Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua pekan sebelum festival film dibuka pada 12 Oktober, sebuah acara lain yang lebih bersifat akademis dimulai: Asian Film Academy (AFA). Ini tahun kedua program yang disokong oleh triumvirat PIFF, Universitas Dongseo, dan Korean Academy of Film Arts. Meski berlangsung hanya tiga pekan, program ini sangat prestisius jika ditilik dari reputasi para dekan yang memimpin.
Dekan AFA, yang tahun lalu dipegang oleh sutradara Taiwan, Hou Hsiao Hsien, kali ini dipercayakan kepada sutradara Korea, Im Kwontaek. Film Kwontaek, Chunhyang, pernah diunggulkan meraih Piala Palem Emas Festival Film Cannes 1999. Dalam struktur AFA, seorang dekan memimpin dua fakultas yang masing-masing terdiri dari dua sineas dunia berpengalaman sebagai mentor utama para mahasiswa.
Tahun ini AFA merekrut 24 sutradara muda dari 19 negara, hasil penyaringan atas 143 aplikasi. Tahun lalu Indonesia diwakili Edwin (Kara Anak Sebatang Pohon), alumni Institut Kesenian Jakarta yang kini sedang membuat film panjang pertama, Babi Buta Ingin Terbang. Tahun ini kesempatan itu disabet Ifa Isfansyah, 27 tahun, sutradara Yogyakarta. Ifa, film-film pendeknya pernah diputar sejumlah festival film internasional seperti Tampere (2001), Hamburg dan Rotterdam (2002), serta Athena (2004).
"Saya sempat tak yakin terpilih sebagai mahasis-wa AFA karena sehari setelah mengirimkan aplikasi, Yogya dilanda gempa bumi. Saya sibuk menjadi sukarelawan," ucapnya.
Di Busan, ke-24 sutradara itu sejak awal dibagi ke dalam dua tim untuk memproduksi sebuah film pendek sebagai tugas akhir, meskipun mereka tetap mengikuti kelas reguler berbagai aspek produksi seperti lighting, recording, scoring (ilustrasi musik), sampai kebutuhan make-up pemain. Tim Ifa dimentori oleh sutradara Kazakhstan, Darezhan Omirbayev, dan sinematografer kawakan Bak Kiung, profesor film dan multimedia di Universitas Chung-Ang. "Seluruh elemen produksi dikupas habis. Ini pengalaman baru bagi saya," kata Ifa.
Bagi sineas Indonesia yang tertarik mengikuti AFA tahun depan, Ifa membeberkan kiat yang diyakininya bisa menaklukkan hati para dosen. "Jangan hanya mengandalkan filmography yang sudah kita produksi saja, buatlah personal statement yang unik namun tegas." Ia sendiri mengirimkan sebuah personal statement: bagaimana Yogyakarta bisa berperan sebagai salah satu basis perfilman Indonesia di masa depan. n
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo