DIALOG ANTARA DUNIA NYATA DAN TIDAK NYATA Pengarang: Th. Sri Rahayu Prihatmi Penerbit: Balai Pustaka, Jakarta, 1989, 224 halaman BUKU ini adalah cetak utuh skripsi atau tesis Master of Art Prihatmi di Universitas Flinders, Australia, yang membahas kumpulan cerita pendek Danarto. Termasuk di dalamnya adalah komentar pemeriksa luar pada kulit belakang dalam. Ini cukup mengganggu. Saya merasa berhadapan dengan sebuah skripsi, bukan bacaan biasa. Sebagai skripsi ia skripsi yang baik dan kuat. Ada dasar teori yang meyakinkan, yang membedakannya dari kebanyakan tulisan tentang kesusastraan kita hasil sarjana kita. Pada "Pendahuluan", suatu pembicaraan singkat tentang biografi dan posisi Danarto dalam kesusastraan Indonesia, disimpulkan Prihatmi bahwa cerpen Danarto bercirikan mistikisme dan realitas nonmaterial, sesuai dengan cerita fantasi, fantastic menurut Tzvetan Todorov. Ini membawanya kepada "teori pendekatan: fantasi" Dengan pemikiran itu ia masuki dua antologi cerpen Danarto -- saya tak menggunakan istilah "kedua" karena kini ada antologi Berhala (1988). Menurut Prihatmi, Danarto dibesarkan dalam budaya Jawa yang mistik, dan pernah berkenalan dengan berbagai kekerasan. Ia juga pelukis. Ini yang membentuk Danarto, yang memungkinkannya mencipta. Kesan saya, bagi Prihatmi, karya sastra, khususnya cerpen Danarto, hanya manifestasi manusia pribadi dan bukan fenomena sosial. Prihatmi membawa kita ke dunia fantasi yang selama ini kita abaikan. Ia memperkenalkan sesuatu yang baru. Diterangkannya hakikat cerpen Danarto yang fantasi. Tak lupa dikutip ucapan Cixious, tokoh teori feminisme Prancis yang subversif terhadap dunia lelaki, tentang ciri subversif yang melekat pada cerita fantasi, yang juga judul tambahan buku Jackson, the literature of subversion, tetapi ini kurang ditonjolkan Prihatmi. Ia lupa membicarakan bagaimana dunia tak nyata mensubversi dunia nyata pada cerpen Danarto. Ia lebih berbicara tentang kehadiran dunia tak nyata pada cerpen Danarto. Dan ini diperlukan Prihatmi untuk mengklasifikasikan cerpen Danarto, yang jadi perhatian utamanya. Ia hanya dapat berbicara tentang sesuatu yang punya kepastian klasifikasi. Ia berbicara tentang puisi kongkret karena ada klasifikasi tentangnya, dan ini dicarinya pada karya Danarto. Prihatmi lebih bertindak melaksanakan suatu teori dan bukan menemukan sesuatu dari data, hasil eksplorasi. Ia lebih berusaha membuktikan bahwa cerpen Danarto adalah karya yang fantastis. Dan kita tak mungkin meminta lebih dari itu. Sesuai dengan hakikatnya sebagai skripsi, ia hanya studi permulaan, yang perlu dilanjutkan. Pembicaraan Prihatmi perlu dihargai karena ia sesuatu yang positif. Pertama, ia memperkenalkan kita kepada dunia yang selama ini kurang kita kenal. Ia berusaha mengubah pemahaman kita tentang cerita fantasi, yang dahulu kita anggap tak masuk akal saja. Kedua, hal itu didekatinya dengan kekuatan teori, yang juga memperlihatkan bagaimana pentingnya teori bagi pembicaraan sastra. Ada kesan bahwa pengertian Prihatmi tentang cerita fantasi sebagai sesuatu yang di luar logika dan konvensi terasa longgar. Tak ada keterangan tentang batasan logika dan konvensi. Dikatakannya bahwa Iu Ayu yang tega mencincang anak gadisnya adalah hal yang berada di luar konvensi, fantastis, tak mungkin terjadi di dunia nyata. Namun, ini bukan tak mungkin terjadi. Paling tidak, kini ada suami yang mencincang istri. Berdasarkan pemikiran ini Ziarah Iwan adalah fantasi. Ziarah dianggap tak logis karena bercerita tentang dunia yang dikuasai oleh dua orang gila. Karena itu, menurut Prihatmi, untuk dapat menerima pengertian tentang fantasi, perlu ada kepastian tentang apa yang dimaksud dengan garis logika dan konvensi. Ada kesan, garis itu baru ditentukan Prihatmi setelah ia berjumpa dengan sesuatu yang di luar logika dan konvensi. Persoalannya tak semudah sebagai dikemukakan Prihatmi. Ada banyak hal yang perlu diperhitungkan. Kita bukan hanya berhadapan dengan pengertian cerita fantasi, tapi juga dengan persoalan intertekstual yang juga berhubungan dengan pengertian dialogis dari Bakhtin, yang pasti berhubungan dengan pengertian subversif, yang sekaligus membawa kita kepada hakikat karya sastra sebagai suatu fenomena sosial. Kita mesti memperhitungkan kehadiran simulacrum, penyamaran antara metafora dan takmetafora, yang juga diperlihatkan oleh cerpen "Cenderamata" Danarto dalam Berhala, yang bercerita tentang seorang anak yang mengeluarkan air mata berupa benang yang berwarna-warni, yang kemudian diperdagangkan sebagai cendera mata, hadiah. Kita boleh bertanya apakah Danarto berbicara tentang air mata dalam arti sebenarnya, atau tentang orang yang memperdagangkan penderitaan rakyat dan "air mata" adalah metafora. Karena kedua kemungkinan itu boleh terjadi, kita sebenarnya berhadapan dengan simulacrum, satu arti berdialog dengan arti lain, yang satu tidak meniadakan yang lain. Hakikat ini, yang ada pada Berhala, saya rasa dapat menolong kita memahami kehadiran "dunia lain" pada kedua antologi tadi dan sekali gus dapat menonjolkan hakikat subversif yang ada padanya. Ini memerlukan pembicaraan selanjutnya yang mengungkapkan persoalan lain, yang lebih luas. Apa yang diungkapkan Prihatmi bukan keseluruhan kebenaran. Ada kebenaran lain yang tak diungkapkan. Dan ada hal lain yang mengganggu saya dalam membaca buku ini. Prihatmi lebih saya kesan mencari hakikat kefantasian cerpen Danarto berdasarkan ucapan tokoh cerita, tanpa melihat suatu cerpen sebagai kesatuan yang utuh. Ia terasa menggunakan pendekatan positivistis dan bukan dialektis, yang akhir, dalam sosiologi sastra, dihubungkan orang dengan Lucian Goldman. Umar Junus
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini