Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di atas panggung Siti bertakhta. Tiada musik yang mengiringi, tatkala suaranya tipis, menembus, seraya melantunkan sebuah kata pendek, tapi dalam satu tarikan napas panjang—melampaui dua, tiga, bahkan empat garis birama. Melalui nada-nada minor, Siti Rahmawati mengungkapkan niat menghibur penonton: dengan sebuah zafin.
Ya, sebuah zafin dengan permainan ritme dominan dan melodi sederhana yang diulang-ulang. Laksamana Raja di Laut memang lagu bersahaja, tapi menuntut banyak dari penyanyinya. Dan malam itu, Siti tidak cuma menjawab tantangan. Ia mengangkat dan menjentikkan tangannya tinggi, aba-aba yang mengawali gendang yang gemuruh ritmis, awal musik yang riuh-rendah. Dan Siti Rahmawati tak tertahan.
Itulah Laksamana Raja di Laut. Dangdut melayu sama seperti rhythm and blues: memberikan kebebasan bagi si penyanyi untuk tidak selalu patuh pada garis melodi. Sering kali suara si penyanyi nyelonong keluar garis melodi. Bukan karena lepas kendali, melainkan karena art, seni menyanyi terletak pada kemampuan bermain-main di sepanjang garis melodi. Tentu, permainan dengan improvisasi ini hanya bisa dilakukan penyanyi yang sudah beres dengan urusan kesempurnaan teknis.
Selasa malam pekan lalu, di pentas Kontes Dangdut Indonesia (KDI), Gelora Bung Karno, Jakarta, Siti tidak membawakan Laksamana Raja di Laut. Ia menyanyikan Segudang Rindu yang bergerak perlahan dalam nada-nada tinggi. Dua kontestan lain, Nassar dan Safarudin, masing-masing dari Bandung dan Makassar, membawakan Dia Lelaki Aku Lelaki dan sebuah nomor klasik, Kota Pujangga. Dalam acara grand final itu, penonton adalah hakim, SMS terbanyak akhirnya menjatuhkan vonis: Siti juara satu, Nassar juara dua, dan Safarudin juara tiga.
Dangdut adalah musik hasil ramuan ajaib tiga elemen: Melayu Deli, orkes gambus, dan gendang India. Ketiganya bergabung, tapi dengan satu elemen lebih menonjol. Nassar, 18 tahun, fasih membawakan lagu-lagu yang mendekati musik India. Lihatlah ia melantunkan Milikku karya A. Rafiq. Lagu yang bercerita tentang keputusasaan seorang pemuda yang kehilangan kekasih. Lagu yang meratapi sekaligus memuja kesia-siaan cinta. Suaranya sedikit sengau, tapi lincah menjelajah nada-nada yang tak lain dari pengembangan potongan melodi utama. Temponya amat cepat, dominasi bunyi tabla dan tamborin bahkan seakan menelan, menghapus lirik yang sedih. Milikku lagu buat penyanyi yang cekatan melewati tikungan-tikungan nada, tanpa mengurangi kecepatan.
KDI memang buah kelatahan massal: muncul ketika stasiun-stasiun televisi berlomba mengadakan kontes menyanyi—dari Akademi Fantasi Indosiar (AFI) hingga Indonesian Idol. Namun KDI banyak menghibur. Acara grand final cukup panjang, empat setengah jam, tapi tidak membuat penonton berbondong-bondong meninggalkan ruang pertunjukan. Hingga pukul 23.00 SMS yang masuk tak kunjung berakhir. Malam itu sekitar tiga juta SMS masuk. Ya, KDI sebuah sukses. Sepanjang periode 5-11 September, KDI tercatat sebagai program televisi terpopuler ketiga di negeri ini. Bahkan konon share rating-nya mengalahkan acara serupa yang menjadi saingannya, AFI atau Indonesian Idol.
Tapi KDI adalah dangdut, sebuah dunia yang heboh. Tahun lalu, seorang penyanyi asal Pasuruan, Inul Daratista, menerbitkan kontroversi sengit. Seperti wajahnya, suara Inul tidak jelek, tapi tidak juga istimewa. Dan memang bukan itu yang penting. Puncak atraksi justru terjadi ketika suara penyanyi senyap.
Tatkala tepukan gendang yang dinamis—sering dalam jaipongan—mengambil alih pentas, dan kevakuman itu hanya diisi lengkingan suling yang menyayat, Inul menggeliat. Ia memutar panggul hampir 360 derajat, berlawanan dengan gerak tubuh bagian atas. Istilah populernya ngebor, tapi sebagian orang menafsirkan erotis. Rhoma Irama, satu figur senior di dunia dangdut, turun tangan buat meluruskan yang dinilainya miring. Si senior menegur si junior yang namanya melambung melampaui rekan-rekannya. Peristiwa wajar, tapi menimbulkan gelombang raksasa.
Masyarakat cepat terbelah dua: pro-Inul dan pro-Rhoma. Alkisah, dalam suatu pertemuan lintas generasi di Studio Soneta Group, Depok, Rhoma Irama tidak cukup hanya menyemburkan tudingan bahwa Inul telah "melemparkan dangdut ke comberan". Rhoma menyebut, goyang Inul telah merusak moral dan akhlak bangsa, seraya melarang Inul menyanyikan lagu-lagunya. Kita tahu, Inul pasrah, matanya sembap, tapi pendukungnya tak bisa menerima perlakuan sekeras itu. Tahun lalu, pagar yang memisahkan dangdut dan dunia di luarnya rebah: hampir tiap-tiap kelompok di negeri ini menghambur masuk, menunjukkan identitas ideologi masing-masing.
Sekarang ada KDI, ada Siti. Dalam Laksamana Raja di Laut, Siti Rahmawati bergerak mengikuti rentak melayu, irama zafin. Musik semarak, tapi tanpa ramuan seronok goyang, gitek, dan geol. Unsur-unsur non-musik menyusut. Demi kekayaan musikalitas, Purwatjaraka Big Band memboyong satu barisan panjang pemusik: empat pemain biola, satu selo, dua trompet, dua trombon, dua gitar, satu drum, satu bas, satu suling dangdut, satu tabla atau gendang dangdut, dua keyboard, satu piano, dan tiga penyanyi latar.
Dalam beberapa nomor, Purwatjaraka menyuguhkan warna musik jazzy. Dalam interlud lagu Jatuh Bangun suling dangdut bergerak dengan improvisasi lebih "merdeka", improvisasi yang biasa terjadi di dunia jazz, akornya berubah. Begitu juga Begadang-nya Rhoma Irama yang meliputi dangdut koplo dan rock.
Dari pentas KDI tampaklah bahwa dangdut adalah musik yang disayang para produser rekaman, disukai pejabat, disayangi masyarakat luas. Dangdut mendapat perlakuan istimewa, dan semakin hari kita semakin sering mendengar seniman dangdut menempuh jalan pintas. Dulu kita tahu, dari persaingan ketat di arena dangdut muncullah figur "panas" semacam Inul. Sekarang, mungkin giliran pertarungan antara bintang-bintang instan, produk persaingan di dalam maupun di luar KDI.
Dan pasar akan memilih: dangdut sebagai sebuah musik yang istimewa, atau sekadar pengantar goyang?
Idrus F. Shahab, Nurdin Kalim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo