Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH mesti segera menghentikan penyelundupan timah, termasuk yang dilakukan dengan memanfaatkan kelemahan peraturan. Negara sudah rugi triliunan rupiah, lingkungan pun rusak parah. Tak terhitung luas lahan hijau di Bangka dan Belitung yang sekarang gersang merana akibat penggalian bijih timah secara sembrono.
Penyelundupan terus berlangsung. Buktinya, belum lama ini kapal pembawa timah ilegal asal Bangka Belitung ditangkap TNI Angkatan Laut. Markas Besar Kepolisian RI telah mencopot Kepala Kepolisian Daerah Bangka Belitung—kendati tak menyebut keterkaitannya dengan kasus itu. Tindakan itu belum cukup. Modus penyelundupan perlu diungkap, si pelaku wajib dihukum tanpa pandang bulu. Sementara itu, bolehlah kita memberi apresiasi kepada Angkatan Laut, yang menangkap kapal yang dikawal personel polisi berseragam dan bersenjata lengkap tersebut.
Nafsu melakukan penyelundupan itu barangkali lantaran timah di Bangka Belitung ditengarai mengandung mineral langka alias rare earth. Mineral itu merupakan komponen penting untuk produk elektronik berteknologi tinggi yang mahal harganya. Dari layar sentuh komputer, telepon seluler, mobil hibrida, sonar kapal perang, sampai pemandu peluru kendali nuklir memakai mineral itu.
Penambangan bijih timah, yang kebanyakan secara liar, tentu saja memukul industri pengolahan dalam negeri. Smelter di dalam negeri tak banyak mengolah bijih timah itu. Tahun lalu, dari 94.300 ton bijih timah yang ditambang, hanya 55 persen yang diolah smelter dalam negeri.
Satu kenyataan pahit: timah Indonesia ternyata lebih menghidupkan smelter milik pengusaha Malaysia dan Thailand. Tahun lalu Malaysia hanya memproduksi 3.800 ton timah, tapi mengolah lebih dari delapan kali lipat jumlah produksinya. Bahkan Thailand, yang sama sekali tak menghasilkan timah, mengolah 23 ribu ton timah. Adapun Singapura, yang tak memiliki tambang dan smelter, bisa mengekspor puluhan ribu ton ke pasar dunia. Kondisi ini tak mengherankan. Sudah lama ada indikasi bahwa para pengusaha Singapura, Malaysia, dan Thailand menjadi pemilik sesungguhnya tambang timah di Bangka Belitung, dengan memanfaatkan mitra lokal sebagai boneka.
Penyelundupan juga membuat perdagangan timah di Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia sepi. Pasokan timah ilegal ke pasar internasional membuat bursa lokal kalah bersaing dengan bursa timah di Kuala Lumpur dan London. Ironis, Indonesia sebagai eksportir timah terbesar, dengan cadangan kedua terbesar di dunia, tak memiliki posisi tawar dalam mengendalikan pasar.
Pemerintah harus segera menutup celah penyelundupan timah. Celah itu terdapat pada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 32 Tahun 2013, yang menyebutkan ekspor timah batangan wajib melalui Bursa Komoditi sejak 30 Agustus 2013. Sedangkan ekspor timah non-batangan baru wajib melalui Bursa mulai 1 Januari 2015.
Para pengusaha nakal "memainkan" ketentuan ekspor timah non-batangan itu. Misalnya dengan memanipulasi bentuk, kandungan stannum, besi, dan timbel. Kemudian mereka "melegitimasi" dengan stempel dari petugas survei, Bea-Cukai, dan polisi.
Peraturan menteri bukan kitab suci dan perlu segera diubah. Segala bentuk timah mesti diperdagangkan di Bursa Komoditi. Dengan begitu, penyelundupan dengan beragam modus itu akan surut. Industri di dalam negeri diharapkan menggeliat lagi. Siapa tahu, Indonesia akan kembali punya pengaruh menentukan harga timah di pasar dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo