas kalau pembelaan terhadap si miskin tertindas berhenti di tengah jalan atau dilakukan setengah-setengah, atau dilakukan hanya dengan jargon yang tak berwujud pada program penegakan keadilan substansial.

Bang Buyung adalah bapak bantuan hukum Indonesia karena dari tangannya lahir gagasan bantuan hukum yang mendapatkan bentuknya dalam pendirian Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Kelak lembaga ini menjadi gabungan dari LBH-LBH di seluruh Indonesia, termasuk LBH-LKBH yang bernaung di bawah fakultas hukum negeri dan swasta. Patut dicatat, banyak LBH juga didirikan partai politik dan organisasi sosial. Jadi ada LBH yang murni memberikan bantuan hukum bagi si miskin tertindas, ada juga LBH yang kepanjangan tangan partai politik dan organisasi sosial. Lebih jelek lagi, pembajakan LBH juga dilakukan oknum-oknum advokat yang melakukan komersialisasi bantuan hukum tanpa mereka mengerti apa sejatinya makna kata bantuan hukum.

Ketika LBH didirikan, Bang Buyung mengatakan tujuannya adalah memberikan bantuan hukum bagi masyarakat miskin yang buta hukum dan tertindas tanpa pungutan bayaran. Penerima bantuan hukum yang disebut justice seeker adalah orang-orang miskin tanpa pembedaan suku bangsa, etnisitas, agama, jenis kelamin, dan aliran politik. Bantuan hukum ini adalah prodeo legal assistance. Jadi salah (untuk tak dikatakan manipulatif) kalau bantuan hukum LBH diberikan dengan melakukan komersialisasi, yakni meminta legal fee. Tak salah kalau saya katakan bantuan hukum komersial itu sebagai pengkhianatan terhadap gagasan otentik bantuan hukum yang dimengerti di dunia hukum internasional.

Namun salah kalau melihat Bang Buyung hanya punya obsesi tentang bantuan hukum. Banyak obsesi lainnya. Dia juga sangat merindukan tumbuh kuatnya demokrasi dan hak asasi manusia karena percaya di negara demokratis pelanggaran hak asasi manusia semakin minimal. Dalam negara demokrasi, rakyat miskin semakin sedikit karena korupsi yang memiskinkan bisa dikontrol demokrasi yang dikawal kebebasan pers.

Pendapat ini persis seperti gagasan ahli filsafat sosial Amartya Sen, yang mengatakan di negara demokratis tak akan terjadi kelaparan. Kenapa? Karena perangkat kontrol sosial, termasuk pers bebas, akan membongkar korupsi pangan dan korupsi lain, sehingga sejatinya tak boleh ada kelaparan. Di negara otoriter, kelaparan sering terjadi dan tak akan ada yang tahu karena tak ada demokrasi dan kebebasan pers. Kelaparan dan kemiskinan bisa disembunyikan. Sedangkan di negara demokrasi tak ada yang bisa disembunyikan.

Obsesi terhadap demokrasi inilah yang membuat Bang Buyung pernah berniat aktif di Partai Golkar. Dia melihat partai sebagai aktor demokrasi yang menyadarkan rakyat akan hak-hak politiknya. Tapi Bang Buyung memasuki Partai Golkar dengan sikap mendua karena di dalam hatinya dia sadar partai politik bukanlah tempat untuknya.

Bagaimanapun, Bang Buyung adalah sosok yang nonpartisan, independen, dan berdiri di atas semua golongan. LBH yang didirikannya memang mencanangkan bahwa LBH berdiri di atas semua golongan, non-discriminatory, dan, karena itu, memasuki partai politik akan menggerus independensi. Dia segera sadar dan menyatakan mundur walau pada Pemilihan Umum 1971 pernah turut dalam kampanye Partai Golkar. Dia dimarahi banyak kawannya yang berharap dia tak memihak salah satu kekuatan politik. Sebagai demokrat, Bang Buyung mendengar dan memilih kembali ke LBH membela si miskin tertindas tanpa membeda-bedakan aliran politik, agama, suku bangsa, dan jenis kelamin.

Awalnya, Bang Buyung ingin meninggalkan LBH di tangan orang lain, orang muda yang akan menjadi pemegang obor bantuan hukum. Setelah lelah dengan semua pembelaan bagi masyarakat miskin, tahanan politik, dan kelompok marginal lainnya, Bang Buyung ingin isi bensin dengan bersekolah di luar negeri. Dia ingin mengikuti studi hukum tata negara, dan saya dipilih sebagai penerima obor bantuan hukum.

Dia berangkat ke Belanda untuk studi selama tujuh tahun dan menghasilkan disertasi monumental tentang pergumulan mencari demokrasi pada zaman Konstituante, ketika terjadi pertarungan ideologi yang begitu tajam sehingga demokrasi akhirnya dikalahkan Dekrit 5 Juli 1959. Demokrasi digantikan Demokrasi Terpimpin, yang sesungguhnya bukanlah demokrasi. Demokrasi telah dipermak menjadi demokrasi yang dipimpin dari atas, di mana paternalisme dilembagakan. Kelak Demokrasi Terpimpin diganti dengan Demokrasi Pancasila pada zaman pemerintahan Orde Baru.

Demokrasi Pancasila juga bukanlah demokrasi karena, ketika demokrasi ditambahi adjective, demokrasi itu seperti dinegasikan. Demikianlah demokrasi menjadi serba diatur oleh kekuasaan yang berpusat di tangan Presiden Soeharto. Di sini, tujuan membela si miskin tertindas tak pernah bisa efektif karena bantuan hukum selalu dianggap sebagai ancaman terhadap kekuasaan. Bantuan hukum itu dipersepsikan sebagai upaya menyadarkan rakyat akan hukum dan hak asasinya. Dan ketika kesadaran hukum dan hak asasi semakin kuat, kekuasaan terancam oleh kontrol dan perlawanan.

Demokrasi Pancasila tampaknya tak sepenuhnya welcome terhadap segala bentuk kontrol dan perlawanan masyarakat. Kontrol dan perlawanan dibolehkan hanya jika datang dari lembaga resmi seperti Dewan Perwakilan Rakyat dan partai politik. Dengan kata lain, Demokrasi Pancasila sejatinya bisa ditafsirkan sebagai demokrasi institusional.

Bang Buyung tak menerima Demokrasi Pancasila. Dia menghendaki Demokrasi Konstitusional, yang memang memberi rakyat hak asasi, termasuk untuk memprotes dan melawan, melakukan culture of resistance. Hanya dalam Demokrasi Konstitusional hak asasi manusia dan bantuan hukum bisa ditegakkan dan dilaksanakan. Karena itu, Bang Buyung turun gunung membantu terjadinya perubahan rezim melalui Reformasi pada 1998. Dan memang Reformasi membawa perubahan ketatanegaraan yang menjanjikan harapan akan Indonesia baru: Indonesia yang demokratis, berhak asasi, dan berkeadilan. Bersamaan dengan itu, Reformasi melangkah menuju amendemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945, yang tak sepenuhnya menjunjung demokrasi dan hak asasi manusia.

Bang Buyung ikut memberikan pikirannya bagi konstitusi baru. Meskipun UUD 1945 setelah diamendemen bukan merupakan konstitusi paling ideal, UUD 1945 sekarang jelas lebih memberi basis bagi kehidupan demokrasi dan hak asasi manusia. Dan faktanya memang demokrasi sedang bermetamorfosis menjadi demokrasi yang memberdayakan rakyat (walau sudah mulai dibajak oleh kekuasaan dan uang).

Bang Buyung berharap LBH harus menggunakan UUD 1945 dengan semua hak konstitusional yang diberikannya sebagai basis melanjutkan perjuangan membela si miskin tertindas. LBH tidak boleh mati. LBH tidak boleh melempem. LBH tidak boleh menjadi irrelevant. Karena itulah Bang Buyung menulis pesan terakhirnya agar menjaga LBH serta meneruskan pikiran dan perjuangan membela si miskin tertindas.

Jadi perjuangan merevitalisasi LBH mutlak mesti dilakukan. Kita wajib membuat LBH menjadi relevan. Terima kasih, Bang Buyung. Selamat jalan.

Todung Mulya Lubis, Anggota Dewan Pembina Ylbhi; Pernah Menjabat Ketua Ylbhi Dan Direktur Lbh Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus