Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Jokpin pernah menempa dirinya di seminari, tapi urung menjadi pastor.Â
Puisinya membawa kejutan, memiliki makna tak terduga, dan cerdas.
Jokpin jarang bercanda dan lebih banyak menyendiri ketika menulis.Â
"Agamamu apa? Agamaku air yang membersihkan pertanyaanmu."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Petikan puisi penyair Joko Pinurbo itu sangat populer bagi banyak orang. Sederhana, tapi memberikan makna mendalam tentang religiusitas. Jokpin—sapaan akrab Joko Pinurbo—pertama kali mengunggah puisi itu di Twitter (X) pada 2012. Dalam berbagai forum diskusi di kampus-kampus, ayah dua anak ini menyatakan inspirasi syair itu datang dari Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, yang dikenal sebagai tokoh pluralisme.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Puisi-puisi Jokpin yang kental dengan tema religiusitas banyak mewarnai ruang-ruang publik, antara lain media sosial. Banyak orang membicarakan karya Jokpin dan mengutipnya. Pada Sabtu pagi, 27 April 2024, ruang maya gempar. Pengguna media sosial mendapati kabar penyair 61 tahun itu telah tiada. Ia meninggal saat menjalani perawatan intensif karena menderita asma bronkitis kategori kronis di Rumah Sakit Panti Rapih.
Tubuh Jokpin lemah sejak November 2023 dan bolak-balik menjalani perawatan serius di rumah sakit. "Sejak kecil punya asma. Kena infeksi," ujar istri Jokpin, Nurnaeni Amperawati Firmina, kepada Tempo. Bersama dua anaknya, cucu, ibunda Jokpin, sahabat, dan kerabat, Nurnaeni mengikuti pemberkatan jenazah.
Hujan deras singkat dan pelangi mengiringi kepergian alumnus Seminari Menengah Santo Petrus Canisius Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah, itu. Pelayat dari berbagai kalangan, antara lain sastrawan, seniman, dan budayawan, memenuhi ruangan. Dalam misa requiem yang sejuk, jenazah Jokpin disemayamkan di Perkumpulan Urusan Kematian Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Romo F.X. Sukendar dan Romo Andre Sulardi memimpin jalannya misa. Doa-doa dalam kitab ratapan terdengar syahdu. F.X. Sukendar, romo Paroki Pugeran, sempat memberikan sakramen minyak suci saat Jokpin dirawat di rumah sakit. Sakramen minyak suci merupakan doa agar seseorang disembuhkan dan dibebaskan dari dosa.
Keluarga di dekat jenazah penyair Philipus Joko Pinurbo di Perkumpulan Urusan Kematian Yogyakarta, Jalan PGRI, Sonosewu, Bantul, DI Yogyakarta, 27 April 2024. ANTARA/Andreas Fitri Atmoko
Jokpin punya nama baptis Philipus. Dalam kitab suci, Philipus berarti sosok aneh dan jenaka, seperti puisi-puisi Joko Pinurbo yang aneh serta jenaka itu. Romo F.X. Sukendar, seniornya di Seminari Mertoyudan, mengenal Jokpin sebagai seorang Katolik yang taat. Saban tahun, Jokpin mengunjungi almamaternya di seminari. "Jokpin mengabdi untuk bangsa Indonesia tidak dengan jalan salib, melainkan dengan puisi," kata Romo Sukendar.
Junior Jokpin di Seminari Mertoyudan, Romo Andre Sulardi, menulis syair khusus yang menggambarkan pengaruh penting Jokpin. "Di depan Joko Pinurbo, kita seperti Lazarus yang menunggu remah kata-katanya," tutur Romo Andre.
Seminari Mertoyudan bagi Jokpin membawa pengaruh kuat dalam penciptaan puisinya. Tempo pernah mengikuti Jokpin seharian penuh di seminari itu sebelas tahun lalu. Jokpin mengajak Tempo berkeliling ke tempat-tempat favoritnya di seminari yang menjadi inspirasi bagi penciptaan puisinya dan mengenangnya. Di sekolah calon imam Katolik itulah Jokpin pernah menempa dirinya. Tapi dia urung menjadi pastor.
Dia mengisahkan kandang babi yang menjadi bangunan dan lapangan sepak bola sebagai tempat yang dia sukai. Suatu hari pada malam sunyi dalam terang bulan, Jokpin menatap keindahan bulan purnama. Jokpin malah membayangkan bulan berlumur merah darah.
Selain itu, dalam berbagai kesempatan berbicara di sejumlah forum, dia menyatakan menulis puisi pertamanya di asrama samping kapel. Suatu hari bunga kamboja berguguran di tengah dentang lonceng kapel. Peristiwa itu membuat Jokpin melahirkan karya pertamanya pada usia 15 tahun dan dimuat di sebuah majalah. Jokpin menulis: kamboja berduka diterpa dentang lonceng gereja.
Setelah menunggu belasan tahun, Jokpin menerbitkan buku pertamanya yang lahir dari keseriusan menemukan gaya berpuisi yang khas. Jokpin kerap menyatakan tema religiusitas banyak dia bicarakan dalam puisi sebagai refleksi kritis terhadap praktik kehidupan beragama dan situasi sosial-politik. Sebagai tema yang aktual, agama menurut dia sangat sensitif dan angker sehingga dia selalu bersiasat dalam berbahasa.
Jokpin memikirkan secara serius saat menulis puisi dengan tema itu. Contohnya, saat dia menulis puisi Agamamu Apa? di tengah situasi politik yang memanas, hal itu bisa menjurus pada politik identitas yang berujung pada perpecahan.
Padahal pertanyaan itu, menurut Jokpin, merupakan sesuatu yang wajar dalam keseharian manusia. Seperti orang bertanya di mana rumahmu, di mana kampungmu. Jokpin hanya ingin menyatakan kemanusiaan sebagai nilai universal di tengah kemajemukan agama.
Penyair Joko Pinurbo ketika membacakan puisi-puisi karyanya di Teater Utan Kayu, Jakarta, 2005. Dok.TEMPO/Tommy Satria
Sahabat Jokpin, seniman Butet Kartaredjasa, menyebutkan seminari mempengaruhi penciptaan puisi-puisinya. Tapi, menariknya, puisi Jokpin lekat dengan kejenakaan dan tidak berpretensi untuk siar agama. Syairnya mengkritik politik identitas ketika agama dipersoalkan.
Puisinya, kata Butet, membawa kejutan-kejutan, memiliki makna tak terduga, cerdas, serta menggugah kesadaran tentang hubungan manusia dan semesta. Butet juga mengenal Jokpin serius bergumul dengan kata-kata. "Dia punya disiplin luar biasa. Setiap hari berlatih memunguti kata-kata. Menyusunnya dalam momentum yang puitis," kata Butet.
Nurnaeni mengungkapkan keseriusan Jokpin dalam berkarya. Jokpin lebih banyak menghabiskan waktunya menulis puisi di rumahnya di Kampung Wirobrajan. Satu puisi, misalnya, dia tulis berkali-kali. "Dia ngetik terus. Satu puisi enggak selesai langsung jadi. Dia nulis di komputer. Tapi dia punya buku kecil atau catatan," ujar Nurnaeni.
Namun, menurut sang istri, dalam keseharian, Jokpin tak bicara tentang proses menciptakan puisi. Jokpin jarang bercanda dan lebih banyak menyendiri ketika menulis karyanya. Belakangan puisinya menjadi sangat populer dan disukai kalangan muda. Contohnya puisi berjudul Jogja Terbuat dari Rindu, Pulang, dan Angkringan. Puisi itu banyak dikutip anak muda.
Sastrawan dan aktor Landung Simatupang menyatakan, pada era 1980-an, Jokpin menciptakan puisi bertema religiusitas yang kaku dan formalistis. Puisinya lalu berkembang menjadi jenaka. Dia piawai merangkai kata-kata dengan kalimat sederhana, sehingga puisinya gampang dimengerti bahkan oleh mereka yang tak menyukai puisi. Semua orang bisa memahami puisi Jokpin, meski tidak semua orang bisa mengerti lapisan-lapisan makna yang terkandung di dalamnya.
Melalui kemampuan itu, Jokpin meraih popularitas sekaligus dihormati rekan-rekan sejawatnya sesama sastrawan. Puisi Jokpin bicara tentang hal remeh temeh, yakni kaleng biskuit Khong Guan, celana, bulan, kuburan, telepon genggam, dan hilangnya dendam yang seperti pisau yang dicabut pelan-pelan dari cengkeraman luka. Ada juga tentang pentingnya kerinduan, perpisahan, Yesus yang naik ke surga memakai celana buatan ibunya, menunaikan ibadah puisi, tukang cukur, senja, penjual kalender, dan tingting mangkuk bakso.
Syair Jokpin awet dan relevan dengan perkembangan zaman. Menurut Landung, Jokpin penyair yang menulis puisi sangat serius. Bagi Jokpin, menulis puisi bukan perkara personal, apalagi sentimental. "Menulis puisi merupakan pekerjaan sungguh-sungguh. Menulis puisi perlu tekun membaca dan sabar mengoreksi tulisan."
Jokpin menulis puisi di secarik kertas, kemudian mengetiknya di gawai. Setelah itu, dia membacanya berulang. Bila perlu, membongkar dan menyusunnya lagi supaya tepat. Hasilnya adalah puisi sederhana yang digemari banyak kalangan, terutama anak muda. "Saya membayangkan mungkin di hari kematian Chairil Anwar tidak membuat banyak orang merasa kehilangan seperti kematian Jokpin," ujar Landung.
SHINTA MAHARANI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo