Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beragam sosok, seperti ikan, kuda laut, dan ubur-ubur, berseliweran melintasi jajaran koral yang beraneka warna. Di atas mereka ada beberapa ekor burung, juga gumpalan seperti awan atau pulau dari kejauhan. Bernuansa biru dengan hamparan pasir, pengunjung seperti langsung tercebur ke dasar laut begitu menyibak tirai hitam di pintu masuk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di ruang Bale Tonggoh Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, Ady Setyawan menggelar karya instalasinya pada 8-29 Januari 2023. Bertajuk "Parabhose", pameran itu merupakan presentasi karya akademik sebagai tugas akhirnya di Program Studi Magister Desain Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung. Di ruang pameran yang sekaligus menjadi tempat sidang tesisnya itu, Ady dan timnya memasang proyektor untuk menampilkan video mapping bercitra suasana bawah laut dan suaranya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, tidak seperti dalam film kartun Spongebob atau sekuel terbaru Avatar, suasana dan cerita yang dibangun bukanlah fiksi, melainkan berlatar fakta tentang sampah di perairan Wakatobi. Wilayah itu merupakan kabupaten kepulauan di Provinsi Sulawesi Tenggara, yang terkenal sebagai lokasi wisata bahari dengan keindahan terumbu karangnya. "Tiap musim angin barat dan timur, sampah dari negara di sekitar Indonesia sampai ke pesisirnya," kata Ady, Rabu, 11 Januari lalu. Dari huruf-huruf yang tertera, sampah-sampah itu diketahui berasal dari Vietnam, Thailand, dan Hong Kong.
Instalasi dari sampah yang mencemari pantai di Wakatobi. TEMPO/Prima Mulia
Sudah lama penduduk pesisir yang bekerja sebagai nelayan mengumpulkan dan menggunakan sampah yang dinilai masih layak pakai, seperti kayu, botol kaca, dan tali, untuk berbagai keperluan. Barang yang dianggap berharga dan unik oleh warga lokal itu sampai dianggap sebagai oleh-oleh atau parabhose dalam bahasa setempat. Konon saat itu sampah plastik masih jarang, tidak seperti sekarang yang kebanyakan sampah kemasan produk.
Barang-barang temuan itu kemudian mereka angkut ke darat. Namun tradisi yang masih bergulir itu lama-kelamaan menimbulkan masalah baru. Sampah hasil pengumpulan dari laut menumpuk dan hanya sedikit yang dipakai ulang. Kondisi itu lantas menggerakkan anak muda setempat untuk bergiat dalam komunitas Katutura yang dibentuk pada 2018. Mereka ingin melestarikan hedongka serta menggunakan limbah dari laut itu untuk diolah menjadi karya seni dan barang kerajinan.
Ady Setyawan. TEMPO/Prima Mulia
Aktivitas di salah satu lokasi tujuan wisata bahari itu turut menarik minat kelompok atau komunitas dari berbagai tempat untuk berkolaborasi, dari hedongka bersama hingga pengolahan sampahnya. Menurut Ady, figur-figur yang muncul dalam animasi video mapping Parabhose merupakan foto karya seni kolase buatan anggota komunitas. Bentuk hewan-hewan laut itu dibuat dari aneka sampah temuan. "Pameran ini merupakan alih wahana dari apa yang mereka buat ke media digital," tutur Ady.
Video mapping itu digarap selama 1,5 bulan setelah semua bahan terkumpul. Sebelumnya, Ady bersama tim di studio Arafura Media Design dalam tiga tahun belakangan sering membuat karya video mapping, augmented reality, stop-motion, dan animasi bagi para klien. Selain itu, mereka pernah menyabet penghargaan gelar juara pertama dan Best People’s Choice dalam Video Mapping from Home pada 2020, gelar juara kedua Bangkok Projection Mapping 2021 Competition, serta menjadi finalis Asia Digital Art Award Fukuoka. "Membuat video mapping menjadi pekerjaan keseharian kami."
Salah satu karakter hewan laut terbuat dari sampah yang mencemari pantai di Wakatobi. TEMPO/Prima Mulia
Untuk menjalin koneksi pengunjung pameran di Bandung dengan Wakatobi sekaligus kampanye kepedulian sampah, Ady merancang karyanya dengan balutan teknologi interaktif. Pada beberapa bentuk balok kecil di atas pasir disematkan tempelan barcode. Pengunjung bisa menggunakan kamera smartphone untuk memindai kode batang itu, yang kemudia akan diarahkan ke situs web. Setelah menulis nama, pengunjung diajak mencari lima sampah yang tersebar di area pasir instalasi.
Kumpulan lima sampah yang berbeda itu kemudian dicocokkan dengan unsur gambar-gambar kolase pada video mapping, seperti ikan atau burung. Setelah itu, nama pengunjung otomatis akan ikut tampil di video mapping menyertai figur kolase yang berhasil dicocokkan dengan temuan sampahnya. "Pengalaman interaksi ini sekaligus membuat rasa kepemilikan pengunjung terhadap karya," kata Ady. Kurator di Selasar Sunaryo Art Space, Heru Hikayat, menilai pameran itu merupakan sebuah kampanye yang artistik.
ANWAR SISWADI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo