Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Kerangka baru untuk aspirasi islam

Pengarang : alamsjah ratu perwiranegara jakarta : haji masagung, 1987 resensi oleh : ridwan saidi.

1 Agustus 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ISLAM DAN PEMBANGUNAN POLITIK DI INDONESIA Oleh: H. Alamsjah Ratu Perwiranegara Penerbit: CV Haji Masagung, Jakarta, 1987, 329 halaman PERAN Islam di Indonesia, dalam proses pembangunan politik yang tengah berlangsung dewasa ini, haruslah diarahkan pada sasaran membangun kepemimpinan umat, mengembangkan konsepsi yang tak terjerat formalisme Islam, dan mengorganisasikan segenap dana dan daya yang dimiliki umat. Rumus yang biasanya kita jumpai dalam keputusan muktamar pelbagai organisasi Islam kali ini kita dapatkan sebagai tema isi buku yang ditulis H. Alamsjah Ratu Perwiranegara. Dengan demikian, dapatlah dikatakan, betapa aktualnya rumusan itu, dari masa ke masa -- sejak merosotnya peran Masyumi sebagai satu-satunya wadah politik umat Islam hingga bubarnya partai tersebut -- dirasakan kelemahan Islam baik dari segi kepemimpinan, konsepsi, maupun pengorganisasian. Meski permasalahan di atas dirasakan sebagai sesuatu yang aktual, tidak dengan sendirinya bersifat preferensial. Kerinduan adanya kepemimpinan Islam yang utuh dan "tunggal" bertolak dari konsep wahdhatul imamah wal jama'ah. Padahal, konsep ini semakin sulit dicerna setelah diterimanya Pancasila sebagai satu-satunya asas sehingga tak ada lagi partai Islam atau partai umat Islam. Acuan persatuan tentu perlu diluruskan lagi, bermakna fisik atau wawasan. Sejalan dengan itu, adalah layak untuk juga memberi konotasi baru terhadap term ummat, politis atau lebih longgar dari itu. Tepat apa yang dikatakan pengarang, dalam merumuskan konsepsi perjuangan golongan Islam selama ini terjerat dalam "formalisme", mengutamakan bentuk luar daripada substansi. Kritik terhadap gejala formalisme Islam segera muncul begitu partai-partai Islam pada Pemilu 1955 menawarkan "konsepsi Islam" di arena kampanye. Para pesaing partai-partai Islam waktu itu bahkan mengatakan -- dengan mengejek, tentu -- jika Islam menang dalam pemilu, Lapangan Banteng namanya diganti jadi Lapangan Unta. Ejekan itu menjengkelkan, memang. Tapi tidakkah dari proses pergumulan pemikiran masalah kenegaraan sepanjang 30 tahun terakhir ini kemudian muncul pemikiranpemikiran segar dari kalangan Islam sendiri. Pemikiran itu bahkan sangat mendasar seperti yang diketengahkan oleh K.H. Ahmad Sidik tentang aspirasi Islam yang menurut dia identik dengan aspirasi Nasional. Syafruddin Prawiranegara begitu paralel dengan Ahmad Sidik. Ketika itu ia merumuskan aspirasi Islam sebagai persatuan bangsa, berdasarkan perdamaian dan hidup rukun antara semua individu dan golongan-golongan, hukum yang adil yang diterapkan secara adil oleh pengadilan -- yang bebas dalam arti tak dipengaruhi pihak mana pun -- dan kemakmuran yang merata bagi semua warga negara. Berbarengan dengan itu, Syafruddin tegas menolak pengertian aspirasi Islam yang diketengahkan oleh Imanuddin: sebagai tegaknya hukum-hukum Allah dalam diri keluarga, dan masyarakat. "Itu bukan aspirasi Islam, karena sempit dan hanya memuaskan orang Islam saja," kata Syafruddin (Risalah, Nomor I Tahun XXV). Barangkali duduk soal aspirasi Islam tidak semudah itu. Sebab, dalam bentuk minor aspirasi Islam muncul dalam wujud, misalnya penolakan segala bentuk kemaksiatan dan perjudian. Di sini hal itu menempati skala preferensial yang berbeda-beda di kalangan tiap golongan yang ada dalam masyarakat. Dan itu berbeda dengan bentuk mayor aspirasi Islam, seperti dilukiskan Syafruddin. Justru itu tak keliru kalau dengan ini Ahmad Sidik mengidentikkan aspirasi Islam sebagai aspirasi Nasional yang menjadi concern seluruh bangsa. Namun, terlepas dari kekuranglengkapan persepsi Syafruddin dan Ahmad Sidik, sebenarnya untuk tahapan pengembangan konsepsi, umat Islam pasca-asas tunggal Pancasila sudah dapat dengan jelas melukiskan contour aspirasi Islam. Yang ditunggu: bagaimana menyalurkan aspirasi itu. Dengan diundangkannya UU Nomor 3/1985 tentan Parpol dan Golkar berikut peraturan pelaksanaannya yang tertuang dalam PP Nomor 19/1986, PPP adalah bukan partai Islam, dalam pengertian apa pun. Dan itu bukan lagi merupakan saluran tunggal atau saluran yang tepat bagi aspirasi Islam. Sehingga, perlu dicari dan dikembangkan kerangka baru untuk keperluan itu. Memasuki masalah yang rumit ini, justru pengarang tampaknya tak tuntas menggumulinya -- walau sesungguhnya di situlah sebenarnya letak persoalan "Islam dan pembangunan politik di Indonesia". Pernyataan pengarang di halaman 212, sayang, tak diikuti uraian yang mendalam. Ia hanya menyebut, "Potensi Islam yang diwakili oleh kaum Muslimin Indonesia adalah sedemikian besarnya, sehingga kendati tidak tampil dalam bentuk "Partai Islam", dapat membangun dirinya serta kemudian menempatkan diri sebagai "gejala yang mempengaruhi kekuasaan", untuk meminjam bahasa definisi ilmu politik. " Padahal, mengingat pengalamannya yang banyak terjun di gelanggang politik, militer, dan pemerintahan, pengarang mempunyai kemampuan untuk itu. Yang menggembirakan adalah munculnya H. Amirmachmud, Soemitro, Sayidiman, dan Alamsjah (sekadar menyebut beberapa nama). Pengalaman empiris mereka di kancah dapat melahirkan semacam biografi politik. Niscaya buku semacam itu mewakili kurun waktu tertentu dalam sejarah politik Indonesia. Tokoh seperti H. Alamsjah Ratu Perwiranegara, mempunyai pengalaman pergumulan yang intens dengan golongan Islam sejak permulaan Orde Baru, sepantasnyalah kita berharap. Ridwan Saidi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus