Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Jernih Memahami Tema 'Kotor'

Buku yang menyajikan pernik-pernik pemikiran mengenai liberalisme. Diskursus Islam dan liberalisme tetap hidup.

1 Agustus 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Islam dan Liberalisme
Penulis: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit: FNS Jakarta
Tahun: 2011
Tebal: 319 hlm

Buku ini merupakan modifikasi satu bab dari buku penulis yang sama berjudul Reorientasi Pembaruan Islam. Buku yang lebih dulu (2010) terbit itu mendiskusikan sekularisme dan pluralisme—di samping Islam dan liberalisme. Buku terbaru ini tak lebih merupakan pendamping buku itu. Meski demikian, kita tetap perlu memberikan apresiasi kepada penulisnya, yang gigih dan tekun mendokumentasikan dan mendiskusikan tema-tema yang oleh Majelis Ulama Indonesia dianggap "kotor" ini. Di samping memberi pemahaman mengenai liberalisme dan bagaimana hubungannya dengan Islam, buku ini menunjukkan diskursus Islam dan liberalisme tetap hidup dalam jagat pemikiran Islam Indonesia.

Harus diakui, ruang untuk memperdebatkan liberalisme kian sempit karena fatwa MUI pada 2005. Salah satu misi buku ini adalah memberikan pernik-pernik pemikiran mengenai liberalisme, sekaligus menunjukkan bahwa pemahaman liberalisme yang ditakutkan MUI tak sepenuhnya tepat. Budhy juga berhasil memberi kerangka dan lingkup diskursus Islam serta liberalisme berdasarkan riset dan sejumlah wawancara dengan berbagai kalangan yang dianggap mendukung gagasan ini.

Salah satu pertanyaan yang sering muncul adalah apakah liberalisme bagian dari Islam atau Islam bagian dari liberalisme. Persoalan ini dibahas pada bagian awal (hlm 30-31). Paling tidak ada dua karya yang menjelaskannya, yakni buku Leonard Binder berjudul Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies (1988) dan pengantar Charles Kurzman dalam Liberal Islam, A Sourcebook (1998).

Islamic liberalism dari Leonard Binder dan liberal Islam dari Charles Kurzman berbeda pengertian serta sudut pandangnya. Binder melihat Islam sebagai bagian dari liberalisme (a subset of liberalism), sedangkan Kurzman mendekati liberalisme sebagai bagian dari Islam (a subset of Islam). Konsekuensi lebih jauh dari perbedaan ini, sementara Binder berupaya melihat secara terbuka dialog Islam dengan Barat dan membiarkannya berdialektika dalam proses menerima dan memberi, termasuk dengan tradisi lokal, Kurzman lebih menekankan konteks islaminya dengan menguji pemikiran kaum muslim liberal dari sudut tradisi Islam. Dengan demikian, Kurzman ingin memberi titik tekan bahwa pemikiran-pemikiran yang diasumsikan sebagai liberal tetap dalam kerangka Islam.

Konteks islami diperlukan "untuk menguji bahwa muslim liberal tetap dalam sinaran tradisi Islam". Karena itu, sementara Binder melihat seberapa liberalkah kaum liberal Islam, apakah varian-varian liberal sesuai dengan standar Barat, Kurzman mempertanyakan apakah pikiran-pikiran liberal itu masih dalam konteks islami atau tidak.

Untuk mendukung gagasan bahwa liberal Islam otentik dalam Islam, Kurzman membagi liberal Islam dari tiga sudut pandang, yaitu liberal syariah, silent syariah, dan interpreted syariah. Kurzman berargumen liberalisme merupakan bagian dari Islam, bahkan Islam itu sendiri.

Buku Budhy ini tampaknya mengikuti alur Kurzman. Jika dugaan ini benar, justru di sinilah letak masalahnya. Akibat paradigma Kurzman, Islam liberal sering dianggap kurang menghargai tradisi lokal, kepercayaan lokal, adat istiadat, dan seterusnya karena hal-hal ini dianggap bid’ah, sinkretik, kurang islami, bahkan penyimpangan dari Islam itu sendiri.

Konsep itu jelas tergambar dalam pikiran liberal Islam (via Kurzman) ketika menguraikan rentetan kelahiran Islam liberal. Menurut Kurzman, sejarah panjang Islam diwarnai tiga tradisi. Tradisi pertama adalah Islam adat (customary Islam), ditandai pencampuradukan Islam dengan tradisi lokal (little tradition) dan pengandaian tradisi besar (great tradition) sebagai Islam asli serta murni. Islam yang bercampur dengan berbagai tradisi lokal dianggap sebagai Islam yang penuh bid’ah dan khurafat.

Karena itulah muncul arus tradisi kedua: Islam revivalis (revivalist Islam). Arus yang bisa mengambil bentuk fundamentalisme dan wahabisme ini berupaya memurnikan (purifikasi) Islam yang bercampur dengan tradisi lokal. Jargon yang sering dikemukakan adalah kembali ke Al-Quran dan Sunnah.

Arus tradisi ketiga disebut Islam liberal. Dalam pandangan Kurzman, sebagaimana pendukung revivalis, Islam liberal mendefinisikan dirinya berbeda secara kontras dengan Islam adat dan menyerukan keutamaan Islam periode awal untuk menegaskan ketidakabsahan praktek-praktek keagamaan masa kini. Islam liberal menghadirkan kembali masa lalu untuk kepentingan modernitas, sedangkan Islam revivalis menegaskan modernitas atas nama masa lalu.

Buku ini juga membuat pemetaan gagasan yang diusung Islam liberal: 1) melawan paham teokrasi, yaitu ide yang hendak mendirikan negara Islam dengan segala variasinya; 2) mendukung paham demokrasi; 3) membela hak perempuan dan keadilan gender; 4) mempromosikan pluralisme dan hak minoritas (nonmuslim); 5) membela kebebasan berpikir; 6) membela gagasan kemajuan (modernitas). Siapa pun yang membela salah satu dari gagasan-gagasan itu, dia bisa disebut pengikut Islam liberal (hlm 29).

Gagasan liberal Islam sudah merambah ke berbagai wilayah keislaman. Tidak hanya terkait dengan Al-Quran dan tafsirnya, ulumul Quran, hadis dan ulumul hadis, teologi, serta politik, tapi juga dengan persoalan hukum Islam. Wilayah hukum Islam inilah yang paling kontroversial, bahkan sulit ditembus, di antara berbagai isu Islam dan liberalisme. Liberalisasi aspek hukum Islam merupakan wilayah yang paling keras pertarungannya dan banyak memakan korban.

Mengapa demikian? Pertama, hukum Islam merupakan salah satu disiplin keilmuan dalam Islam yang kokoh secara epistimologis, melalui ushûl fiqh, fiqih, qawâid fiqhiyah, dan sebagainya. Kedua, kekokohan itu akibat keterikatan yang kuat pada teks-teks keagamaan (al-nushûsh). Konstruksi nalar bayâni begitu mendominasi hukum Islam, sehingga tak ada hukum dalam Islam yang bisa sepenuhnya melepaskan diri dari teks.

Ketiga, hukum Islam tak hanya berkaitan dengan persoalan privat (ibadah mahdhah), tapi juga dengan hukum publik, terutama hukum pidana. Persoalan ini kerap dikaitkan dengan persoalan politik, karena ada aspek-aspek hukum Islam yang harus diterapkan melalui instrumen negara. Karena itu, membentuk negara yang menjalankan hukum Islam merupakan kewajiban Islam itu sendiri. Pemahaman demikian mendominasi pemikiran hukum Islam.

Keempat, hukum Islam tak hanya berkaitan dengan persoalan bagaimana menggali hukum dari teks-teks keagamaan (istinbâthi), tapi juga dengan bagaimana menerapkan hukum itu dalam kehidupan (tanthbîqî). Dua aspek ini memang tak selalu berjalan seiring. Apa yang benar secara istinbâthi belum tentu benar secara tanthbîqî karena tanthbîqî terkait dengan politik hukum sebuah negara.

Agenda Islam dan liberalisme dalam aspek hukum Islam harus mampu menerobos hal-hal tersebut. Pertanyaannya, apakah penggiat liberalisme mempunyai kemampuan menerobos ortodoksi (hukum) Islam, mencampakkan atau sekadar mencari anasir-anasir di dalamnya yang bisa mendukung agenda liberalisme.

Rumadi, peneliti senior The Wahid Institute, dosen UIN Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus