Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Emosi: Kambing, Batu, Sawah, Kasur, dan Video

Emosi bukan getaran dari dalam dan luar diri yang akhirnya melahirkan karya. Persoalan sekarang, emosi dikendalikan mesin dan teknologi.

28 Juli 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI pintu masuk gedung utama Galeri Nasional, Jakarta, tiba-tiba kita dicegat patung sekelompok kambing metalik dengan tutul hitam di tubuhnya. Mereka berjejer, antre menuju celah di kolong imaji seseorang berbaju mirip tokoh Batman ”the Dark Knight” yang sedang berjongkok. Dan tutul hitam itu kian memudar.

Karya instalasi Entang Wiharso ini begitu menyergap perhatian, karena ia melukiskan langsung bagian karyanya pada tembok putih galeri dengan cat hitam, seraya membentuk imaji cadas yang mendindingi kambing-kambingnya. Entang mengetengahkan soal ”kambing hitam” sebagai metafor kehadiran dari yang laten di tiap budaya dalam Unspeakable Victim, The Story Behind Super Hero. Lewat kambing, ia sedang menuturkan persoalan tentang perbedaan identitas dalam lingkup sosial-budaya saat ini. Watak kekaryaannya mencerminkan gejolak emosi, yang bukan hanya pada diri tapi lebih dipengaruhi faktor-faktor di luar diri sang seniman.

Pameran E-Motion di Galeri Nasional, 18-25 Juli 2008, mengetengahkan sejauh mana kadar nilai emosi yang terkandung dalam struktur kekaryaan 12 perupa. Salah satu kuratornya, Rizki A. Zaelani, mengemukakan bahwa emosi juga menjadi penting untuk mengenali identitas, mengapresiasi dan memahami kenyataan hidup. Aspek emosi mampu menunjukkan adanya batas yang bisa ditembus daya nalar dan kognisi manusia. Mungkin bisa kita bayangkan bagaimana keterlibatan emosi dalam menghasilkan karya, seperti lukisan Ay Tjoe Christine, More Handcuff, Please 2 dan 3, yang memancarkan imaji liar terhadap seseorang dengan tubuh yang tercabik. Atau keruhnya persoalan kemanusiaan dalam karya-karya Tisna Sanjaya lewat garapan aspal hitam di atas kanvasnya yang membentuk imaji kengerian tapi sekaligus mengandung semangat hidup.

Karya-karya perupa Nyoman Erawan memperlihatkan emosi seperti jalinan antara spiritualisme, ekspresi transenden, dan hasrat artistik serta persoalan sosial. Karya lukisannya seri Tarian Para Korban menunjukkan gejolak yang berpusar melalui persimpangan antara cara melukis simbolik: realistik dan ekspresionis. Simbol benda berwujud jarum-jarum yang menghunjam, menusuk-nusuk sesuatu yang tergantung hingga tercabik dan pecah. Garapannya yang dinamis namun tertib, ekspresif di tengah bidang yang formal, menunjukkan keseimbangan antara nalar dan emosi yang menggelora. Mungkin unsur emosi ini juga bisa dilihat sebagai persoalan kontekstual, alih-alih di tiap budaya punya ekspresi masing-masing.

Seniman Diyanto lain lagi. Ia menghadirkan imaji yang lebih teatrikal dan susunan simbol dari bahasa tubuh dalam lukisannya. Diisyaratkan oleh kurator lainnya, Hardiman, bahwa emosi juga bisa sebagai suatu konstruksi sosial. Maka, bagi Diyanto, ihwal emosi juga seperti watak yang bisa dikondisikan.

Dua perupa asing, Daniel Kojo dan Ruth Frisch Daely, asal Amerika Serikat, memberikan warna lain pada aspek emosi ini. Lukisan-lukisan potret dan lanskap ekspresif dan berlapis karya Ruth dan karya Kojo yang lebih menggabungkan unsur fotorealis dan grafis berupa potongan teks dan potret, menawarkan emosi di dalam struktur yang lebih tertib. Dari Indonesia hal ini bisa kita amati pada karya Ibrahim, misalnya, yang mengetengahkan problematik emosi ini di tengah kanvas lewat penumpukan warna dan goresan yang spontan serta sporadis, tapi dengan emosi yang sama sekali tak melimpah-ruah, penuh ketenangan.

Sedangkan Yani Mariani menggarap instalasi batu yang merayap ke atas dinding. Hasilnya terasa menarik, batu-batu tersebut tampak menjalar seperti menari-nari mengikuti nada. Beda dengan Hanafi dengan rangkaian lukisan berimaji batu yang hening, atau instalasinya berupa kasur di atas dipan besi raksasa yang cenderung menghadirkan simbol yang dingin.

Nah, seperti apakah emosi yang bisa menjadi irama yang mengatur denyut hasrat seniman berkarya dengan medium di luar lukisan? Pada karya instalasi video Teguh Ostenrik berjudul On Sale, ia menyajikan orang-orang dari latar sosial dan budaya berbeda menyanyikan lagu Rayuan Pulau Kelapa, secara rampak dari enam unit monitor televisi sekaligus. Lagu itu kini terdengar bermakna ironis dan mengolok-olok. Begitupun tayangan tunggal video dan lukisan Krisna Murti, yang memperlihatkan bentangan sawah dari representasi media baru (video dan komputerisasi). Dulu, emosi adalah jiwa yang merasakan getaran dari dalam dan luar diri, kemudian mengguncang kehendak untuk berkarya, sedangkan problem zaman sekarang adalah emosi lebih dikendalikan oleh mesin dan teknologi. Di sanalah karya seni rupa kontemporer banyak berbicara.

Rifky Effendy, kurator dan penulis seni rupa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus