Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menggenggam erat-erat sepotong cakar monyet kering yang diacungkan ke udara, pria tua itu berteriak keras-keras, "Aku Budi, meminta uang sebesar 125 juta rupiah!"
Sejurus kemudian, tangannya bergetar liar. Cakar monyet itu terpelanting dari tangannya. Ia mengkeret ketakutan. Cakar monyet yang telah diberi mantra oleh dukun Kalimantan dan konon mampu mengabulkan tiga permintaan itu, menurut dia, bergerak sendiri di tangannya. Istrinya (Rinrin Chandraresmi) dan anaknya, Agus (Deden Syarief), tak percaya. Bahkan Agus menertawai sang ayah. "Mana uang itu…."
Malam itu, Budi (Asep Budiman) dikejar-kejar halusinasi lengkingan monyet. Dan tragedi itu terjadi. Esoknya, datang kabar Agus tewas dalam kecelakaan kerja. Uang santunan pun datang diantar ke rumahnya. Jumlahnya ternyata persis dengan yang diminta kepada cakar monyet, Rp 125 juta. Sang ibu langsung terguncang.
Cuplikan adegan pentas teater berlakon Cakar Monyet yang disutradarai Wawan Sofwan itu mengantar penonton berpindah dari kehangatan wedang jahe di sebuah ruang makan keluarga Budi menuju mimpi buruk. Lewat sebuah potongan cakar monyet, Mainteater Bandung di Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, dua pekan lalu, menyajikan jenis genre teater yang jarang diangkat teater kontemporer kita.
"Teater modern bergenre horor memang jarang diangkat, padahal di sandiwara tradisional banyak sekali yang melakukannya," ujar Wawan. Betul kata Wawan. Teater Miss Cicih, misalnya, adalah kelompok sandiwara tradisional yang kerap memanggungkan lakon bertema hantu. Bahkan Srimulat pun sering membuat pentas komedi berbau horor.
Pentas Mainteater sendiri dimulai dengan adegan percakapan ngalor-ngidul di ruang tamu yang agak lambat "panas". Gaya realis yang dibawakan Mainteater di sana-sini masih menampakkan kalimat "berbahasa buku" dan akting yang mengeÂdepankan intonasi berlebihan. Seorang tamu—bernama Mayor Untung—yang merupakan teman lama sang ayah datang. Mayor Untung, yang bekerja di Kalimantan, menghadiahkan cakar monyet kepada sahabatnya itu. Di sini Wawan kemudian masuk ke hidangan utama, yaitu misteri dan ketegangan.
Adegan penanda bahwa ini sebuah teater horor muncul kuat saat sang ayah digambarkan dihantui halusinasi. Seluruh ruangan disorot oleh video mapping yang menggambarkan monyet-monyet di belantara disertai pekikan-pekikan hewan itu. Ini cukup menarik. Wawan sesungguhnya bisa banyak menggunakan teror audiovisual, tapi ia menahan diri karena tak mau pertunjukannya seperti film horor. "Tapi tetap, untuk menghidupkan atmosfer horor, memang dibutuhkan hal tertentu yang mengganggu pikiran penonton, yang membuat mereka masuk ke zona itu," kata Wawan.
Titik ketegangan terjadi saat sang ibu mengalami perubahan karakter secara drastis, dari penuh kehangatan menjadi sosok bermata liar. Ia mencari cakar monyet yang disembunyikan suaminya untuk menghidupkan anaknya yang telah sepuluh hari meninggal (perubahan kejiwaan sang ibu dimainkan dengan baik oleh Rinrin).
Wawan tidak ingin memasukkan wujud makhluk "beda dunia" dalam pertunjukannya, meskipun kesempatan itu sebenarnya terbuka. Pada adegan klimaks, setelah permintaan menghidupkan anaknya diucapkan sang ibu, muncul suara gedoran pintu yang makin lama makin kasar. "Saya bisa memperlihatkan sosok tokoh yang seperti zombie, tapi nanti jadinya terkesan murahan seperti sinetron. Saya biarkan saja pikiran penonton yang bekerja," ujarnya.
Cakar Monyet disadur dari sastra klasik berjudul The Monkey's Paw karya sastrawan Inggris, W.W. Jacobs. Sejak dipublikasikan pada 1902, cerpen horor yang melambungkan nama Jacobs itu telah diadaptasi ke dalam bentuk lakon teater, novel, film, komik, hingga lagu. Wawan memindahkan setting Inggris menjadi daerah pinggiran Bogor. Agus, yang bekerja sebagai mandor, diceritakan tewas terkena ambrukan bangunan. Wawan sesungguhnya ingin menyeret ingatan penonton akan runtuhnya gedung di Hambalang, Bogor—meski itu tak berhasil. "Memang kejadian Hambalang ini tidak saya sebutkan secara gamblang," katanya.
Ratnaning Asih
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo