Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Museum Layang-layang Indonesia, bekerja-sama dengan Musea Indonesia: education & creative development mengadakan kegiatan Bincang Musea di Toeti Heraty Museum – Galeri Cemara 6, pada Selasa, 17 Desember 2024. Kegiatan ini juga dikelolah oleh komunitas PAS Rekadaya bersama Musea Indonesia, serta berkolaborasi juga dengan Asosiasi Museum Indonesia (AMI) Daerah Jakarta Paramita Jaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian program kolaborasi yang dilaksanakan Yayasan Layang-layang Indonesia pada tahun 2024, dalam kerangka program Dukungan Institusional dari Dana Indonesiana, yang dijalankan oleh Kementerian Kebudayaan RI dan LPDP Kementerian Keuangan RI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Acara tersebut dihadiri sejumlah pembicara seperti eks Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid, Dolorosa Sinaga sebagai seniman dan akademisi IKJ, Yiyok T Herlambang Ketua AMI Jakarta Paramita Jaya sekaligus Direktur LSP-PI, dan Karina Mintahir dari Museum Ecosystem Enabler. Diskusi dipandu oleh Punto A. Sidarto dari PAS Rekadaya.
Hilmar Farid menyampaikan bahwa museum pada abad ke-21 harus menjadi institusi publik yang kreatif dalam mendidik masyarakat. “Museum tidak bisa hanya mengandalkan koleksi dan berharap pengunjung datang untuk mencari informasi. Di era digital, teknologi memungkinkan akses informasi di mana saja. Tantangan kita adalah mengomunikasikan koleksi melalui platform kreatif dan digital,” ujarnya.
Sementara, Dolorosa Sinaga yang juga berprofesi sebagai seniman patung mengungkapkan, museum bukan hanya sekedar tempat untuk memamerkan barang tapi memiliki esensi dari setiap jengkal yang ada di dalamnya.
‘Museum itu sebagai peristiwa interaksi dengan masyarakat, mau tua mau muda, disitu dia akan berinteraksi dengan ekspresi, kreativitas, imajinasi, inovasi dan lain-lain tentang sejarah” kata dia.
Yiyok T. Herlambang kemudian menekankan pentingnya inovasi agar museum tetap relevan di tengah perkembangan zaman. Ketika museum dapat menyatukan edukasi dan hiburan, pengunjung akan datang dengan rasa penasaran dan antusias. Ini bukan hanya menghidupkan museum, tetapi juga berdampak positif bagi lingkungan sekitar,” katanya.
Menurutnya, museum harus membawa koleksi ke dalam konteks masa kini dan masa depan agar tetap menarik. “Jika museum tidak relevan, maka akan ditinggalkan. Kreativitas adalah kunci untuk menunjukkan peran dan makna koleksi museum bagi masyarakat,” ujar Yiyok, yang mendorong penerapan konsep edutainment dan edutourism sebagai pendekatan untuk menjawab tantangan tersebut.
Museum yang Beralih Fungsi Jadi Tempat Pengembangan Kreativitas
Kegiatan Bincang Musea memiliki tema Creative Development ‘pengembangan kreativitas’ di museum. Kegiatan ini berlandas pada kesadaran akan peran penting museum sebagai media belajar olah rasa.
Melansir dari siaran pers Bincang Musea sekitar awal lima puluh tahun lalu telah memunculkan era baru yang mengubah pandangan tentang museum yang awalnya hanya sebatas tempat pelestarian koleksi menjadi ruang budaya tempat masyarakat menyampaikan ekspresi seni, membangun identitas budaya, ataupun menjalankan kegiatan sosial. Pandangan tersebut telah menguatkan pandangan tentang museum sebagai tempat tumbuhnya nilai-nilai pendidikan.
Nilai pendidikan yang dibangun di museum berhubungan erat dengan kegiatan pengembangan kreativitas. Kegiatan pengembangan kreativitas sendiri merupakan bentuk kegiatan edukasi berbasis olah rasa. Kegiatan tersebut lazimnya berupa kegiatan seni, seperti musik, sastra, tari, lukis, dan lain-lain; atau juga kegiatan kriya, misalkan membuat layang-layang, kertas lipat, tembikar, dan sebagainya. Menariknya kegiatan ini berkembang tidak hanya diperuntukan untuk anak-anak tetapi juga kalangan dewasa atau bahkan lansia.
Minimnya Pengembangan Olah Rasa dalam Sistem Pendidikan Di indonesia
Melansir dari siaran pers Bincang Musea konsep pengembangan kreativitas pendidikan di Indonesia sangat minim. Dalam pendidikan sekarang justru seringkali menekankan pada rasionalitas yang menjadi ciri dari modernitas, hal tersebut hal tersebut justru telah mengabaikan edukasi olah rasa.
Padahal pada era-era sebelumnya seperti sebelum kemerdekaan konsep edukasi yang berbasis olah rasa seperti seperti yang dilakukan di museum telah dilakukan oleh bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara saat membina Taman Siswa. Pendidikan olah rasa menjadi bagian penting dan integral dalam kurikulumnya, bukan hanya sekedar ektrakulikuler pilihan.
Komunitas Memiliki Peran Penting dalam Mempertahankan Pendidikan Olah Rasa di Museum
Menurut para narasumber dalam acara Bincang Musea hadirnya banyak lembaga pendidikan komunitas yang mengajarkan pengembangan kreativitas seringkali terjadi di museum.
Musem yang memiliki fungsi menyimpan, mengkaji, dan menyampaikan informasi menjadi media yang cocok untuk kegiatan pengembangan kreativitas. Ditambah dengan kekayaan sejarah dan kebudayaan yang Indonesia memberikan kekuatan kreativitas tersendiri.
Pengembangan kreativitas perlu dilakukan sebaik mungkin. Karya-karya yang bernilai kreativitas bukan hanya sekedar dikagumi, namun kreativitas itu sendiri harus terus dirawat. Melalui museum sebagai tempat lintas waktu yang menjadi jembatan antara budaya masa lalu dan masa kini serta masa yang akan datang diharapkan bahwa banyak program-program publik dapat dikembangkan di sini. Selain itu, kolaborasi dengan segenap pihak menjadi pokok utama agar program-program di museum dapat berlanjut.