Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Tingkah laku pemilih desa

Pengarang : Afan Gaffar Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1992. resensi oleh : Burhan D. Magenda

23 Mei 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAVANESE VOTERS: A CASE STUDY OF ELECTION UNDER HEGEMONIC PARTY SYSTEM Pengarang: Afan Gaffar Penerbit: Gadjah Mada University Press, 1992, 223 halaman SALAH satu pertanyaan yang selalu menarik ilmuwan politik adalah mengapa selama empat kali pemilu di masa Orde Baru, Golongan Karya (Golkar) senantiasa menang. Pertanyaan ini juga mengusik Afan Gaffar, staf pengajar FISIP UGM Yogyakarta, untuk melakukan penelitian di Desa Brobanti, DIY. Hasil penelitian itu kemudian menjadi bahan untuk penulisan disertasinya di Ohio State University, Amerika Serikat. Jawaban atas pertanyaan tersebut diberikan oleh doktor kelahiran Bima itu dalam dua sebab. Sebab yang pertama adalah terus bertahannya dikotomi aliran pada masyarakat pedesaan Jawa, seperti yang ditemukan antropolog Amerika, Clifford Geertz, pada pertengahan 1950-an, yakni aliran abangan dan santri. Menurut hasil penelitian Afan Gaffar (1985-1986), penduduk Brobanti yang tergolong santri sebagian besar memilih PPP, sedangkan penduduk abangan sebagian besar masuk Golkar dan PDI. Bertahannya pola aliran ini sekaligus ingin membantah tulisan dari sosiolog Belanda Wertheim, yang mengatakan terjadinya perubahan dari "dikotomi aliran" ke "perjuangan kelas" di pedesaan Jawa. Dalam bukunya, Afan Gaffar juga menyangsikan pandangan ilmuwan politik Australia, Richard Robinson, tentang munculnya kelas kulak di pedesaan Jawa. Dalam pandangan Afan Gaffar, posisi kelas seseorang tak banyak berkaitan dengan voting behaviour (tingkah laku memilih). Ditunjukkannya bahwa baik petani pemilik maupun buruh tani suaranya tersebar merata antara ketiga kontestan. Penemuan Afan Gaffar ini memperkuat pandangan ilmuwan politik Australia sebelumnya, Rex Mortimer, yang melihat bahwa kuatnya PKI kala itu disebabkan oleh suara dari kaum abangan di pedesaan Jawa. Dalam studinya, Afan Gaffar kembali membagi pimpinan dalam masyarakat pedesaan Jawa ke dalam lapisan formal, seperti lurah atau kepala dukuh, serta pemimpin nonformal, seperti cikal bakal (tiyang baku) desa, para kiai dan ulama, guru dan dukun. Peranan para tokoh formal dan informal ini sangat penting dalam penetapan pilihan seseorang. Dari responden yang diwawancarai Afan Gaffar ditemukan bahwa pemilih Golkar umumnya didorong oleh kenyataan bahwa Golkar adalah partai pemerintah, yakni partainya kepala dukuh, lurah, dan camat, serta pejabat-pejabat di atasnya. Enam bulan sebelum pencoblosan, kepala dukuh dan lurah sudah mulai kampanye "bisikbisik" agar memilih Golkar. Selain itu, pengaruh Sultan Hamengku Buwono IX juga besar, sehingga sebagian pemilih menusuk Golkar semata karena partainya Sultan. Sisa pemilih melihat Golkar sebagai orpol yang berhasil membangun, dibuktikan oleh adanya jalan atau irigasi baru di desanya. Pemilih PPP pada umumnya didorong oleh kuatnya komitmen pada ajaran Islam karena disuruh oleh kiai. Yang menarik adalah pemilih PDI yang umumnya melakukannya karena mereka tak suka kepada Golkar serta PPP. PDI juga dianggap "partainya Bung Karno". Selain karena bertahannya dikotomi aliran, Afan Gaffar melihat sebab kedua dari kemenangan Golkar selama ini adalah akibat terbentuknya "sistem partai yang hegemonik". Akibatnya, tak ada kompetisi atau alternatif terhadap Golkar. Ada empat sebab yang dilihat Afan Gaffar sehingga hal ini bisa terjadi. Pertama, adanya aparatur represif dari pusat sampai ke daerah. Kedua, adanya proses depolitisasi seperti monoloyalitas pegawai negeri maupun konsep "massa mengambang". Ketiga, akibat adanya restrukturisasi serta perubahan dari parpol. Alasan keempat adalah adanya Undang-Undang Pemilu dan proses pemilu yang lebih menguntungkan Golkar. Terhadap pandangan Afan Gaffar ini dapatlah dikemukakan beberapa klarifikasi. Masalah pertama adalah makin membaiknya kualitas penyelenggaraan pemilu sejak dimulainya tahun 1971, khususnya sehubungan dengan posisi hegemonik Golkar. Masalah kedua adalah makin masuknya Golkar dalam memperoleh suara santri (Islamic votes), baik sejak 1971 maupun setelah posisi netral NU sejak pemilu 1987. Demikian pula dapat dipertanyakan apakah memang benar sistem patronklien di pedesaan Jawa benar-benar atas dasar keikhlasan dan tak dilandasi "material reward", seperti pada masyarakat lainnya yang pernah dipelajari ilmuwan politik Amerika, James Scott. Mungkin saja kepala dukuh atau lurah memberikan favoritisme kecil untuk memilih Golkar (misalnya kemudahan surat atau izin), tapi memang benar bahwa hal itu tak menjurus pada vote buying (pembelian suara) seperti di pedesaan Muangthai dan Filipina dalam pemilu baru-baru ini. Seperti yang dicatat Afan Gaffar, perubahan generasi menyebabkan pola patronklien makin lemah di pedesaan. Anakanak muda makin bebas dalam pilihannya. Untuk itu, kontestan pemilu harus memperhatikan usaha penggalangan di pedesaan Jawa, seperti yang telah dilakukannya terhadap "urban voters" selama ini. Buku Afan Gaffar yang sangat berharga ini tentu saja menjadi sumbangan untuk pengetahuan kita mengenai studi pemilu, khususnya sejak masa Orde Baru. Burhan D. Magenda

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus