Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hotel Pro Deo
Penulis: Remy Sylado
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Terbitan: Pertama, 2010
Tebal: 1.016 halaman
KISAH ini dibuka oleh penggambaran sosok Dharsana: seorang perwira polisi berpangkat komisaris besar, bergaya perlente, dan doyan main perempuan. Dia menikahi Intan, janda beranak satu buah perkawin annya dengan André Margaux, diplomat Prancis yang tewas dalam sebuah pertikaian politik di Angola. Sepeninggal suami nya, Intan dan Marc, anak lelaki semata wayangnya, pulang ke Indonesia. Dan cerita pun dimulai.
Intan kesengsem pada pandangan pertama. Dharsana yang ditemuinya di sebuah pesta ulang tahun memikat hatinya. Tanpa berpanjang lagi, Intan pun bersedia dinikahi Dharsana yang seenak udelnya meninggalkan istri tuanya dalam keadaan lumpuh. Intan tak tahu itu. Kepada istri barunya, Dharsana mengaku duda.
Pernikahan yang diputuskan sekejap itu pun berada di ujung tanduk karena tindak-tanduk Dharsana pada urusan perempuan tak pernah bisa direm. Hubungannya dengan Marc juga memburuk: seperti lazimnya hubungan ayah dengan anak tiri yang selalu diwarnai oleh syak.
Hubungan Dharsana dengan Marc semakin buruk ketika Marc, yang berpacaran dengan putri Retno, selingkuhan Dharsana, memergoki ayah tirinya itu berasyik-masyuk dengan ibu pacarnya itu. Setan merasuki Dharsana. Ia berniat menghabisi Marc untuk menjaga muka yang telanjur coreng di hadapan Intan. Rencana busuk pun disusun. Dharsana ingin agar skenarionya tak mudah ditebak: memasang orang lain sebagai kambing hitam dari aksi gelapnya itu.
Cerita yang dibangun Remy laiknya pohon bercabang. Plot utama novel ini berpusar pada hubungan Dhar sana, Intan, Retno, Rah mat Wirjono, dan Marc. Sementara itu, subplot mengisahkan ber bagai peristiwa dan bermacam insiden bernuansa politis yang menempatkan Dharsana sebagai aktor dalam semua akrobat politik berbau kriminal itu.
Bangunan cerita yang didirikan Remy menyuguhkan kompleksitas tak mudah dinyana. Ia piawai menyajikan kehidupan sosialita ala Orde Baru yang dilengkapi bumbu-bumbu kepentingan bisnis, perilaku koruptif, sampai urusan syahwat. Dharsana adalah makhluk dengan kejahatan sempurna. Ia ada di belakang kerusuhan rasial yang terjadi di Jakarta pada 13-14 Mei 1998. Ia memerintahkan pembakaran semua bangunan milik pengusaha keturunan Tionghoa sekaligus menyuruh orang-orangnya memerkosa para perempuan dari kelompok minoritas tersebut.
Hotel Pro Deo menjadikan zaman peralihan Orde Baru ke era reformasi sebagai latar belakang waktu kejadian. Senjakala kediktatoran beserta kehidupan serba wah dari pion-pionnya, yang mulai getir dan gelisah karena tak siap menghadapi angin perubahan yang datang serba mendadak, menjadi jalinan kisah yang menarik. Kisah-kisah itu terselip di antara tuturan tentang aksi mahasiswa dan kasak-kusuk di kalangan elite militer yang mulai jumpalitan cari selamat.
Sebagaimana novel-novel nya yang terbit lebih mula, Ca Bau Kan (2002) dan Kembang Jepun (2003), Remy selalu menghadirkan romantika kehidupan manusia dalam kungkungan jiwa dan problematik zamannya masing-masing. Pada Ca Bau Kan dan Kembang Jepun, Remy berkisah tentang cinta tulen sepasang manusia yang harus berantakan karena zaman dirambahi pergolakan politik dan pepe rangan. Ada benang merah yang mengikat kisah dalam ketiga novelnya, Ca Bau Kan, Kembang Jepun, dan kali ini, Hotel Pro Deo: sensibilitas dalam kehidupan manusia yang membungkus percintaan, kesedihan, pertarungan, intrik, dan kebencian dalam satu genggaman.
Ada sedikit keganjilan di balik keberhasilan Remy menangkap jiwa zaman (zeitgeist) sebuah periode yang atraktif untuk diriwayatkan. Pangkat Dharsana yang polisi itu disebutnya komisaris besar atau setara dengan kolonel tentara. Pada era Soeharto, jenjang kepangkatan polisi sama dengan tentara. Pada era Gus Dur, pangkat kolonel polisi berubah menjadi senior superintenden, mirip polisi di film-film India yang identik dengan sosok Inspektur Vijay. Setelah itu, perubahan kembali terjadi dan pangkat senior superintenden berganti jadi komisaris besar. Betapapun penyebutan komisaris besar jauh lebih mudah dimengerti pembaca zaman kini, Remy telah membuat anakronisme.
Sosok Marc, anak tiri Dharsana, sebagai pemuda yang kuliah di akhir 1990-an pun, terasa janggal jika menyenangi musik country rock tepat di saat anak-anak muda sezamannya menggandrungi grup hip metal seperti Limp Bizkit, atau paling tidak ke belakang sedikit, menyenangi lagu metal ala Metallica. Namun bagaimanapun, novel ini karya fiksi hasil pekerjaan imajinatif, bukan karya sejarah yang mendasarkan kisah pada fakta. Karena itu, Remy selamat.
Yang juga penting dicatat adalah Remy mengembalikan prinsip novel sebagai cerita. Dalam Hotel Pro Deo, ia lolos dari jebakan pretensi—penyakit yang menjangkiti banyak penulis muda. Ia terkadang memberikan ceramah—terutama tentang aspek bahasa yang memang dikuasainya.
Tapi ia tak berlagak pintar. Ia juga tidak berpre tensi memberikan kejutan yang tak perlu. Remy mengutamakan isi, meski bukan berarti abai pada bentuk.
Remy sadar bahwa novelnya harus enak dibaca. Kuat diduga, ia memang meniatkan novelnya menjadi ekstratebal 1.016 halaman. Karena itu, ia membimbing pembaca untuk tak tersesat dalam cerita. Selain membaginya dalam bab-bab yang singkat satu bab cuma terdiri atas 6-7 halaman—ia menjelaskan apa konsekuensi sebuah peristiwa pada kelanjutan cerita. Teknik ini membuat Hotel Pro Deo seolah tak mengindahkan kejutan. Tapi Remy tahu apa yang dilakukannya: kejutan baginya adalah kompleksitas cerita itu sendiri, bukan sekadar permainan plot.
Tapi mengapa novel ini harus tebal? Selain karena kompleksitas persoalan, barangkali Remy ingin membuktikan sesuatu. Bahwa seorang penulis di usia yang tak lagi muda (12 Juli lalu dia tepat 65 tahun) tetap punya daya tahan untuk me nulis panjang—seperti seorang pelari maraton. Remy ingin membuktikan ”kegilaan” dalam menulis membuahkan sesuatu yang ”luar biasa”. Ia bisa menulis beberapa cerita dalam satu waktu. Hotel Pro Deo, menurut dia, ditulis bersamaan dengan Aku Mata Hari—cerita bersambung di Kompas. Semua naskahnya ditulis dengan mesin tik.
Ada kabar, semula Hotel Pro Deo berhenti di ketebal an 900-an. Tapi Remy bertekad: novel harus 1.000 halaman. Maka ia melanjutkan. Hasilnya adalah novel yang juga dipakai sebagai bantal. Enak dibaca tapi dengan sebuah catatan: di bagian akhir Hotel Pro Deo terkesan dipaksakan. Sangat terasa Remy memanjang-manjangkan cerita.
Bagaimanapun Hotel Pro Deo sebuah novel yang menghibur, terlebih ketika menemukan cerita tentang aktor-aktor kejahatan kemanusiaan produk Orde Baru berakhir di hotel prodeo. Tentu sayang seribu sayang kisah tersebut cuma bisa ditemui di novel, bukan di alam yang sesungguhnya, tempat banyak pelaku kejahatan hak asasi manusia lenggang kangkung hidup untung. Dan bagaimanapun, seperti kata sejarawan-cum-sastrawan Kuntowijoyo, sastra adalah pekerjaan imajinasi yang lahir dari kehidupan sebagaimana dimengerti oleh pengarangnya. Dari novel ini kita tahu pergulatan batin pe nulis yang mengerti betul bagaimana problematik yang dihadapi bangsanya: banyak bandit berkeliaran di luar penjara.
Bonnie Triyana (sejarawan, Pemimpin Redaksi Majalah Historia Online) dan Arif Zulkifli
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo