Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak kisruh perfilman Indonesia pada 2006, produser Mira Lesmana tak berminat mendaftarkan filmnya ke Festival Film Indonesia (FFI). Padahal, tahun sebelumnya, film yang diproduksinya dan disutradarai Riri Riza berjudul Gie diganjar penghargaan sebagai film terbaik dalam festival tersebut. Absennya Mira Lesmana, juga produser/sutradara Nia Dinata, dalam FFI setelah 2006 tentu saja menjadi persoalan. Film produksi Miles Films, Kuldesak (1998) dan Ada Apa dengan Cinta? (Rudi Soedjarwo, 2002), menjadi dua dari beberapa film penanda bangkitnya perfilman Indonesia. Film Laskar Pelangi (Riri Riza, 2008), yang berhasil meraih 4,6 juta penonton, menjadi film yang melahirkan tren film anak-anak di kemudian hari.
Akhirnya, setelah menunjukkan pernyataan politik, "Setelah Jokowi jadi presiden, kami memutuskan untuk ikut mendukung FFI tahun ini," demikian Mira Lesmana kepada Tempo. Setelah delapan tahun "mangkir" dari FFI, Mira akhirnya mendaftarkan film Sokola Rimba, yang disutradarai Riri Riza, ikut merayakan FFI yang baru.
Bukan hanya Mira Lesmana, sutradara Joko Anwar, yang kerap bersuara keras terhadap penyelenggaraan dan penjurian FFI, ikut mendukung penyelenggaraan festival tahun ini. "Bahkan saya menjadi salah satu jurinya," kata Joko.
Yang paling bersemangat bertepuk tangan atas keputusan ini tentu panitia FFI 2014. "Kami menyebut peristiwa ini sebagai kembalinya si anak hilang," ujar Kemala Atmojo, Ketua Panitia Pelaksana FFI 2014.
Kemala menyebutkan, tahun ini, panitia FFI memang melakukan perombakan besar atas penghargaan ini, yakni penerapan sistem penjurian baru untuk divisi film bioskop. "Baru diterapkan pada film bioskop. Tahun ini kami belum mempunyai kategori film televisi, film dokumenter, dan animasi," katanya mengakui. Menurut dia, yang paling problematis dan yang paling disorot masyarakat film serta masyarakat umum adalah penghargaan untuk film bioskop. Kemala menambahkan, sejak FFI digagas pada 1955, baru kali ini sistem penjurian mengalami perubahan besar.
Dalam penjurian sebelumnya, dewan juri terdiri atas tim kecil yang berdiskusi secara internal dan menerima film-film hasil pilihan sebuah tim seleksi yang berbeda, kini sistem itu dibongkar-pasang. Kali ini FFI memilih menggunakan sistem yang agak mirip dengan Academy Awards di Amerika Serikat. FFI membentuk sebuah tim besar yang jumlah anggotanya mencapai 100 orang. Penjurian tahap pertama adalah penyaringan nominasi yang dilakukan lima juri yang berbeda untuk setiap kategori. "Penyaringan tahap pertama dilakukan oleh para ahlinya, harus orang film, dan harus pernah menang Piala Citra," ujar Kemala.
Sutradara Joko Anwar, misalnya, diberi tugas menentukan nominasi untuk kategori sutradara terbaik bersama Garin Nugroho dan Mouly Surya. Sedangkan aktor Reza Rahadian mendapat tugas menjadi juri kategori aktris terbaik.
Setelah ditentukan nominasi untuk 15 kategori yang akan bersaing, dewan juri dari dunia perfilman akan ditambah dengan 15 juri lain dari kelompok nonfilm untuk penjurian selanjutnya. "Mereka adalah orang yang kami anggap punya kredibilitas di bidangnya masing-masing, seperti (dosen filsafat Universitas Indonesia) Rocky Gerung dan sastrawan Seno Gumira Ajidarma," kata Kemala.
Seluruh proses penjurian dilakukan dengan sistem pemungutan suara. Para juri akan mengisi lembaran angket, memilih lima nama terbaik dengan sistem skala prioritas pada penjurian tahap satu. Pada tahap berikutnya, seluruh juri harus menulis satu nama terbaik. Hasil angket ini akan dibuatkan rekapitulasinya oleh akuntan publik Deloitte. "Sudah kami simulasikan, dan kemungkinan memperoleh suara yang sama untuk dua nama, misalnya, sangat kecil," ujar Kemala.
Meski demikian, dalam pengumuman nominasi yang digelar di Kementerian Pariwisata, 24 November lalu, ternyata sempat terjadi seri pada salah satu kategori. "Untuk memutuskannya, masing-masing juri dalam kategori tersebut ditelepon untuk memutuskan satu di antara dua nama itu," Robby Ertanto, Ketua I Bidang Penjurian FFI, menjelaskan.
Dalam pembacaan nominasi ini ditemukan bahwa nama juri ternyata terpilih menjadi nomine dalam kategori yang sama. Misalnya, Laura Basuki pada kategori pemeran pendukung wanita terbaik dalam film Haji Backpacker juga juri pada kategori yang sama. Sedangkan sutradara Faozan Rizal, yang menjadi juri kategori pengarah sinematografi terbaik lewat film Soekarno, ternyata terpilih sebagai nomine dalam kategori ini. Menanggapi keanehan yang berkesan conflict of interest ini, Ketua Badan Perfilman Indonesia Alex Komang menjelaskan, itu disebabkan oleh syarat pemilihan juri FFI yang ketat. "Dalam beberapa bidang, misalnya editing, orang-orangnya terbatas sekali," ujarnya.
Adapun Robby Ertanto optimistis pengumuman nominasi ini tetap obyektif. "Karena Deloitte sudah memeriksa, dan tidak ada juri yang memilih dirinya sendiri untuk masuk nominasi," katanya. Laura Basuki juga menegaskan, ia sama sekali tidak memilih namanya dalam kategori yang ia jurikan. "Dan dalam penjurian tahap dua nanti, aku akan mengosongkan satu kategori itu," ujarnya.
Kemala menjelaskan, perubahan penjurian itu dilakukan untuk menjawab aneka permasalahan dan kelemahan yang terjadi dalam FFI selama ini. Hasil penjurian sebelumnya banyak dipermasalahkan karena jumlah juri yang sedikit dan mereka menilai banyak aspek dari film yang jauh dari kompetensi yang mereka miliki. "Misalnya, biasa ngurus editing, kok, disuruh menilai wardrobe. Dengan perubahan sistem dan penambahan jumlah juri ini, diharapkan tingkat obyektivitas penilaian akan naik," katanya.
Joko Anwar mengapresiasi sistem baru FFI yang mengadopsi cara yang digunakan dalam Academy Awards ini. Terutama karena sangat melibatkan masyarakat perfilman yang kompetensinya teruji dan sesuai dengan bidang masing-masing. "Cara ini, selain lebih obyektif, lebih mewakili suara para pelaku perfilman," ujar Joko. Hal itulah yang mendorong Joko terlibat dalam FFI tahun ini.
Sementara itu, meski keikutsertaan Mira Lesmana bertepatan dengan perombakan penjurian FFI, ia menampik anggapan bahwa langkahnya ini diambil karena alasan tersebut. "Ini sebagai pernyataan kami mendukung pemerintahan baru Jokowi," ujarnya.
Mira menyebutkan tidak pernah mempermasalahkan penjurian FFI. Pada 2006, Mira dan kawan-kawannya, orang film, yang kemudian membentuk Masyarakat Film Indonesia (MFI), memprotes pada saat FFI memenangkan Ekskul sebagai film terbaik. Mulai saat itu, mereka membentuk berbagai strategi, antara lain beramai-ramai mengembalikan Piala Citra kepada Kementerian Pariwisata dan meninggalkan FFI sebagai ajang penghargaan film terbesar di negeri ini. Tapi persoalannya bagi Mira Lesmana dan kawan-kawan bukan pada sistem penjurian, melainkan karena pelanggaran hak cipta yang dilakukan sineas film Ekskul.
Mira menyebutkan peristiwa itu kemudian menjadi titik awal orang-orang film mengkritik kebijakan pemerintah, termasuk Undang-Undang Perfilman Tahun 1992. Tahun ini, ia berharap pemerintah baru membawa kebijakan yang dapat mengangkat bidang ekonomi kreatif Indonesia. "Kami meninggalkan FFI sebagai statemen politik dan kembali juga sebagai statemen politik," katanya.
Ratnaning Asih
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo