Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsitektur

Karya karya jempolan

Iai menetapkan karya arsitektur terbaik. catatan di tengah melonjaknya bangunan komersial.

23 Mei 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN proses cukup rumit, Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) akhirnya berhasil menetapkan karya-karya arsitektur Indonesia terbaik pada masa kini. Selama enam bulan, Dewan Juri yang beranggotakan tiga puluh pakar, berkutat menentukan pilihan. Tanggal 23 Mei mendatang, kerja besar itu akan ditampilkan di Pondok Indah Mall, Jakarta, dalam bentuk pameran foto dan rancangan karya-karya yang mendapat penghargaan. Ir. Syahrul Syarif, ketua IAI, mengungkapkan bahwa dari enam penghargaan itu, satu penghargaan khusus diberikan kepada Bank Indonesia karena jasanya melakukan konservasi bangunan lama. Lima karya arsitektur yang mendapat penghargaan, dinyatakan terbaik dari jenisnya rumah tinggal, bangunan komersial, bangunan institusi, perencanaan kawasan, dan bangunan khusus. "Karya-karya yang mendapat IAI Award itu dibangun tahun 1984 ke atas," kata Syahrul Syarif. Maka, IAI Award ini sedikit banyak mencerminkan corak arsitektur 1980-1990-an. Gedung Rektorat Universitas Indonesia, Depok, yang perencanaannya dipimpin arsitek Dr. Gunawan Tjahyono, ditetapkan IAI sebagai bangunan institusi terbaik. Tugu Park Hotel, Malang, yang dirancang arsitek Budiman Hendropurnomo mendapat penghargaan untuk kategori bangunan komersial terbaik. Kompleks perbelanjaan Citra Niaga, Samarinda, karya Ir. Antonio Ismael, dinilai menampilkan perencanaan kawasan paling baik. Kompleks Ziarah Sendangsono, Muntilan, gubahan Ir. Y.B. Mangunwijaya, mendapat penghargaan khusus. IAI Award untuk kategori rumah tinggal diberikan kepada Ir. Trijogogarjito. Ini bukan pertama kalinya IAI memberikan penghargaan. Tujuh tahun lalu, untuk pertama kali IAI menilai bangunan-bangunan di Indonesia. Bangunan yang mendapat penghargaan ketika itu di antaranya Executive Club, Hotel Hilton Jakarta, dan Hotel Nusa Dua, Bali. Segera telihat perbedaan kelompok bangunan yang mendapat penghargaan tujuh tahun lalu -- menandai era 1970-an -- dengan karya arsitektur yang sekarang dinyatakan terbaik. Selain kemungkinan memilih sekarang jauh lebih banyak, telah terjadi perubahan-perubahan besar dalam perkembangan arsitektur. Arus besar perubahan dalam perkembangan arsitektur ialah berpindahnya kecenderungan modernisme ke pascamodernisme. Pergeseran ini menjadi isu ramai di Indonesia sejak lima tahun terakhir. Karya arsitektur yang mencerminkan modernisme seperti Kantor PU, Kebayoran Jakarta, dan Gedung LPPM, Menteng Raya, yang juga mendapat pernghargaan tujuh tahun lalu, sangat mengutamakan fungsi. Bentuknya menekankan efisiensi sehingga mengabaikan kehangatan hubungan bangunan dengan manusia. Kecenderungan pascamodern yang terlihat pada desain bangunan masa kini, selain lebih hangat, juga kaya corak. Dalam paham baru ini terdapat semangat menggali simbolisme pada tradisi arsitektur lama. Inilah yang diperlihatkan Kompleks Ziarah Sendangsono. Namun, pergeseran dalam perkembangan arsitektur Indonesia bukan cuma akibat perubahan paham. Perkembangan ekonomi, iklim politik, dan berbagai masalah kemasyarakatan, ikut menentukan perkembangan arsitektur. Lalu, apa yang menonjol dalam perkembangan arsitektur Indonesia pada masa kini? Anggota Dewan Juri yang diwawancarai umumnya berpendapat bahwa perkembangan itu sangat diwarnai munculnya bangunan-bangunan komersial, khususnya di Jakarta. Kawasan protokol Kuningan, Jalan Jenderal Sudirman, dan Jalan Husni Thamrin, misalnya, dalam waktu singkat menunjukkan perubahan. Kini, di kawasan pusat bisnis ini, gedung pencakar langit menjulang berimpitan. Tumbuhnya gedung-gedung itu tak segera bisa disebut positif. Kendati sekilas wajah Sudriman dan Thamrin lebih menarik, kondisi arsitekturnya dinilai IAI semrawut. Menurut Ir. Adhi Moersid, ketua kehormatan IAI, keadaan ini berkaitan dengan perencanaan kota Jakarta yang tidak pernah jelas. "Dalam perencanaan kota, seharusnya bukan cuma kawasan peruntukan yang diatur," katanya. "Diperlukan juga architectural guidelines oleh orang-orang yang mengerti soal itu." Selain berkaitan dengan wajah kota, ketentuan membangun -- yang diturunkan pemerintah -- diperlukan untuk melindungi kepentingan umum. Dalam menilai gedung-gedung komersial yang kini bermunculan, Ir. Soni Sutanto, salah seorang anggota Dewan Juri, menilai, "Pendekatan perencanaannya sangat statistikal." Artinya, perhitungannya terlalu ditekankan pada luas tanah, pembagian ruang, dan aspek fisik lain. "Bahkan, kerja arsiteknya dihitung per volume, bukan karyanya," kata Sutanto lagi. Gejala ini menunjukkan sangat utamanya pertimbangan komersial dalam perencanaan bangunan masa kini. Pertimbangan arsitek, dan ketentuan membangun umumnya diabaikan. Karena itu, sering sebuah gedung dibangun hampir tanpa batas. "Semua ketentuan membangun yang dikeluarkan pemerintah, bisa diubah asal membayar denda," kata Sutanto. Bisa dibayangkan, arsitektur macam apa yang lahir dari kebebasan membangun semacam ini. Dr. Gunawan Tjahyono, juga anggota juri, berpendapat bahwa bangunan komersial yang baik adalah sebuah hasil kerja sama berbagai pihak. Arsitek bukan hanya perancang bangunan. Ia seharusnya terlibat pada semua pemecahan masalah, termasuk pertimbangan komersial. Sekarang ini, "Sikap arsitek sangat dipengaruhi pemesannya," katanya. Padahal, perencanaan semacam ini belum tentu menghasilkan keuntungan maksimal secara komersial. Sementara kerugian dari segi perwajahan dan kepentingan umum bisa dipastikan. IAI menunjuk Gedung Gateway di Jakarta sebagai contoh gedung komersial yang dirancang berdasar kerja sama yang baik. Gedung yang mendapat pujian IAI ini dirancang Ir. Suntana. Peran arsitek di sini terlihat dari upayanya menyiasati lahan yang sempit. Hasilnya, bangunan dengan bentuk dasar segi tiga. Pemecahan masalah ini ternyata menghasilkan pula bentuk arsitektur yang unggul. Catatan yang diberikan IAI, "Bangunan ini telah berhasil keluar dari kotak-kotak monoton yang menjadi wajah bangunan perkantoran modern Indonesia." Peran perencana tampak lebih nyata lagi pada kompleks perdagangan Citra Niaga di Samarinda, Kalimantan. Karya arsitektur yang pernah mendapat Aga Khan Award ini dibuat dengan tujuan mengembangkan kualitas kegiatan pedagang kecil di kompleks perdagangan itu. Caranya, dengan memecahkan masalah perbelanjaan masyarakat sekeliling. Hasilnya: sebuah karya arsitektur yang berhasil secara komersial. Jim Supangkat dan Sandra Hamid

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus