Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Drama Tanah Terakhir

A. Warits Rovi adalah penulis cerpen dan puisi. Karya-karyanya dimuat di berbagai media. Ia aktif di Komunitas Damar Korong.

27 Agustus 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DRAMA TANAH TERAKHIR
A. Warits Rovi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di sisi utara ladang itu, tumbuh sebatang pohon jambu air yang berbuah sepanjang waktu. Ia terus merumbai bunga-bunga putih berputik halus. Menyembulkan gelantungan buah segar, mengkilap, dan agak licin. Saat pohon-pohon lain layu di terik kemarau, pohon jambu air itu tetap merimbun hijau, segar, seolah bersumbar bahwa dirinya hidup tak tergantung kepada musim.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sedang di bawah pohon jambu air itu, Hanafi, ayah Hamid, dikuburkan. Hanya bernisan tumpukan batu-batu kecil yang nyaris datar dan berkijing sepasang batang kayu hitam.

“Ayahmu tetap tersenyum saat dua butir peluru bersarang di dadanya. Aku menangis sambil memeluk ayahmu dengan erat. Tangan kanan berusaha membendung aliran darah dari sepasang luka di dadanya. Tapi ayahmu menepis halus tanganku. Dengan suara gemetar dan terbata, ia melarangku menutup luka itu. Aliran darahnya ia biarkan menyatu dengan tanah itu. Ia merasa bangga mati di tanah sendiri dan atas nama berjuang mempertahankannya demi anak cucu.” Untuk kesekian kalinya Hamid mendengarkan cerita Nisa, ibunya. Masih tentang perjuangan ayahnya yang gigih menjaga sepetak ladang.

Biasanya ia hanya bisa diam menakir sedih. Air matanya turut jatuh saat melihat ibunya menangis. Saat seperti itu, pikirannya dibayangi oleh sepetak ladang yang diceritakan ibunya itu; lahan bertanah kapur yang tak subur ditanami apa pun, selain hanya disesaki jalar rumput dan semak. Kalaupun ada, hanya serumpun pisang ambon yang tumbuh kerdil; daun-daunnya menguning dan banyak yang kering. Batangnya cuma seukuran lengan. Dan ujungnya tak pernah menyembulkan tongkol.

“Lantas kenapa ayah harus rela mati hanya demi mempertahankan ladang tandus itu?” tanyanya dalam hati.

***

Semakin hari, ladang itu semakin tak terurus. Rumput liar dan semak rendah merimbun lebat, membelit pohon pisang yang semakin kerdil dan berdaun kering. Nisa yang sudah tak sehat hanya bisa datang sekadar mengantar sesajen. Selebihnya berdoa dengan kedua mata berderai tangis di dekat kubur suaminya.

Hamid semakin tak peduli dengan ladang itu. Ia terus sibuk dengan bisnisnya. Ia hanya bisa datang ke ladang itu seminggu sekali untuk sekadar berkirim fatihah di kubur ayahnya. Itu pun kalau dirinya sedang tak di luar kota. Jika sedang di luar kota, bisa berminggu-minggu ia tak datang ke kuburan ayahnya. Ladang itu semakin jauh dari pikiran Hamid. Apalagi sejak dulu ia memang menganggap ladang itu sebagai lahan tak berguna karena tak bisa ditanami apa pun. Meski ada pohon jambu air ajaib yang memayungi kuburan ayahnya di ladang itu, Hamid tetap tak tertarik. Yang terlintas di benaknya bukan kemauan untuk merawat, tapi kemauan untuk menjual. Ia berspekulasi; andai ladang itu dijual, uangnya bisa digunakan untuk modal bisnis, dan untungnya pasti berlipat-lipat.

“Jika kujual ladang ini dan dijadikan modal, itu akan lebih bermanfaat. Lebih bermanfaat dari pohon jambu air ini.” Hamid mulai berani membanding-bandingkan pohon jambu air itu dengan rencananya.

***

“Ini ladang sudah tak produktif. Tak bisa ditanami apa-apa lagi, Bu. Selain hanya rumput liar yang bebas tumbuh. Alangkah baiknya jika ladang ini dijual saja. Apalagi kini banyak orang yang mengincarnya, bahkan dengan harga yang sangat mahal. Daripada tak terawat dan tak produktif, lebih baik jual saja, Bu!” ungkap Hamid seusai ziarah.

Nisa cuma diam. Kedua matanya terpaku menatap kuburan suaminya. Sesekali beralih sorot ke batang pohon jambu air yang merimbun di sampingnya. Ia memilih membisu daripada menjawab salah. Hatinya tetap kokoh untuk tidak menjual tanah peninggalan suaminya itu. Hanya saja, jika ia bicara, takut arah pembicaraannya menyinggung perasaan Hamid.

“Uangnya akan saya pakai untuk investasi. Untungnya akan berlipat. Bahkan bisa membeli tanah lain yang lebih luas dan lebih bagus dari tanah ini.”

Hamid terus membujuk ibunya. Nisa masih bergeming.

“Ayolah, Bu!”

Keadaan hening. Hanya ada geletar angin dan bau kemenyan dari asap yang mengepul di sabut kelapa yang dibakar di bawah pohon jambu air.

“Apa kamu yakin akan semudah itu?”

“Apa kamu yakin tanah moyang tak mengandung tulah?”

Hamid hanya tersenyum. Tapi ia optimistis, tak akan ada tulah.

***

Sahmat, tokoh kampung yang dulu dikenal sebagai orang yang paling keras melindungi tanah dari incaran investor, kini mulai longgar, bahkan tindakannya berputar 180 derajat: ia kini yang membujuk warga agar mau menjual tanahnya. Investor, dengan kekuatan uangnya, akhirnya mampu membeli hati Sahmat.

Hamid yakin Sahmat mampu memecah hati ibunya yang membatu. Dengan sekeranjang oleh-oleh, di pagi yang gerimis, saat orang-orang masih enak merapikan selimut, Hamid menemui Sahmat di rumahnya. Sahmat yang semula mengantuk dan kerap menguap karena memang bangun dengan terpaksa, akhirnya matanya jadi binar saat mendengar permintaan Hamid.

“Apa kamu yakin untuk menjual ladang itu?” suara Sahmat meninggi. Kelopak matanya mulai melebar.

“Sangat yakin. Asal Paman bisa membujuk hati ibu.”

“Itu perkara gampang. Hahaha.”

Sahmat tertawa, terbayang di benaknya, jika ladang itu terjual, ia akan mendapat upah ganda; dari Hamid karena dirinya bisa membujuk Nisa dan dari investor karena berhasil kembali merebut lahan warga.

Sahmat yang dulu dikenal paling getol melindungi tanah yang jadi incaran asing, mulai berubah pikiran saat dirinya digencet urusan ekonomi. Akhirnya ia punya keputusan untuk melakukan apa pun, yang penting bisa menghasilkan uang.

“Jika aku berhasil membujuk ibumu agar mau menjual ladang itu, kamu mau membayar berapa kepadaku?”

Sebentar Hamid berpikir. “Tiga juta rupiah, Paman!”

“Mohon maaf! Itu jumlah yang sangat sedikit.”

“Lima juta, Paman.”

Sahmat tersenyum. Ia masih tak menjawab. Keadaan sejenak hening. “Baiklah, aku terima. Itu karena aku menganggapmu keponakan sendiri. Andai orang lain, aku mematok delapan juta.”

***

Tak menunggu waktu lama, Sahmat langsung mendatangi Nisa. Mulanya ia berbicara banyak hal tentang keadaan hidup yang mulai tak menentu. Wajahnya dibikin sedikit meringis untuk meyakinkan Nisa bahwa Sahmat benar-benar orang yang empati terhadap keadaan.

Lidah liciknya memulai arah ke target dengan pura-pura membahas moral remaja yang semakin memprihatinkan. Berbicara masalah pentingnya pendidikan agama. Membahas ekonomi orang kampung yang kian hari terus tersihir untuk merantau ke luar daerah. Kedua matanya sesekali dibuat berkaca-kaca seolah hendak menangis. Beberapa kali tangan kanannya mengusap dada. Nisa mengangguk-angguk, juga dengan wajah yang meringis. Ia tidak sadar sedang digiring ke sebuah adegan drama licik.

Lidah licik Sahmat terus bergerak. Mulai memuji bisnis Hamid. Menyanjung-nyanjungnya sebagai pemuda desa kreatif yang tak ikut arus pergi merantau dan memilih hidup menjaga kampung kelahirannya.

“Jadi, menurutku, restui saja bila Hamid mau menjual ladang yang ditumbuhi jambu air itu. Biar digunakan untuk modal bisnisnya. Daripada pergi merantau, kan lebih baik bekerja di sini. Hidup dengan kamu,” ungkap Sahmat sambil melepas napas panjang.

Nisa terkejut mendengar perkataan Sahmat. Ia terdiam. Seperti seketika mendengar sentakan petitr.

“Biarkan dijual?” tanya Nisa dengan bibir gemetar. Setengah tak percaya.

Sahmat mengangguk. Beriring senyum.

“Apa saya tak salah dengar, Man?”

“Tidak. Pendengaranmu betul.”

Nisa kembali tercengang. Mulutnya menganga. “Bukankah Paman dulu getol mengawal warga untuk tidak menjual tanahnya?”

“Iya dulu. Tapi, daripada harus merantau, kan lebih baik menjual tanah untuk kepentingan bisnis di kampung ini.”

“Apa itu tak lebih bahaya daripada merantau, Man? Perantau hanya tubuhnya yang ada di rantau, sementara di belakang ia kan tetap punya tanah. Punya tanah sama artinya dengan punya kedaulatan. Sementara kami, walau tak merantau, jika tanah dijual, kami kan tak punya kedaulatan. Jika suatu hari mereka mengusir kami…”

“Yang penting tanah pekarangan yang ditempati rumahmu tidak dijual. Itu sudah cukup.”

Nisa masih mematung. Mulutnya masih menganga. Untuk kedatangan pertama kalinya, Sahmat memang siap gagal. Tapi dia berjanji untuk kembali dan terus membujuk Nisa hingga mengizinkan Hamid menjual ladangnya. Kepalanya terus dibayang-bayangi uang upah.

***

Hari hampir magrib saat Nisa mengunjungi kuburan suaminya. Ia sedikit tergesa membakar kemenyan di sabut kelapa. Segera ia mengaji. Suaranya kadang terbata. Berbaur tangis lirih. Bahunya tampak bergetar karena terisak.

Seusai berdoa. Setelah mengusap kedua tangan ke wajahnya. Ia mengedar pandangan ke sekitar; ke ladang yang dirimbun semak. Air matanya kian menetes.

“Kau kini memang sudah bukan milikku. Tapi aku tetap ingin kau memilikiku.”

Meski matahari telah karam, menyisakan senyap dan kelam, Nisa tetap duduk di dekat kuburan. Seolah hendak mengadu kepada almarhum suaminya bahwa ladang satu-satunya—yang dulu diperjuangkan hingga mati—sudah dijual oleh Hamid. Tentu saja atas izin dirinya, setelah dibujuk oleh Sahmat.

Dua orang berbadan tegap tinggi suruhan investor seketika datang mengendarai sepeda motor. Lalu dengan kasar mengusir Nisa dari lahan itu.

“Cepat tinggalkan lahan ini. Jangan coba-coba datang lagi ke sini. Kuburan ini akan segera dibongkar dan di tanah ini sebentar lagi akan dibangun sebuah diskotek.”

Tangis Nisa semakin nyaring. Membelah malam. Bercampur bau kemenyan.

***

Hari yang dikhawatirkan Nisa akhirnya datang juga. Hari yang tak pernah diyakini terjadi oleh Hamid ternyata tiba. Hamid hanya bisa menganga; antara takut dan menyesal. Nisa menangis memukul-mukul tanah sambil berteriak walau tahu itu hanya sia-sia.

Di depan mereka, dua ekskavator sedang membabat ladang. Kuburan ayah Hamid sudah dibongkar dan diratakan. Tidak tahu mayatnya dibuang ke mana.

“Apa harga mahal ladang ini yang kau jual mampu menebus kesedihan kita? Apa bisnismu juga mampu menutupi tindakan binal ini?” Nisa mengguncang-guncang tubuh Hamid yang masih diam tertegun.

Di depannya, ekskavator dengan liar menghancurkan dengkulan tanah dan membabat habis segala tumbuhan hingga hancur berkeping, kecuali pohon jambu air yang hijau itu yang masih tetap kokoh berdiri. Walau dua ekskavator terus menyeruduknya dengan kuat, pohon itu tak patah. Bahkan sebaliknya, leher pengeruk ekskavatornya yang rusak.

“Mestinya kau berguru kepada pohon itu,” suruh Nisa kepada Hamid. Tangannya menuding pohon jambu air yang tetap kokoh berdiam di atas pendiriannya sendiri.


Gapura, 2023


A. Warits Rovi lahir di Sumenep, Madura, 20 Juli 1988. Karya-karyanya, berupa cerpen, puisi, esai, dan artikel, dimuat di berbagai media. Ia aktif di Komunitas Damar Korong dan mengabdi di MTs Al-Huda II Gapura.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus