Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Di Gerbang Abu Ghraib

Penyiksaan tahanan GAM di Aceh mendapat sorotan lembaga hak asasi manusia dunia. Kekerasan yang nyaris terlupakan.

4 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMANYA Sayed Mustafa Usab. Usianya 42 tahun. Ia bertubuh gempal dan berkulit kuning. Pekerjaan terakhirnya adalah buruh kargo di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Pekerjaan Sayed sesungguhnya bukanlah kuli angkut. Dia jebolan pelatihan militer di Libia tahun 1989. Tak salah, Sayed salah satu orang penting di dalam tubuh Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Tugasnya khusus: kurir bagi pemimpin GAM di Swedia dan gerilyawan di Aceh.

Mengaku pernah menjabat Koordinator GAM Meureuhom Daya (Aceh Barat) dan Aceh Selatan 1999-2001, Sayed bertualang dari rimba ke kota. Lahir di Kubu Tunong (sekarang Kabupaten Nagan Raya), dia hafal luar kepala semua jalan tikus di sana. Dengan berbekal paspor asli tapi palsu—dalam dokumen resmi, namanya tercatat sebagai Heriyadi alias Azri Azis—Sayed terbang hingga ke Swedia, Denmark, dan Norwegia. "Tugas saya melaporkan situasi lapangan di Aceh ke Swedia," kata Sayed kepada Tempo di Penjara Tapak Tuan, Aceh Selatan, awal bulan lalu.

Suatu hari, dalam pelariannya di Jakarta, ia tertimpa sial. Mei lalu ia dibetot Satuan Gabungan Intelijen (SGI). "Saya dibawa ke sebuah tempat," ujarnya. Di sana Sayed diinterogasi habis-habisan. Ia mengaku dipukul dan didera. Kekerasan mereda setelah esok harinya ia diterbangkan ke Banda Aceh dengan tangan terikat. Di Aceh, setelah pengakuan meluncur dari mulutnya, penyiksaan menurun.

Sayed mungkin lebih beruntung. Sejumlah tahanan GAM lainnya, menurut laporan mutakhir Human Rights Watch, lembaga pemantau hak asasi manusia yang berbasis di New York, Amerika Serikat, mengalami nasib lebih buruk. Laporan bertajuk Aceh at War: Torture, Ill-Treatment and Unfair Trials setebal 55 halaman itu diterbitkan Senin pekan lalu. Dengan bantuan kelompok lokal, lembaga itu berhasil mewawancarai 35 tahanan GAM yang kini dibuang ke Pulau Jawa. "Dari jumlah itu, 24 orang mengaku mengalami penyiksaan," ujar Saman Zia-Zarifi, Deputi Direktur Divisi Asia lembaga itu. Dan kisah penyiksaan pun mengalir.

Sebut saja namanya Adi. Dia mengaku bukan tokoh Gerakan Aceh Merdeka. Usianya 22 tahun dan kini ia meringkuk di salah satu penjara di Jawa Tengah. Sebelum dipindahkan ke Pulau Jawa, katanya, ia disiksa aparat. "Di dalam sel, banyak sekali penyiksaan. Ada yang ringan dan berat, tapi semuanya penyiksaan," kata Adi. Dia mengaku cuma warga kampung biasa.

Ditangkap 19 Mei lalu di Aceh Barat, Adi digelandang tujuh polisi dan dituding sebagai anggota GAM. Lalu, di Polres, selama seminggu ia dipukul dan dipaksa mengaku membunuh aparat. "Mereka salah tangkap dan saya dipaksa mengaku," begitu kesaksiannya kepada Human Rights Watch. Dia digencet selama sepekan. "Kulit saya dikuliti pakai pisau. Badan saya dibakar pakai korek api," ujar Adi. Tak tahan, akhirnya dia pun mengakui semua tudingan si interogator. Di pengadilan, Adi dijerat hukuman lima tahun penjara.

Seorang warga lainnya mengaku ditahan prajurit Kopassus selama operasi militer di desanya pada 5 Juni 2003. "Saya dibawa ke pos rahasia," ujarnya. Tangannya diikat dan matanya ditutup. Dia mengatakan kena siksaan setrum dan dipukul sampai pingsan. Aparat rupanya mencari senjata. Dia mengaku tak punya bedil. Tak satu pun nama yang ditanyakan interogator ia kenal. Aparat tetap menuduhnya bersalah. Sehari kemudian, ia dialihkan ke Penjara Lhok Seumawe, Aceh Utara.

Sebetulnya, banyak kisah serupa muncul dan tenggelam dalam perang di Aceh. Human Rights Watch sendiri sudah menerbitkan delapan seri laporan hak asasi manusia selama darurat militer di Tanah Rencong itu. Repotnya, kata Saman, aparat keamanan Indonesia sering alergi dengan kritik itu. Apalagi, sejak kasus penyiksaan tawanan Irak oleh militer Amerika Serikat di Penjara Abu Ghraib, Irak, Amerika Serikat, kata pejabat Indonesia, tak punya dasar moral menghujat pelanggaran hak asasi manusia di Aceh.

Bagi Saman, kritik itu juga tak berdasar. "Sekarang giliran militer dan polisi Indonesia melakukan hal yang sama seperti kepada tawanan di Abu Ghraib," ujarnya.

Bukan cuma TNI yang disasar lembaga pemantau itu. Laporan mereka juga mencatat kekejaman GAM. Sejak darurat militer diterapkan di Aceh Mei tahun lalu, GAM terlibat kasus penculikan, penyanderaan, dan penahanan warga sipil. Semua tindakan itu, kata Saman, melanggar hukum perang dan hak asasi manusia. Misalnya GAM di Aceh Timur terbukti menahan dua wartawan RCTI, Ersa Siregar dan Fery Santoro, seorang sopir, dan dua sipil lainnya. Pelanggaran oleh GAM itu juga menjadi kepedulian Human Rights Watch. "Tapi kami dilarang masuk ke Aceh. Jadi, tak bisa mewawancarai korban GAM," ujar Saman.

Lalu, mengapa laporan itu diterbitkan persis setelah pemilu presiden? Menurut Saman, lembaganya berharap pemerintah baru bisa menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia atas tahanan GAM di Aceh. "Pemerintahan baru harus menghentikan cara penyiksaan seperti itu," ujarnya. Laporan itu juga sudah disampaikan kepada Tokyo Grup, yang terdiri dari Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa.

Tokyo Group adalah kelompok negara yang membantu proses penghentian konflik bersenjata di Aceh. Lembaga itu juga berharap wartawan dan lembaga pemantau asing bisa segera masuk ke Aceh. Soalnya, kata Saman, bila mata dunia buta soal Aceh, pelanggaran hak asasi akan terjadi lebih banyak lagi. Pelakunya bisa dua belah pihak, baik TNI maupun GAM. "Jangan sampai Aceh menjadi perang rahasia," kata Saman.

Markas Besar TNI di Cilangkap tersentak oleh bunyi laporan itu. Juru bicara TNI, Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin, mengatakan sedang mempelajari temuan Human Rights Watch. Cilangkap, kata dia, langsung mengerahkan Komandan Puspom TNI, Mayjen Ruchyan, dan Kepala Bantuan dan Pembinaan Hukum TNI, Mayjen F.X. Sukirman, menyelidiki perlakuan atas tahanan GAM. "Kalau terbukti ada pelanggaran, kita tindak tegas," ujar Sjafrie.

Dalam operasi militer, kata dia, tak ada perintah penyiksaan bagi tahanan. Penyelidikan itu akan membuktikan kebenaran laporan badan hak asasi manusia itu. Sebaliknya, kata Sjafrie, "Kalau tidak terbukti, kita akan minta pertanggungjawaban Human Rights Watch." Sayangnya, Sjafrie tak memerinci langkah apa yang bakal diambil jika temuan lembaga itu keliru.

Sampai Agustus lalu, menurut catatan Tim Monitoring Tapol/Napol Aceh, sedikitnya 1.777 tahanan GAM tersebar di penjara seluruh Aceh. Sekitar 143 tahanan GAM itu sudah dipindahkan ke penjara di Pulau Jawa. Mereka tersebar di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. "Data itu belum termasuk yang ditahan di pos militer atau polisi," ujar Taufik Abda, aktivis lembaga hak asasi manusia yang berbasis di Aceh itu.

Di Pulau Jawa sendiri, sejumlah tahanan GAM mengaku diperlakukan baik. Di Penjara Lowokwaru, Malang, Jawa Timur, ada sekitar 25 tahanan GAM yang mendekam sejak 17 Mei silam. Menurut Kepala Penjara Lowokwaru, Dedi Sutardi, semua tahanan GAM itu tak ada yang bertingkah. "Mereka semua berperilaku baik," ujarnya. Beberapa tahanan bahkan mendapat remisi Agustus lalu.

Petinggi GAM yang dipenjara di LP Sukamiskin, Jawa Barat, juga mengaku tak mendapat masalah. Ada tiga juru runding GAM yang ditahan di sana. Mereka adalah Teuku Kamaruzzaman, Teungku Usman Lampoh Awe, dan Amni bin Marzuki. Kamaruzzaman, misalnya, setiap hari membunuh waktunya dengan membaca buku dan beribadah. Yang masih membuatnya geram adalah saat pemindahan tahanan dari Aceh ke Pulau Jawa. "Saya tak tahu mengapa kami harus dirantai," ujarnya Jumat pekan lalu.

Nezar Patria, Yandhrie Arvian, Abdi Purnomo (Malang), Rana A. Fitriawan (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus