Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Petinggi Partai Demokrat sesungguhnya hanya menghibur diri bila meyakini badai kasus Nazaruddin bakal berlalu tanpa menimbulkan kerusakan. Kejadian dari hari ke hari, dengan terus meruyaknya sentimen negatif, justru kian membenamkan citra partai pemenang pemilu legislatif 2009 itu. Tindakan reparasilah yang sungguh-sungguh diperlukan—meski, barangkali, tak bisa sepenuhnya memulihkan keadaan.
Respons publik di media massa menunjukkan betapa runyam reputasi partai yang gencar menjual janji memerangi korupsi itu. Di jejaring sosial, banyak opini yang bahkan merendahkan ketimbang sekadar berolok-olok. Indikasi signifikan sebenarnya sudah tampak sebelum kasus Nazaruddin meletup, melalui jajak pendapat Lembaga Survei Indonesia. Diumumkan pada akhir Mei lalu, survei itu menyebutkan perolehan suara Demokrat akan menyusut bila pemilu dilangsungkan saat ini.
Serangan gencar Nazaruddin, bekas bendahara umum partai yang menjadi tersangka perkara suap dalam proyek-proyek pemerintah, menambah teruk partai itu. Dari persembunyiannya, anak muda 32 tahun ini menembakkan tudingan-tudingan yang menggoyahkan integritas beberapa anggota elite partai—selain birokrat dan pejabat pemerintah, petinggi polisi, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Dia menjadi buron, tapi, dengan berulah bagaikan seorang sniper, dia telah menimbulkan kekacauan dan kepanikan.
Suasana gaduh dan emosional itu mempertontonkan perpecahan Demokrat. Perkubuan sebenarnya tak aneh. Itu merupakan lanjutan dari persaingan perebutan kursi ketua umum dalam kongres di Bandung, Mei tahun lalu. Tapi buntut persaingan itu berubah menjadi masalah sangat serius ketika dihubungkan dengan dugaan bahwa kompetisi telah diwarnai politik uang yang masif, bahkan ditengarai terjadi "perampokan" anggaran negara untuk membiayai partai. Wajar bila ada desakan agar Demokrat membuang kader-kader yang mencemari reputasi partai.
Dari situlah sempat meruyak upaya "menggergaji" kursi yang diduduki Anas Urbaningrum. Berdasarkan tudingan-tudingan Nazaruddin, Anas, yang terpilih sebagai ketua umum lewat persaingan sengit melawan Marzuki Alie, pendahulunya, adalah figur yang paling menimbulkan kegerahan di dalam partai. Menurut Nazaruddin, Anas bergelimang duit kotor sejak kongres tahun lalu. Selain mantan anggota Komisi Pemilihan Umum ini, ikut disebut Angelina Sondakh, Andi Alifian Mallarangeng, bahkan Edhie Baskoro, putra Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang menjabat sekretaris jenderal.
Gerakan anti-Anas, kelompok yang melontarkan gagasan tentang kongres luar biasa, itu memang tak "bunyi" dalam rapat koordinasi nasional partai di Sentul, Jawa Barat, dua pekan lalu. Rekomendasi akhir rapat pun tak menyebut apa-apa soal Anas dan yang lain. Tapi kegusaran tidak padam begitu saja. Seandainya pun rapat di Sentul mengambil tindakan koreksi, bukan berarti kepercayaan konstituen dan, barangkali, publik terhadap Demokrat serta-merta kembali menguat.
Petinggi Demokrat seharusnya sadar, banyak ekspektasi muncul agar tuduhan-tuduhan Nazaruddin tak sekadar ditepis dengan melabelinya sebagai perkataan orang mengigau atau menyebutnya nyanyian sumbang. Beberapa verifikasi majalah ini menunjukkan sedikit demi sedikit terbuka juga kemungkinan kebenaran "nyanyian" itu, paling tidak terdapat sejumlah fakta atau bukti sirkumstansialnya.
Tak seorang pun bisa menjamin Nazar akan berhenti meluncurkan bukti suap yang ia yakini benar. Sementara itu, Demokrat sudah telanjur babak belur. Saat ini tindakan tegas lebih mendesak ketimbang balik menuding ada pesaing politik. Tak banyak gunanya juga menuduh ada kepentingan media mengeksploitasi segala "dosa" yang disiarkan Nazaruddin untuk mendiskreditkan Demokrat—seperti dipidatokan Yudhoyono di Sentul sebagai Ketua Dewan Pembina.
Agar tak timbul kesan partai semata-mata mengorbankan Nazaruddin, pemeriksaan mendalam semestinya juga dilakukan terhadap nama-nama yang disebutkan Nazaruddin. Hal ini bisa dimulai dengan pembentukan semacam tim verifikasi (bukankah pembentukan tim semacam ini bukan hal asing bagi Yudhoyono?). Mengingat kaitannya dengan kepentingan konstituen dan publik yang lebih luas, pemeriksaan akan lebih patut bila berlangsung terbuka.
Tanpa menempuh jalan itu, Demokrat, juga Yudhoyono, hanya akan berakhir dalam catatan sejarah sebagai partai dan pemimpin yang cuma bisa berkata-kata tentang politik bersih, cerdas, etis, dan pemberantasan korupsi. Catatan bisa terselip dan hilang di antara catatan-catatan lainnya—menghapus apa pun yang bisa dikenang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo