Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MARI bersulang untuk Ho Yuhang dan Rain Dogs!”
Gelas-gelas berdenting menyambut ajakan Daniel Yu. Sejenak kemudian giliran Yuhang yang menyambar peluang, mengajak bersulang untuk rencana pernikahan Daniel, produser Hong Kong, bulan depan. Gelas kembali beradu menyambut senyum malu Lorna Tee, kekasih Daniel. ”Sebentar, tahan dulu!” dengan gayanya yang kocak, tiba-tiba Yuhang menatap Nia Dinata. ”Mari bersulang juga untuk perfilman Indonesia dan perempuannya yang cantik-cantik.”
Maka gelas berisi soju (bir Korea), bokbunjajoo (anggur dari peraman buah raspberry), sampai air mineral menggelontor tenggorokan belasan tamu yang ikut tertawa melihat polah Yuhang.
Peristiwa itu berlangsung di lantai dua sebuah resto hidangan laut yang terletak di bibir pantai Haeundae, Busan, Korea Selatan. Sementara angin musim gugur yang menderu-deru di luar resto sedang bergairah menemani malam menyeberangi pergantian waktu menuju Sabtu, 14 Oktober.
Rain Dogs adalah film terbaru Ho Yuhang, sutradara berbakat Malaysia, yang baru diputar untuk khalayak Pusan International Film Festival (PIFF) beberapa jam sebelumnya (baca Empat Cuplikan dari Busan). Film itu didanai oleh Focus Films Limited yang dinakhodai Daniel Yu, produser Hong Kong terkemuka yang juga sahabat karib Andy Lau sejak keduanya duduk di bangku SMA.
Dalam festival ke-11 tahun ini, yang berlangsung 12-20 Oktober, Daniel terpilih sebagai salah seorang anggota dewan juri yang diketuai sutradara ikonik Hungaria, István Szabó. Adapun Andy Lau sendiri ditabalkan sebagai Asian Filmmaker of the Year, lewat dobrakan terbarunya membuat proyek First-Cuts, melalui Focus Films, yang mendanai enam film sutradara Asia dari berbagai negara.
Pada dini hari itu Andy tak terlihat. ”Dia sudah tidur untuk jumpa penggemar besok,” ujar Daniel. Adapun Lorna, tunangan Daniel, juga produser Focus yang kiprahnya sangat berpengaruh bagi kalangan indie di Malaysia. Selain nama-nama di atas, ada juga Pete Teo, aktor-penyanyi-penyair Malaysia yang bermain di Rain Dogs.
Lantas, apa hubungan semua itu dengan ”perfilman Indonesia dan perempuannya yang cantik-cantik” seperti dilontarkan Yuhang?
Beberapa menit sebelum berbagai persulangan itu, tiga aktris Indonesia yang datang ke Busan baru saja pamit karena ingin istirahat lebih cepat. Mereka adalah Dian Sastrowardoyo, Luna Maya, dan Mariana Renata. Dua anggota Komite Sinema Indonesia, Amanda Marahimin dan Penny Purnawaty, malah sudah lebih dulu pulang. Yang tersisa dari ”tim” Indonesia akhirnya tinggal dua sutradara, Nia Dinata dan Cinzia Puspita Rini, empat penulis skenario—Prima Rusdi, Melisa Karim, Lasya F. Susatyo, dan Vivian Idris. Orlow Seunke, Direktur Jakarta International Film Festival, yang juga hadir di Busan, saat itu tak terlihat batang hidungnya.
Menjelang pukul 2.30 dini hari, Nia pamit ke ”tim gabungan” Malaysia-Hong Kong karena akan ada pemutaran dua film pendek Indonesia pada pukul 9 pagi (baca Senyap di Megabox). Keluar dari resto, kami, Tempo dan sineas perempuan kita itu, menyusuri pantai Haeundae yang masih ramai oleh pengunjung, meski tak ada film yang diputar di kawasan itu. Beberapa pasangan berpelukan menyibak lidah-lidah ombak yang menjilati pantai. Petasan roket, seperti sering dinyalakan saat Ramadan di Indonesia, sesekali menyemburkan cahaya yang melukis angkasa. ”Benar-benar sebuah festival yang happening,” ujar Nia takjub.
Keenam sineas perempuan ini kemudian berbelok ke kanan, memintas jalan yang disediakan Paradise Hotel Busan, menuju hotel mereka masing-masing. Adapun lurus di depan berdiri paviliun PIFF, sebuah kompleks temporer sepanjang 200 meter yang terdiri dari teater terbuka, ruang konferensi pers, dan berbagai ruangan lain. Hotel tempat Tempo menginap, Seacloud, hanya berjarak satu bulevar yang harus diseberangi.
Seacloud adalah padanan bahasa Korea untuk hae-undae (awan laut), nama pena penyair Korea legendaris abad ke-9, Choe Chin-won, yang pernah tinggal di wilayah ini untuk menulis sajak-sajaknya. Sepotong syairnya tertoreh di salah satu karang yang terhunjam di pantai Haeundae, seakan-akan ingin bersaksi: Busan sudah menjadi nadi kebudayaan Korea sejak dulu—ketika seluloid belum lagi terlintas di pikiran manusia.
BUSAN dan Pusan: apa bedanya?
Istilah ini lumayan membingungkan musafir yang berkunjung pertama kali ke negeri itu. Ternyata nama pertama adalah sebutan resmi yang dipakai beberapa tahun terakhir untuk kota terbesar kedua di Korea Selatan, yang juga kota kembar Surabaya ini. Adapun nama terakhir kini mengendap di benak penduduk dengan satu-satunya pengecualian tetap digunakan sebagai nama festival. Pusan International Film Festival (PIFF) dilihat sebagai sebuah brand, bahkan international brand, yang otoritas kota pun tak ingin mengubahnya demi ”menyelaraskan” dengan nama kota.
Barangkali memang bukan soal perubahan nama yang penting, tapi sekuat apa political will yang menjadi basis. Dalam hal ini para pengelola PIFF beruntung karena dukungan total meluncur dari Seoul. ”Busan bermimpi untuk menjadi simpul temu dari industri perfilman Asia,” ujar Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Kim Myung-gon. Impian untuk menegakkan Pan-Asia di dunia perfilman itu semakin nyata dari tahun ke tahun. ”Setelah menjalani 10 tahun pertama era pertumbuhan, 10 tahun kedua ini adalah era lepas landas bagi gelombang baru perfilman Asia,” tutur direktur festival Kim Dong-ho pada malam pembukaan, 12 Oktober.
Semakin pentingnya PIFF di mata sineas terlihat dari fakta bahwa 245 film (dari 63 negara) yang ditayangkan kali ini, 64 film di antaranya—sekitar 26 persen—melakukan world premiere, 20 film menjalani international premiere, dan 71 film lainnya berstatus Asian premiere. Ke-245 film itu diputar di 33 layar yang tersebar di 7 lokasi, yakni 30 layar di empat sinepleks yang berada di kompleks pusat belanja (Megabox, Primus Haeundae, CGV Jangsan, dan Daeyoung di kawasan Nampo-dong), serta masing-masing satu layar di Busan Yachting Center, PIFF Pavilion, dan Busan Cinema Studios.
”PIFF bahkan sudah mengungguli Tokyo International Film Festival,” ujar Kiyoshi Kurosawa, sutradara-cum-dosen perfilman Jepang terkemuka, seperti dikutip mahasiswanya, Asako Watanabe, kepada Tempo. Asako datang ke Busan bersama tujuh rekannya di bawah bimbingan Kiyoshi—ia tak ada hubungan kekerabatan dengan Akira Kurosawa—untuk mempelajari festival ini demi kepentingan akademis.
Pendapat Kiyoshi terdengar agak berseberangan dengan versi panitia Tokyo International Film Festival yang melansir daftar 12 festival film internasional terbesar di dunia sepanjang 2006. Dalam daftar itu Tokyo berada di urutan ke-11, sedangkan Pusan sama sekali tak tercantum di daftar. Namun mengingat sejarah panjang rivalitas kedua negara di berbagai bidang, penjelasan Kiyoshi juga bisa dipertimbangkan.
Tengoklah bagaimana arus deras J-Pop (Japan Pop) yang menggila pada awal pergantian milenium lewat film, musik, dan fashion, termasuk gaya busana Harajuku Style yang kini sedang hype di kalangan remaja Indonesia dengan rambut terburai dan pakaian ala tokoh-tokoh komik (disebut cosplay), atau busana post-punk seperti kerap dipakai Maia Ahmad dan Mulan Kwok dari grup Ratu.
Korea membalas tunai dengan hallyu—”tampang Korea (Korean look)—yang terlihat lebih santun, lugu, tapi digilai generasi muda di berbagai negara sejak meledaknya serial televisi Winter Sonata pada 2002. Faktor pendobrak: wajah ”tanpa dosa” aktor Bae Yong-joon. Gelombang hallyu semakin mewabah melalui serial lain yang dirilis dua tahun berikutnya, Jewel in the Palace, sebuah drama historis yang efektif dalam mengerem popularitas J-Pop.
Sukses menaklukkan pemirsa Asia, para sineas Korea mengarahkan langsung ”serangan kultural” berikutnya ke jantung masyarakat Jepang lewat apa yang disebut hanryu—”gelombang Korea”. Lewat serial April Snow yang dilempar tahun lalu, publik Jepang akhirnya bertekuk lutut pada pesona Bae Yong-joon dengan memberikan sebutan takzim: Yong-sama—Pangeran Yong. Majalah film Variety mencatat kiprah ”Pangeran Yong” menyebabkan April Snow sukses mendulang 23 juta dolar (sekitar Rp 207 miliar) hanya dalam satu musim tayang.
Tajamnya invasi budaya pop yang menyebar dari Semenanjung Korea tak bisa dilepaskan dari kiprah PIFF sebagai kawah penggodokan yang membuat warga Korea sangat ”melek sinema”. Simaklah bagaimana tayangan tengah malam Midnight Passion yang baru diperkenalkan panitia tahun ini, yang selalu dibanjiri penonton. Selama empat malam, 13 film dari 12 negara diputar di bioskop Megabox 5, dengan komposisi 3-4 film setiap pemutaran. Dimulai pada pukul 00.30, penonton bertahan sampai pagi. Maka pemandangan yang lumrah terlihat di lobi sinepleks Megabox yang terdiri dari 10 layar, jika para penonton Midnight Passion menunggu dengan tidur di bangku-bangku yang tersedia.
Indikator lain dari ”melek sinema”-nya warga Korea terlihat pada segmen Korean Cinema Today yang menayangkan 21 film terpilih yang mencerminkan keragaman sisi kreatif. Tema yang tersaji sangat bervariasi, mulai dari pembunuhan Presiden Park Chung-hee pada 26 Oktober 1979 (The President’s Last Bang) sampai kisah kemanusiaan yang mengharukan: seorang gadis yang dibayar sebuah keluarga untuk berpura-pura menjadi putri seorang lelaki yang sedang koma, karena kemiripannya dengan putri kandung sang pria yang raib entah ke mana. Dengan adanya ”putri kandung” di samping pria sekarat itu, keluarganya berharap ia bisa meninggalkan dunia dengan tenang. Ketika akhirnya sang lelaki mati, sang gadis mengembalikan separuh ”honornya” sebagai tanda duka cita (Ad lib Night).
The President’s Last Bang sebenarnya dirilis tahun lalu, namun ditayangkan tanpa tiga adegan sesuai dengan perintah pengadilan. Tahun ini, Mahkamah Agung Korea memutuskan film itu boleh diputar apa adanya, sehingga diiklankan dengan sebutan: original version.
Martabat PIFF sebagai sebuah perfilman internasional juga terasa lewat penegakan peraturan yang sangat tegas untuk urusan tiket dan jadwal pemutaran. Karcis hanya bisa dibeli untuk pertunjukan hari itu dan besok, maksimal empat film sehari. Bagaimana jika tiket habis terjual? Jika Anda ngebet ingin nonton film itu dan rela berdiri, atau malah duduk di tangga bioskop, tak masalah. Panitia bisa mengeluarkan tiket seperti itu, dengan catatan hanya pada hari film itu diputar. Jadi tak bisa dipesan sehari sebelumnya.
Jangan mencoba berspekulasi ”yang penting pegang tiket dulu, soal nonton atau tidak, itu belakangan”. Itu sama saja dengan ”bunuh diri”. Sebab, sistem tiket yang terkomputerisasi akan mencatat jika Anda absen tiga kali dari film yang sudah Anda pegang tiketnya—jangan lupa, identitas Anda terekam di komputer panitia—Anda tak bisa memesan lagi untuk film selanjutnya.
Tak mengherankan jika reservasi tiket berlangsung sejak pagi sekali. Di Hotel Seacloud tempat saya menginap, yang tersedia gerai reservasi, tak sedikit tamu yang berdiri di antrean masih mengenakan piyama dan mata terpejam. Setelah tiket didapat, beberapa orang memilih balik ke kamar, mungkin melanjutkan tidur ketimbang sarapan.
Soal jam tayang, panitia lebih ”kejam”. Hampir semua pemutaran dimulai sesuai dengan jadwal di buku program. Begitu pintu ditutup, tak ada lagi penonton yang bisa masuk dengan alasan apa pun. Tempo dan dua anggota KISI pernah mengalami ini saat ingin menonton di kawasan Nampo-dong yang berjarak sekitar 45 menit perjalanan dari Haeundae. Kami terlambat sekitar 5 menit akibat kemacetan di sekitar pelabuhan. Namun alasan itu tak melunturkan senyum manis seorang panitia perempuan yang berjaga di depan pintu. ”Kami hanya ingin konsisten menjalankan peraturan. Kamsa mida,” katanya lembut tak lupa menyebutkan ”terima kasih”.
Tak aneh jika seorang tamu dari Brisbane International Film Festival yang sedang berkunjung ke booth perfilman Indonesia di Grand Hotel Busan tiba-tiba membatalkan keinginan untuk melihat trailer film Indonesia terbaru. Dengan panik ia melihat arloji. ”Nanti saja saya balik lagi, panitia di sini sangat kejam,” katanya sebelum menghambur ke luar. Ya, ini Korea, Bung!
Uniknya, satu-satunya keterlambatan pemutaran film selama festival—sampai 15 menit—terjadi di teater Megabox 5 dan 6, pada 17 Oktober pukul 8 malam, yang saat itu memutar film yang sama… Opera Jawa karya Garin Nugroho. Penjelasan resmi dari seorang panitia hanya, ”Ada kesalahan teknis, kami minta maaf untuk itu.” Entah di mana letak kesalahannya, tapi pengumuman itu disambut celetukan seorang penonton Indonesia, ”Kok, malam ini rasanya jadi Indonesia banget, ya?”
Dua jam sebelumnya, kebetulan berlangsung Malam Sinematography Indonesia di Grand Hotel Busan yang dibuka oleh Duta Besar Jakob Tobing (baca Mencari Pasar, Mencari Dasar).
PIFF ke-11 resmi ditutup pada 20 Oktober dengan diumumkannya film Love Conquers All karya sutradara perempuan Malaysia, Tan Chui Mui, 28 tahun, sebagai pemenang utama. Uniknya, di film yang menuai badai pujian dari dewan juri itu, Ho Yuhang bertindak sebagai editor.
Haruskah dengan begitu, paling tidak untuk saat ini, kita yang mendentingkan gelas dan berseru, ”Mari bersulang untuk perfilman Korea dan, eh, Malaysia?”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo