BARANGKALI belum pernah ada pameran seperti Pameran Seni Patung Batu dan Kayu karya Saenun di Nikko Department Store, Bandung, 17-31 Juli. Barangkali, juga tak ada pematung seperti Saenun. Ia mengasah akik sejak 1974 andalan nafkahnya hingga kini. Sebelum itu ia adalah buruh bangunan. Anak kampung Cipedes, Bandung, ini tak mengenal bangku sekolah. Pada umur 10 ia sudah buruh kasar. Sebagai pekerja bangunan, ia menjelajah. Sampai-sampai kerja di Yogyakarta, Klaten. Bahkan pernah bertahun-tahun di Denpasar. Lalu tiba masa surut. Ia meninggalkan kerjanya sebagai mandor, pulang menetap di Cipedes, dan memutuskan mengasah akik. Ini menumbuhkan kebiasaan dia memperhatikan bentuk dan sifat batu. Lagi pula, minat dan khayalnya mudah tertarik pada barang yang tak biasa. Pada macam-macam tanduk dan barang antik, umpamanya. Ia tertarik pada patung yang kadangkala dilihatnya d rumah orang. Tujuh tahun lalu, pada usia 40, tak tertahankan lagi keinginannya untuk memberi bentuk kepada batu. Diambilnya sebungkal. Dibentuknya dengan gurinda: jadilah patungnya yang pertama. Eh, dibeli orang. Dan setelah itu, hasratnya untuk membuat patung -- dan keyakinannya bahwa ia juga bisa -- makin besar saja. Tapi ia tak mau memahat batu -- kecuali yang paling keras. Ia ingin lain dari orang Bali. Atau orang Jawa yang memahat batu padas atau batu gunung api yang lunak. "Sekeras-keras batu, lebih keras tekad saya," katanya. Lalu dihantamnya batu keras dari daerah Sukabumi dan Banten itu -- entah sudah berapa truk, selama tujuh tahun ini. Dan alatnya dibikinnya sendiri, atau ia minta tolong bikinkan pada pandai besi: dari paku beton, patahan kikir, dan potongan gergaji baja. Ketika ia juga memahat kayu, ia mencari kayu paling keras yang ada di sekelilingnya. Kayu lamtoro, misalnya. Kadang-kadang ada orang -- di antaranya orang asing -- yang lewat di depan rumahnya. Mereka tertarik dan membeli patungnya. Meskipun pembeli begini amat jarang,ia tak berupaya mendagangkan karyanya. "Di toko, banyak patung yang lebih bagus pun jarang laku," pikirnya. Dengan tenang ia memahat terus tiap hari, dari tahun ke tahun. Sedangkan masyarakat sekelilingnya asing terhadap kegiatan semacam itu -- malah menganggap dia mengadaada. Tetapi bagi Saenun, yang dilakukannya juga "kerja" namanya. Saenun mematung di luar lingkungan seni rupa. Ia tak mengetahui pergaulan para perupa di Bandung, tak mengunjungi pameran, tidak membaca tentang seni. Dan tidak ada yang ia jadikan guru -- kecuali alam terkembang. Khayalnya hidup. Dan pada sebongkah batu ia dapat menyidik suatu bentuk, misalnya, bentuk manusia atau binatang. Ia tinggal memahatnya, "melanjutkan" apa yang sudah dikerjakan alam. Itulah sebabnya pada banyak patung batunya, rupa alami yang kasar dan tak beraturan itu tampak jelas. Beberapa patungnya mengingatkan ke patung-patung purbakala, atau bahkan prasejarah, seperti yang ditemukan di Sumatera Selatan dan Jawa Barat. Pada patung kepala buaya yang dipamerkan di Nikko, misalnya nyata sekali benjolan dan lekukan, serta barik, yang dihasilkan oleh proses alam yang sangat lama. Pahatan (atau goresan) Saenun amat sedikit. Saenun mengamati gumpalan asap atau awan, dan melihat sosok manusia. Ia mencari kayu yang cocok, lalu membuat patung "manusia asap" itu. Hasilnya adalah patung kerawang -- dengan lubang-lubang yang tembus dari depan ke belakang. Namun, menggambarkan sosok manusia, dengan bagian-bagian berbelit meliku ke depan dan ke belakang, menjadikan patung ini tampak utuh dan padu. Artinya, dilihat dari sudut mana pun tetap menarik, dan rupa yang kelihatan dari satu sudut menyambung, atau berhubungan, dengan rupa yang tampak dar sudut lainnya. Berbeda dengan patung batunya yang pejal (masif), dan kebanyakan hanya mena rik dilihat dari satu arah (misalnya dari depan, jika patung sosok manusia). Saenun juga mendapat gagasan dari khayal kolekif alias khayal masyarakat. Misalnya naga dan garuda -- dan khayal yang amat tua dan terdapat di beberapa daerah d Indonesia: pertempuran antara burung dan ular, atau, dalam versi Hindu, antara garuda dan naga. Saenun jua mematungkan mosa, semacam belut yang menurut kepercayaan orang Sunda bisa berumur panjang dan berukuran besar, dan bisa dirasuki jin. Maka, wajahnya kadangkala akan mirip muka orang, dan tubuhnya tampak sebagai tubuh campuran. Ekornya, misalnya, adalah ekor buaya. Ia juga memahat wajah orang yang diingatnya. Dan, tentu, ia tak terbebas dari ingatan pada patung yang pernah dilihatnya, misalnya patung dewa Cina, sampai ke patung dada Beethoven. Tiba-tiba Saenun dikenal banyak orang, kini, Pelukis Rudy Pranadjaja, pemimpin Kelompok Seniman Bandung, "menemukan" Saenun. Dan Nikko Departement Store mengangkat pekerjaannya kegalerinya. Di balik itu, Saenun juga mengenal dunia persilatan sejak di dunia kanaknya, dan mendalaminya sejak menetap kembali di Cipedes. Di samping itu, ia memegang fatwa gurunya: "Moal bisa silat mun teu solat, moal bisa solat mun teu silat. " (Takkan dapat silat kalau tak salat, takkan dapat salat kalau tak silat). Silat itu kehidupan lahir, salat itu kehidupan rohani. Kepribadian dan tekad seorang pendekar, barangkali, tak akan mudah luluh oleh kemasyhuran dan uang. Di kalangan sem rupa terdengar suara seorang guru besar yang mengatakan seniman hanya bisa dididik di perguruan tinggi dalam program sarjana. Pada waktu para lulusan pendidikan tinggi seni lukis dan seni patung merasa, mereka hanya "bekerja" kalau menerima gaji bulanan. Dan karena itu tak pernah muncul dalam gelanggang kesenian -- kecuali satu-dua, dan karena langkanya, inilah "kasus". Tetapi pada waktu ini Saenun muncul. Dan menarik perhatian. Sanento Yuliman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini