Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Kenyang tapi Tak Terpuaskan

Film Generasi Biru dibuat untuk memperingati 25 tahun Slank. Penonton tak semembludak seperti perkiraan.

9 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GENERASI BIRU
Sutradara: Garin Nugroho, John de Rantau, Dosy Omar
Ide/konsep: Garin Nugroho
Pemain: Bimbim Slank, Kaka Slank, Abdee Slank, Ridho Slank, Ivanka Slank, Nadine Chandrawinata
Koreografer: Eko Supriyanto, Jecko Siompo, Davit, Yayu Aw Unru
Animator: Terra Bajraghosa, Rizky Zulman, Geppeto, Red Rocket.
Produksi: SET Film Workshop

SEORANG anggota intelijen di Batam, yang namanya dituliskan dengan jelas di layar lebar, mengaku sebagai Slankers—sebutan bagi komunitas penggemar Slank. ”Ada yang mulanya tidak percaya kalau saya Slankers,” ujar sang intel terkekeh-kekeh sambil mengeluarkan i-Pod dari saku jaketnya. ”Setelah saya tunjukkan foto saya dengan anggota Slank di sini, baru pada percaya.”

Sebentar. Dengan pembukaan film seperti itu, plus adegan konvoi para Slankers di pelbagai kota, termasuk di Dili, Timor Leste, dengan Perdana Menteri Xanana Gusmao berpidato di depan ribuan Slankers setempat, jangan lekas mengambil kesimpulan bahwa ini sebuah film dokumenter tentang Slank, kuintet yang pada Desember lalu merayakan ulang tahun ke-25 itu.

Setelah itu layar berubah menjadi lanskap panoramik dengan beragam tampilan animasi, sebelum bermetamorfosis bak panggung tari dengan belasan koreografi dan properti, lalu kembali dipadati dengan potongan dokumentasi. Lalu, nah ini dia, kelima anggota Slank muncul bergantian di layar lebar, kadang bersamaan, kadang sendirian (terutama Kaka, sang vokalis, yang paling sering tampil. Mungkin karena otot six-pack perutnya yang pejal terlihat bagus di lensa kamera).

Pola ”adegan sandwich” ini berulang terus sampai film berakhir, dengan lagu-lagu Slank sambung-menyambung (hampir) menjadi satu dari 16 album mereka. Di banyak adegan, mantan Putri Indonesia Nadine Chandrawinata muncul sebagai tokoh, majas, penari, primadona, pengiring, tokoh lagi (dan berbagi frame dengan Kaka).

Inilah Generasi Biru, film musikal tentang salah satu band fenomenal di Tanah Air yang konon mempunyai fan loyal (Slankers) 10 persen penduduk Indonesia. Itu berarti, ada sedikitnya 20 juta calon penonton diharapkan siap berjubel antre untuk melihat film tentang idola mereka yang dibesut tiga sutradara, yakni Garin Nugroho, John de Rantau, dan Dosy Omar (dokumenter). Bahkan, jika separuh saja dari jumlah Slanker dapat digaet masuk bioskop, Generasi Biru diharapkan bisa membuat tren film hantu kembali masuk ”kubur”. Nyatanya tidak. Penonton tidak berjubel.

Dan Garin dan John (sebagai sutradara ”fiksi” di film ini) juga tak hendak bertutur pada penonton. Film yang menurut Garin Nugroho tidak menggunakan skenario—tapi menggunakan ”ide dan konsep” saja—itu akhirnya bukan sesuatu yang asyik ditonton, jauh dari musik Slank yang asyik dinikmati.

Film ini berkisah tentang lima anak yang lari dari situasi penuh keseragaman dan aturan. Mereka ingin mencari sebuah pulau kebebasan yang mereka namakan sebagai Pulau Biru. Perjalanan mencari pulau biru itu akhirnya menjadi semacam pengembaraan dari pulau ke pulau. Dari pulau seragam (zaman Soeharto, 1985-1990), pulau virus, hedonis, dan obat-obatan (1990-1998), pulau gerak (reformasi, 1998-2001), dan pulau gosip (2001-2008). Untunglah, setiap kali mereka tersandung, terjerembap di satu pulau tertentu, selalu ada seorang ibu yang selalu mengikuti mereka. Dan kehidupan nyata Slank, figur ibu itu adalah Bunda Iffet Sidharta, ibu Bimbim dan sang manajer yang setia.

Sayang, dengan materi cerita yang menarik ini Generasi Biru gagal mendekati kekuatan biopic—ini sebutan untuk jenis biographical motion picture—The Doors (Oliver Stone, 1991), yang mempunyai alur pengisahan serupa; atau kedalaman maknawi The Walls (Alan Parker, 1982), yang skenarionya ditulis langsung oleh pemain bas Pink Floyd, Roger Waters, dalam kekayaan metafor yang mengagumkan. Bahkan dibandingkan dengan film Kantata Takwa yang beredar tahun lalu dan hanya mengandalkan sisa-sisa dokumentasi yang masih layak tayang, film Generasi Biru terasa seperti sepinggan makanan dengan isi yang terlampau bervariasi sehingga membuat penonton merasa kenyang—tapi tak terpuaskan.

Akmal Nasery Basral

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum