Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Bisnis muslim model asean

Penyunting : mohamed ariff. singapore : institute of southeast asian studies, 1991. resensi oleh : m. dawam rahardjo.

23 Mei 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

THE MUSLIM PRIVATE SECTOR IN SOUTHEAST ASIA Penyunting: Mohamed Ariff Penerbit: Institute of Southeast Asia Studies, Singapore, 1991, 258 halaman KEHADIRAN Islam di Asia Tenggara sangat nyata. Bukan saja karena jumlah pemeluknya, tapi juga kekayaan kelembagaannya. Bahkan, Islam di kawasan ini hadir dalam cirinya yang khas, yang membedakannya dengan Islam di Timur Tengah, pusat dunia Islam. Namun, kehadirannya ternyata kurang mendapat perhatian. Baik di lingkungan dunia Islam, karena dianggap "pinggiran", maupun di kawasan itu sendiri. Itulah agaknya yang mendorong ISEAS (Institute of Southeast Asia Studies) Singapura mengadakan seri studi Islam, termasuk aspek ekonomi dan bisnis. Hasil studi dengan tema "Sektor Swasta Muslim di Asia Tenggara" yang dimulai sejak September 1988 itu diterbitkan tahun 1991. Tulisan yang ditampilkan oleh M. Musib Buat dalam buku ini tentang bisnis masyarakat Mindanao, yang mayoritas muslim di Filipina Selatan, mengandung banyak informasi baru. Kaum muslim di sana sangat terkenal dengan perdagangan barternya, memakai pola mudharabah (partnership participation) atau penyertaan modal, musyarakah (equity financing) atau kemitraan usaha, yang kini menjadi model pembiayaan Bank Islam. Pola seperti itu, ternyata, bisa berkembang menjadi koperasi pedagang barter, Zamboaga Barter Traders Kilusung Bayan, Inc. Bisnis ini kemudian merambah ke bidang-bidang real estate, agribisnis, dan pertambakan. Hal menarik yang diungkapkan adalah ternyata pola bisnis tradisional, seperti sistem barter dan qiradh (kerja sama bagi hasil) menurut syari'at Islam itu. Yang lebih menonjol adalah usaha perorangan dan bisnis keluarga. Indonesia diwakili oleh Bahauddin Darus, Dirut PT Bahana, sebuah lembaga pembiayaan milik Bank Indonesia yang membantu usaha menengah (umumnya pribumi) dengan model penyertaan modal atau modal ventura. Darus, lewat tulisannya itu, mengungkapkan pengalaman manajerial PT Bahana, di samping pengalaman operasi kredit untuk golongan ekonomi lemah lainnya. Tulisan Darus ini memang sulit disebut sebagai kasus "bisnis muslim". Tapi agaknya penulisnya sudah mengarah ke kemungkinan pembentukan Bank Islam, seperti Bank Muamalat Indonesia yang diresmikan Wakil Presiden Sudharmono pekan lalu. Amina Tyabji, dosen senior Fakultas Ekonomi dan Statistik Universitas Singapura, mengungkap tema khusus yakni kasus muslim minoritas di negara kota yang mayoritas penduduknya keturunan Cina. Kaum bisnis muslim bukan berasal dari golongan etnis Melayu, melainkan keturunan India Selatan dan Arab dari Hadramaut (Yaman Selatan). Bentuk usahanya sama dengan yang di Mindanao yakni sistem usaha keluarga. Hambatan usaha mereka terutama adalah kedudukan sosialnya sebagai minoritas. Kasus Muangthai disajikan oleh Chaiwat SathaAnand, ahli ilmu politik keturunan Bangladesh dari Universitas Thammmasat. Sasaran pengamatannya yakni kegiatan kaum muslim di bidang pariwisata. Dalam turisme model Muangthai yang banyak bercampur dengan prostitusi, kaum muslim menghadapi kesulitan. Mereka hanya bergerak di bidang rumah makan kecil. Ciri khas usahanya berada dekat masjid karena mereka hidup mengelompok di tengah mayoritas kaum Budha. Studi kasus lainnya yang menarik adalah tentang peranan wanita muslim di negara bagian Kelantan oleh Nor Aini Haji Idris dan Faridah Shahadan, keduanya dari Universiti Kebangsaan Kualalumpur. Kaum muslim memegang peranan dominan dalam bisnis yang umumnya pendukung partai Islam oposisi, PAS. Mereka bergerak di bidang perdagangan (53%) dan jasa (21%). Dan hanya 13% memasuki industri. Yang istimewa dari Kelantan adalah peranan wanitanya yang menonjol terutama di bidang perdagangan. Hambatan utama adalah kurangnya perhatian pemerintah pusat di Kualalumpur yang menganggap daerah itu basis oposisi. Agaknya, yang menjadi sasaran studi kasus ini adalah menjawab hipotesa pengamat Barat. Menurut mereka, ada tiga faktor penghambat perkembangan ekonomi dalam masyarakat muslim yakni kepercayaan pada takdir yang berlawanan dengan achivement, larangan terhadap riba, dan hukum waris yang memecah-mecah lahan pertanian. Soal pertanian dijawab dengan studi kasus tentang pola pemilikan dan penggunaan tanah di pedesaan Malaysia oleh Salleh Ismail. Editor buku ini, Dr. Muhammad Ariff, pengamat perkembangan ekonomi ASEAN yang terkemuka, mencoba menginterpretasikan ajaran Islam dan menarik kesimpulan bahwa Islam, sebagai ajaran, tak menghambat perkembangan ekonomi dan bisnis. Islam melindungi kebebasan individu, mendorong usaha swasta, mengakui hak milik perorangan. Namun, Islam juga menganjurkan keadilan sosial. Interpretasi pengamat Barat tentang fatalisme Islam ditolak. Larangan riba bisa diatasi dengan model Bank Islam. Sedangkan soal hukum waris, dapat dijawab dengan model manajemen baru usaha tani yang bersifat koperatif. Buku ini mencoba menjawab persoalan-persoalan tadi dengan analisa empiris. Salah satu kesimpulannya adalah bahwa hambatan terhadap perkembangan bisnis di lingkungan muslim harus dicari dalam berbagai masalah struktural, dan bukannya mental. M. Dawam Rahardjo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus