Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"There are two things that are important in politics. The first is money and I can’t remember what the second is." (Mark Hanna, Senator Amerika, 1895)
Ucapan Senator Amerika yang dilontarkan lebih dari seratus tahun lampau itu sampai kini terasa relevan: uang adalah perkara paling penting dalam politik. Di luar uang, semua boleh disekunderkan dan tak perlu diingat sebagai dalil sukses di panggung politik.
Gaung ucapan ini sampai pula ke Indonesia: elite dan publik di sini sama-sama percaya uang adalah penentu kemenangan politik. Tak peduli itu terjadi dalam politik internal partai pemilu legislatif, pemilu presiden, atau pemilu kepala daerah. Tanpa uang, jangan harap seorang politikus atau sebuah partai politik akan berjaya.
Sejauh ini di Indonesia belum ada penelitian yang secara sistematik menguji kesahihan pandangan ini. Tapi bukti anekdotal sering disodorkan untuk menyangga anggapan ini. Posisi ketua umum partai bisa diraih setelah sang kandidat menggelontorkan miliaran rupiah kepada pemilik suara di kongres partai. Kandidat anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan dewan perwakilan rakyat daerah meraih kursi setelah menaburkan uang ke partai penyokong dan konstituen. Calon gubernur, bupati, dan wali kota memenangi pemilihan kepala daerah dengan dana politik yang tambun.
Perkara uang kini membelit Partai Demokrat gara-gara bekas Bendahara Umum Nazaruddin menuduh Ketua Umum Demokrat, pengurus, dan anggota DPR dari partai ini menerima serta menggunakan dana haram yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara. Sebagian dana itu mengendap di kas partai.
Katakanlah Nazaruddin pada akhirnya tertangkap dan diadili, perubahan macam apa yang akan terjadi pada politik pendanaan partai di Indonesia? Bisakah pengadilan itu kelak mencegah terulangnya kasus Nazaruddin serta mendorong adanya reformasi peraturan pendanaan partai politik?
Modus pendanaan
Kasus Nazaruddin dan Partai Demokrat bukanlah kasus unik yang tak ada padanannya. Jika punya waktu sedikit untuk memanfaatkan mesin pencari Google, kita dengan gampang akan menemukan problem korupsi dana publik di setiap partai melalui Internet. Problem ini terentang dari penggunaan tekanan politik untuk memperoleh izin impor daging (Partai Keadilan Sejahtera), pembelian dukungan politik untuk pengisian jabatan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), dugaan suap anggota angket mafia pajak (Gerindra), dana penyesuaian infrastruktur daerah (Partai Golkar), korupsi alih fungsi hutan mangrove (Partai Kebangkitan Bangsa), calo perizinan pengelolaan hutan (Partai Amanat Nasional), penyalahgunaan kredit untuk petani (Partai Persatuan Pembangunan), dan dana sumbangan yang diperoleh pengurus daerah yang diduga hasil korupsi (Partai Hanura). Daftar kasus korupsi politik untuk pendanaan partai ini masih bisa diperpanjang lagi.
Puncaknya, secara kolektif, semua partai politik di Indonesia memiliki anggota di Badan Anggaran DPR. Alat kelengkapan DPR inilah yang menentukan prioritas anggaran pemerintah melalui APBN dan realisasi anggaran untuk program serta proyek pemerintah di berbagai sektor dan wilayah. Dana miliaran sampai triliunan rupiah dikelola di sana. Dan bukan hal aneh jika dugaan korupsi kolektif oleh partai seharusnya difokuskan pada badan ini. Tiap partai mendapat dana dari berbagai persentase anggaran di macam-macam proyek. Yang membedakan aktivitas perputaran uang panas masing-masing hanyalah soal besaran atau proporsi serta frekuensi yang dilakukan masing-masing politikus partai.
Ada kesamaan lain dari berbagai kasus tersebut, yakni cara penyelesaian yang berhenti pada individu politikus. Jaring hukum umumnya selalu berhenti pada subyek individual, bukan subyek kolektivitas partai.
Kesulitan yang kerap muncul adalah menyeret kasus korupsi politik itu ke unit kolektif partai politik. Kita bisa saja marah-marah terhadap partai dengan menuding masifnya penyelewengan moral para politikus partai. Tapi kutukan moral saja tidak cukup karena tak menyentuh problem pokok pendanaan partai di Indonesia. Partai perlu dana besar untuk pembiayaan kegiatan, sementara pendapatan dari sumber legal kelewat kecil.
Kompartementalisasi
Sejarah pembentukan partai dan sistem kepartaian di Eropa melewati trayek yang unik. Mereka di Eropa lebih beruntung, karena sekuens evolusi partai dan sistem kepartaian di sana didahului oleh terbentuknya pola oposisi berbasis kelas yang tumbuh di masyarakat. Partai politik tumbuh dan berkembang setelah buruh melembagakan organisasinya, yang menjadi kanal penyaluran kepentingan mereka. Partai politik adalah perpanjangan kanal kelompok kolektif macam buruh di bidang politik.
Dalam leksikon kepartaian, tipe partai ini dikenal dengan julukan mass party atau partai massa. Organisasi partai ini bersifat masif dan hierarkis, yang menjangkau setiap jengkal wilayah. Lebih penting lagi, dana partai jenis ini sepenuhnya berasal dari iuran anggota. Karena itu, logistik dan program partai bisa dikelola secara mandiri untuk kepentingan konstituennya. Tipe partai ini dianggap ideal dan mengalami masa keemasan pada periode 1950-an dan 1960-an. Di Indonesia, sejarah kepartaian terbalik: partai lahir sebelum kepentingan kelompok sosial yang bersifat kolektif terorganisasi dengan mapan. Contoh yang ekstrem, dulu PKI hadir sebelum ada kelas buruh yang masif serta terorganisasi.
Undang-Undang Partai Politik di Indonesia sedikit-banyak diilhami oleh model ideal mass party tersebut. Proses pendirian partai disertai syarat pemilikan jumlah cabang minimal, yang semula di setengah provinsi, kini disyaratkan di seluruh provinsi, dan dilengkapi di tingkat bawahnya lagi. Ini adalah karakter organisasional dari mass party, dengan tujuan memaksimalkan fungsi representatif.
Namun, dari segi pendanaan, model partai di Indonesia lebih mirip partai profesional modern yang bertumpu pada modal. Karena itu, efek bentuk organisasi partai yang masif itu justru merepotkan dari segi keuangan. Ratusan atau bahkan ribuan cabang di tingkat provinsi, kabupaten, dan kecamatan harus digerakkan dengan dukungan dana.
Sosok partai yang tampak kemudian adalah sebuah larik birokrasi raksasa yang terbagi dalam wilayah dan tingkatan yang menjangkau seluruh pelosok Indonesia. Karena iuran anggota tidak berjalan, sumber pendanaan diperoleh melalui sumber-sumber ilegal. Di setiap level dan wilayah, partai mengembangkan mekanisme rente untuk meraup dana bagi kegiatan partai, dan masing-masing bisa bersifat independen.
Hubungan pengurus pusat dan pengurus daerah kerap dibangun dengan tumpuan aliran dana dari pusat ke daerah. Untuk keperluan kegiatan rutin keorganisasian, sosialisasi, musyawarah partai untuk memilih pimpinan pusat, sampai soal kampanye pemilu, uang menjadi senjata pokok yang tak bisa ditinggal. Dengan kedok menutup keperluan akomodasi dan transportasi, transaksi uang politik dijalankan untuk mendapatkan dukungan, agar mesin partai bekerja, agar kegiatan reguler partai berjalan, dan supaya dukungan dari kepengurusan daerah terpelihara. Juga demi kesejahteraan pengurus di setiap level. Dus, menjadi pengurus partai—apalagi di pusat—mesti lihai memelihara pundi-pundi itu. Tak peduli dari mana asalnya, dana semacam itulah yang menggerakkan partai politik dan personelnya.
Salah satu variasi dari pemeliharaan pundi-pundi ini adalah pemeliharaan hubungan personal tokoh partai dengan pendana individual yang kaya raya—yang umumnya pengusaha. Sang tokoh tak selalu perlu membuat rekening sendiri, tapi cukup menyimpan nomor kontak pendana yang setiap saat bisa ditelepon untuk dimintai bantuan finansial untuk keperluan kegiatan politik. Dana itu tak diparkir di rekening tokoh, tapi dana itu tersedia mirip anjungan tunai mandiri, yang bisa dimobilisasi kapan pun untuk tujuan politik yang beragam.
Organisasi partai politik di Indonesia, karena itu, sebenarnya mirip arsitektur kapal laut. Banyak tokoh partai yang memiliki kompartemen sendiri, memiliki ATM sendiri, dan satu kompartemen bisa bersifat independen dari kompartemen lainnya. Dana partai yang melekat pada person bisa dikelola mandiri atau diperuntukkan partai. Nilai tawar seorang tokoh atau pengurus di dalam politik internal partai sedikit-banyak ditentukan oleh ketebalan kantongnya atau deretan ATM-nya. Pendeknya, struktur kompleks partai politik Indonesia bisa diibaratkan jaringan patron-klien yang bersandar pada insentif material. Dan fungsi representatif partai tak akan bisa maksimal dengan model kapal laut ini. Koherensi kebijakan dan program menjadi sulit diraih.
Opsi partai
Dengan model organisasi dan pengelolaan keuangan partai yang mirip kapal laut itu, kita bisa menebak dua opsi penyelesaian kasus Nazaruddin. Pilihan penyelesaian kasus ini kelak menentukan nasib politik kepartaian di Indonesia.
Opsi pertama, penyelesaian kasus Nazaruddin mengikuti logika penyelamatan kapal laut. Kompartemen Nazaruddin dan satu-dua kompartemen di sebelahnya ditutup, sehingga kapal Demokrat bisa diselamatkan. Kalau ini yang terjadi, penyelesaian itu hanya terbatas pada penyelamatan kapal tanpa menyentuh problem pokok pendanaan Demokrat. Partai lain juga telah menjalankan model penyelamatan dengan cara kompartementalisasi ini. Kalau opsi ini dipilih, kelak kita akan menemukan lagi kasus serupa dengan aktor dan partai yang berbeda. Dus, sesungguhnya tidak akan ada perubahan dalam politik pendanaan partai.
Opsi kedua, penyelesaian kasus Nazaruddin bersifat menyeluruh, yakni Partai Demokrat memilih solusi yang bertumpu pada usul kebijakan untuk mereformasi politik keuangan partai di Indonesia. Desakan pemenuhan keperluan partai atas dana politik untuk membiayai berbagai kegiatan harus dicarikan sumber alternatif. Salah satunya memberikan proporsi yang besar pada sumber dana dari pemerintah atau publik.
Tentu cara ini tidak sepi dari kontroversi. Partai politik pernah memulainya, saat ide tentang dana aspirasi digulirkan dan menuai protes publik. Begitu ide itu ditolak oleh publik, kemudian muncul gagasan meminta pemerintah menyediakan block grant yang akan mereka kelola sebesar Rp 1 miliar untuk satu desa per tahun. Dengan jumlah desa dan kelurahan sekitar 72 ribu se-Indonesia, total block grant itu mencapai sekitar Rp 7 triliun. Ketika gagasan ini menghasilkan penolakan publik, keluar lagi ide yang lain tentang rumah aspirasi.
Jika Demokrat memilih opsi kedua, yakni penyelesaian yang bertumpu pada kebijakan reformasi keuangan partai yang menyeluruh, ia akan meninggalkan jejak yang lebih elegan dengan dampak politik lebih mendasar. Jika opsi ini tidak diambil, semoga partai lain mengadopsinya agar jumlah korupsi politik berkurang drastis.
* Dosen Fisipol Universitas Gadjah Mada, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo