JENDERAL T.B. Simatupang wafat awal tahun lalu. Tapi memoarnya -- Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos -- baru terbit minggu lalu. Buku setebal hampir 300 halaman ini sebagian ditulis tangan oleh Pak Sim, begitu panggilan akrabnya. Sisanya direkam dengan kaset pada hari-hari terakhirnya, saat almarhum dirawat di rumah sakit. Namun, bekas Kepala Staf Angkatan Perang RI ini rupanya enggan menyebut bukunya sebagai memoar. Dalam kata pengantar buku ini, dengan sangat rendah hati Pak Sim menyebut tiga alasan. Pertama, karena "saya telah lenyap dari panggung kekarieran yang formal" -- setelah pada usia 29 tahun menjabat sebagai KSAP, dan kemudian dipensiun pada usia 39 tahun. Ia merasa sebagai "contoh dari orang yang gagal dalam karier". Kedua, ia khawatir dianggap menonjolkan dirinya seraya meremehkan peran orang lain. Tulisnya, "dengan menulis sebuah memoar seseorang cenderung atau tergoda untuk menulis sebuah pembelaan mengenai tindakan-tindakannya di masa lampau, bahkan sangat menonjolkan perannya dalam sejarah dengan meremehkan atau memperkecil peran orang-orang lain." Ketiga, "dengan menulis memoar seseorang cenderung atau tergoda untuk mengajak para pembacanya untuk bernostalgia mengenai masa lampau yang diidealisasikan dan diromantisasikan". Tulisnya lagi, "... yang diperlukan ialah mengembangkan visi, harapan, bahkan impian mengenai masa depan, bukan menjual nostalgia yang diidealisasikan dan diromantisasikan mengenai masa lampau". Tapi, menjelang ia berusia 70 tahun yang jatuh pada 28 Januari l990, ia pun memutuskan menulis "memoar". Sebelum rampung, rupanya ia telah dipanggil Tuhan, l Januari l990. Tulisan itu sendiri sudah dimulainya tahun 1989. Empat bab telah diselesaikan, sebagian dengan tulisan tangan. Dan ketika ia jatuh sakit, kemudian dirawat di Tokyo, ia masih bersemangat menyelesaikan catatan terakhirnya. Setelah ia pulang dari Tokyo, dibentuk]ah panitia penyusun dan penerbitan buku memoar Pak Sim yang diketuai Soedarjo, Pemimpin Perusahaan Suara Pembaruan. Anggota tim antara lain Prof.Dr. Ihromi, Ketua Jurusan Sejarah FS UI, Samuel Pardede, R.Z. Leirissa, dan Victor Matondang. Menurut Samuel, redaktur senior Suara Pembaruan, tujuan penerbitan buku ini ialah untuk mengetengahkan T.B. Simatupang sebagai tokoh masyarakat. Almarhum punya gagasan besar bagi bangsa. "Ia bukan hanya tokoh militer, tapi juga tokoh demokrat," katanya. Selain itu, Pak Sim juga salah seorang tokoh yang banyak perannya dalam revolusi bersenjata. Ia juga salah seorang anggota delegasi RI dalam KMB (Konperensi Meja Bundar) yang memaksa Belanda mengakui kedaulatan RI. "Jadi, memang banyak faktor yang mendorong penerbitan buku yang dicetak 3.000 eksemplar ini. Orang-orang seperti Pak Sim sekarang ini kan makin langka," tambah. "Dulu Belanda mengatakan, Indonesia tidak akan pernah merdeka. Tapi Pak Sim membuktikan bahwa itu tidak benar. Nah, mitos yang tak benar itulah yang menjadi judul buku ini," kata Samuel. Salah satu bagian yang menarik dari buku ini ialah bab terakhir, yang memuat pandangan Pak Sim mengenai Bung Karno. "Hutang generasi saya kepada Bung Karno dan tokoh-tokoh segenerasinya adalah hutang budi" (halaman 268). "... dan saya melihat Bung Karno di samping Bung Hatta sebagai kontributor utama dalam proses lahirnya Pancasila yang berlangsung dari l Juni 1945 sampai 18 Agustus 1945 (halaman 269). Tapi sejak 1952, hubungan Pak Sim dan Bung Karno patah arang karena "perbenturan pandangan yang sangat tajam" (halaman 269). Meski begitu, ketika Bung Karno wafat pada 1970, Pak Sim -- ketika itu di Jenewa -- mengirim sebuah renungan ke Sinar Harapan. "Si patah arang" itu menulis: "Hidup kita semuanya akan tambah miskin, andaikata ia tak pernah hidup, bekerja dan berjuang di antara dan bersama-sama dengan kita" (halaman 271). Dan itulah Pak Sim, yang lebih dikenal sebagai negarawan ketimbang sekadar jenderal. Pejuang yang melihat perbedaan pendapat dengan wawasan yang luas. Untuk menerbitkan buku itu, panitia memang harus bekerja keras. Mereka merekam pikiran almarhum selama dirawat di rumah sakit, terutama untuk bab V hingga X. Tugas itu bisa selesai tepat seminggu sebelum Pak Sim meninggal. "Ketika itu kesadaran Pak Sim belum sepenuhnya hilang. Panitia, kata Samuel, tak terlalu banyak menyunting buku yang berisi gagasan pemikiran Pak Sim ini. Kami ingin buku ini tampil utuh dengan gaya Pak Sim," katanya. Panitia sengaja menerbitkan buku tepat pada hari lahir almarhum, 28 Januari lalu. Pustaka Sinar Harapan, yang berdiri akhir 1970, merasa punya misi menerbitkan buku semacam itu. Untuk mencerdaskan kehidupan bangsa," kata Aristides Katoppo, direktur utamanya. Selama ini orang mempelajari sejarah Indonesia ke Universitas Cornell, Leiden, atau Monash. Karena itu, kata Aristides, perekaman sejarah dan pemikiran tokoh-tokoh kita sendiri sangat perlu. Budiman S. Hartoyo, Reza Rohadian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini