Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pinggul Ning Rumbini merendah sambil bergoyang pelan ke belakang. Kedua kakinya lalu mundur-maju sambil tangan kirinya mengibaskan selendang merah yang membalut pinggang. Berkebaya kuning dengan kain senada berwarna emas, penari itu membawakan tari jaipongan Keser Bojong di Bale Rumawat kampus Universitas Padjadjaran, Bandung, pada 20 Juni 2010.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Itulah karya tari jaipongan pertama ciptaan Gugum Gumbira Tirasondjaja pada 1980. Setelah itu muncul kreasi anyar seperti Oray Welang hingga sekitar 20 tari jaipongan lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelum wafat pada Sabtu, 4 Januari lalu, sekitar pukul 02.00 di RS Santosa, Bandung, Gugum masih sempat membuat sebuah tari jaipongan baru, Kania Laga, yang ditampilkan tiga penari di Gedung Sate dan Gedung Merdeka Bandung pada Desember 2019. Kania Laga jenisnya rampak yang dimainkan tiga orang atau lebih, tapi bisa juga tunggal.
Setelah itu, kondisi fisik pria berumur 74 tahun tersebut menurun akibat komplikasi jantung, stroke, dan infeksi paru-paru. Itu adalah karya terakhir Gugum.
Gugum dimakamkan di pemakaman keluarga di daerah Majalaya, Kabupaten Bandung. Seniman kelahiran Bandung, 4 April 1945, itu meninggalkan empat anak dari pernikahannya dengan Euis Komariah, penembang Sunda yang lebih dulu wafat. "Beliau berkesenian secara total," kata Nanu Munajar Dahlan, seniman tari, di Bandung, kemarin.
Besar di lingkungan rumah yang hidup dengan seni tradisional Sunda, seperti tari, musik, dan sandiwara, Gugum menciptakan jaipongan secara bertahap. Pemicunya adalah titah Presiden Sukarno pada 1963 yang melarang kesenian Barat. Padahal Gugum muda yang lulus SMA pada 1965 tengah gandrung berdansa. "Dia senang menari, bukan untuk hura-hura," kata Mira Tejaningrum, anak sulung Gugum yang juga penari dan pelatih tari jaipongan.
Galau karena hobinya terhadang, Gugum berembuk dengan rekan-rekannya mencari solusi agar bisa tetap bergaul sambil menari. Perhatiannya tertuju ke tarian tradisional. Gugum berkeliling Jawa Barat pada kurun 1967-1974 dan mendata tarian tradisional apa saja yang masih hidup di masyarakat. Dari tarian Ronggeng Gunung di Ciamis, Gugum mencatat ada tiga tarian yang umum di Tatar Sunda, yaitu tari tayub, pencak silat, dan ketuk tilu. "Akarnya jaipongan itu esensi dari ketuk tilu, pencak silat, dan tari keurseus," ujar Mira.
Nama jaipongan berasal dari bunyi kendang atau gendang yang ditabuh. Adapun gagasan tema jaipongannya sering terinspirasi secara spontan seperti ketika melihat bulan setengah, ular, atau daun pulus. Namun, menurut Mira, setiap karya ayahnya punya struktur, filosofi, dan teknik menari yang jelas. Tari Oray Welang ditetapkan sebagai gerakan dasar jaipongan yang berbasis tarian tradisional.
Gugum, di kanal YouTube Indonesia Kaya, menjelaskan secara filosofis bahwa jaipongan menggambarkan masyarakat Jawa Barat yang dinamis, heroik, dan erotis. "Erotis itu kegiatan mencari titik-titik keindahan. Bukan porno, tapi dalam kacamata seni." Karya tari jaipongannya ada yang dibuat untuk penari lelaki, perempuan, serta pasangan dengan tembang khusus.
Walau begitu, dua Gubernur Jawa Barat semasa Aang Kunaefi (1975-1985) dan Ahmad Heryawan (2008-2018) pernah mempersoalkan tari jaipongan hingga berembus soal pelarangan. "Bapak bisa mempertanggungjawabkan karyanya kepada dua gubernur itu," kata Mira.
Menurut Nanu Munajar Dahlan, istri-istri pejabat zaman Gubernur Aang takut suami mereka kepincut oleh penari jaipongan. Saat itu, beberapa penarinya populer, seperti Tati Saleh. Jaipongan pun menghidupkan sanggar-sanggar tari karena muridnya ingin belajar untuk tampil di ajang festival dan lomba tari.
Gugum Gumbira Tirasondjaja.
Selain menari dan menciptakan tari, pekerjaan Gugum adalah pegawai negeri sipil di Pemerintah Kota Bandung. Lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Angkasa Bandung 1988 itu pernah menjabat kepala dinas pendapatan daerah hingga pensiun pada 2004. Namanya juga tercatat sebagai manajer tim Persib pada 2001-2003.
Selain membuat tari jaipongan, Gugum bersama kelompok seninya menggarap tembang-tembang Sunda. Mitra utamanya adalah sang istri, pesinden Euis Komariah, yang fasih menembangkan Cianjuran. Gugum merangkai syair, Euis mengolah cengkoknya. Kompilasinya bersama komposer lain menjadi album yang direkam di studio sanggar sendiri di Jalan Kopo, Bandung. Sebagian tembang mengiringi jaipongan, lainnya berupa musik degung, juga kecapi suling.
Seniman musik Ismet Ruchimat mengatakan Gugum pun mengembangkan ansambel gamelan untuk bisa tampil menonjol dan tidak hanya melayani atau mengiringi tarian. Gubahannya ikut melahirkan banyak juru kawih dan pemain kendang atau gendang. "Pengaruhnya seperti permainan kendang ke musik tradisional lain, seperti di Banyuwangi dan Bali," ujar Wakil Direktur Pascasarjana Institut Seni dan Budaya Indonesia Bandung itu.
Meski tanpa wasiat khusus soal jaipongan, kata Mira, keluarga akan melestarikan warisan karya, juga sanggar seni tari, tembang, dan musiknya. Selain itu, pihak keluarga ingin meluruskan pandangan beberapa kreator tari jaipongan lainnya yang menyebut karya mereka sebagai jaipongan modern. Menurut Mira, istilah itu tidak layak. "Kalau mau buat tarian sendiri, silakan tanpa embel-embel jaipongan," ujarnya.
Bagi dia, jaipongan sebagai genre tarian berbasis tradisional punya pakem dan formula khas. Sebagai tari seni pertunjukan untuk hiburan, jaipongan bisa dibawakan tunggal, berpasangan, juga rampak atau lebih dari tiga orang. "Jadi, enggak ada istilah jaipongan klasik atau modern."
ANWAR SISWADI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo