BANGGA juga rasanya, melihat pakaian jadi dengan cap "Made in Indonesia" dipajang di salah satu lantai toko Robinson, sebuah toko mewah di pusat kota Los Angeles. Tekstil buatan Indonesia juga kelihatan dipasang di toko-toko beken lainnya seperti Sears dan Montgomery Ward. Ada rok, kemeja, kaus, semuanya berwarna cerah, secerah datangnya musim semi. Tapi mungkin yang saya lihat adalah sebuah kecerahan semu. Sebab, di balik ini semua, masih berlangsung kerancuan dalam perdagangan tekstil yang diatur secara ketat oleh Pemerintah Amerika. Indonesia tak bisa meningkatkan ekspor tekstilnya ke Amerika sekalipun permintaan dari toko-toko serba ada masih terus datang. Beberapa jenis tekstil Indonesia sudah mentok kuota. Ekspor tekstil Indonesia ke Amerika merupakan korban sebuah kebijaksanaan perdagangan yang sempit, yang tidak mengandung rasio ekonomi, yang tidak jelas ke mana arahnya. Dengan alasan memberi proteksi industri tekstil dalam negeri, lebih dari seperempat abad lalu Pemerintah Amerika mengekang impor tekstil. Semula diharapkan bahwa pemberian proteksi ini bersifat sementara, tapi, nyatanya, entah sampai kapan akan berlangsung. Pembatasan impor tekstil oleh Amerika merupakan kebijaksanaan yang sulit dimengerti karena hal-hal seperti ini seharusnya tidak dihasilkan oleh negara yang percaya pada supremasi sistem perdagangan bebas. Falsafah mereka adalah: beri kebebasan sepenuhnya kepada penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi perdagangan, dan, kalau ini bisa dilakukan, perdagangan akan tumbuh pesat, yang pada gilirannya akan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Eksportir, importir, dan warga negara lain yang berdiri di pinggir, semua akan menikmati hasilnya. Tapi sekali pemerintah melakukan campur tangan, dengan dalih apa pun, semua akan rugi. Konsumen Amerika yang ingin membeli tekstil Indonesia atau RRC tak bisa dipenuhi keinginannya. Industri mobil di Amerika tidak bisa menekan ongkos produksi karena impor baja dari Brasil yang murah dan bagus dibatasi. Konsumen akhirnya harus menanggung harga yang lebih mahal. Ironisnya adalah bahwa kebijaksanaan perdagangan yang makin restriktif ini justru berlangsung di masa Presiden Ronald Reagan, tokoh yang sangat fanatik terhadap falsafah ekonomi pasar bebas. Reagan merupakan presiden yang paling banyak melakukan deregulasi. Di bawah Reagan, ekonomi AS mengalami pertumbuhan terus-menerus selama tujuh tahun tanpa terputus. Sesuatu yang tak pernah terjadi dalam sejarah AS. Keberhasilan Reagan di bidang ekonomi ini, menurut beberapa pengamat, merupakan sumber inspirasi bagi pergolakan di Uni Soviet dan Eropa Timur. Tapi justru di bawah pemerintahannya, Amerika melangkah ke arah proteksionisme yang paling parah sejak zaman depresi 1930. Ketika Reagan keluar dari Gedung Putih pada 1988, bagian impor Amerika yang lewat jalur proteksi naik dua kali lipat menjadi 24%, dibanding ketika Reagan dilantik menjadi presiden pada 1980. Peraturan perdagangan warisan Reagan ini masih kukuh di tempatnya sekalipun dasar kehadirannya tidak relevan lagi. Defisit neraca perdagangan masih digunakan sebagai alasan pokok AS untuk mempertahankan politik perdagangannya yang galak itu. Pesan Pemerintah AS yang bisa kita tangkap adalah: selama defisit neraca perdagangan Amerika (terutama dengan Jepang) belum reda, jangan diharap AS akan melonggarkan politik perdagangannya. Yang menjadi pertanyaan sekarang: benarkah ada masalah yang disebut "masalah defisit perdagangan Amerika". Ataukah dia hanya sebuah mitos yang sengaja diembuskan? Pada 1988, defisit neraca perdagangan Amerika untuk pertama kalinya dalam satu dekade turun dengan US$ 35 milyar, menjadi US$ 125 milyar. Tahun lalu defisit ini diperkirakan turun lagi menjadi US$ 115 milyar. Sebagai persentase GNP, defisit ini turun dari 3,5% GNP pada 1987, menjadi sekitar 2% GNP tahun lalu. Defisit dengan Jepang turun tapi pelan. Pertambahan ekspor AS ke Jepang sekarang lebih cepat dari ekspor ke Eropa Barat. Tapi angka US$ 55 milyar defisit dengan Jepang yang selalu dikutip tidak mengungkapkan seluruh cerita yang terjadi. Penghasilan AS dari luar negeri ternyata bukan hanya berasal dari ekspor. Pada 1986, beberapa anak perusahaan AS di Jepang seperti IBM, Texas Instruments, dan Coca-Cola menghasilkan US$ 81 milyar dari penjualan barang dan jasanya. Sekitar 20% impor AS ternyata berasal dari perusahaan mereka sendiri yang beroperasi di luar negeri. Dan anak perusahaan AS yang beroperasi di seluruh dunia tahun lalu menghasilkan US$ 720 milyar penjualan, tujuh kali nilai defisit perdagangan Amerika. Tapi tak satu sen pun angka ini tercatat dalam statistik bea cukai. Ini belum termasuk modal luar negeri yang masih terus membanjir ke AS dalam bentuk pembangunan pabrik, pembelian real estate, pembelian saham, dan obligasi. Seperti disimpulkan oleh John Naisbit dalam buku terbarunya Megatrends 2000: "Ekspor terbesar Amerika adalah saham dan obligasi. Impor terbesar Amerika adalah uang". Kalau demikian halnya, sebenarnya AS tak punya defisit perdagangan dengan siapa pun. Presiden Bush tampaknya tak akan banyak melakukan perubahan dalam politik perdagangannya. Langkahnya akan dituntun oleh persepsi yang terbentuk selama ini. Amerika akan tetap proteksionis. Pendekatannya terhadap masalah perdagangan akan lebih banyak bersifat bilateral yang eksklusif daripada multilateral yang memberi banyak keuntungan kepada banyak negara. AS akan terus peka terhadap setiap perlakuan tidak adil terhadap produknya di luar negeri. Presiden Bush akan langsung mengirim surat atau menelepon kepala negara lain bila kepentingan produk AS terancam di negara bersangkutan. Yang paling celaka, politik perdagangannya ini masih didasarkan pada hantu defisit, yang eksistensinya sangat dipertanyakan. Mitos defisit ini timbul dari rasa tidak aman Amerika yang melihat ekonomi negara lain, terutama Jepang, makin meningkat. Rasa tidak aman ini bertambah dengan kejadian dahsyat di Uni Soviet dan Eropa Timur beberapa bulan terakhir ini. Segala premis dan asumsi yang digunakan untuk merumuskan kebijaksanaan nasional hancur berantakan. Sementara yang baru masih harus dicari, Amerika tidak mau mengambil risiko dengan melakukan terobosan-terobosan. Lebih baik berpegang kepada sesuatu yang lama, yang sudah diketahuinya sekalipun itu berupa hantu atau mitos.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini