Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Crouching Tiger, Hidden Dragon: Sword of Destiny
Sutradara: Yuen Woo-ping
Skenario: John Fusco
Berdasarkan Crane Iron Pentalogy karya Wang Du Lu
Pemain: Michelle Yeoh, Donnie Yen, Harry Shum Jr., Natasha Liu Bordizzo
Produksi: China Film Group, Newport Entertainment, Netflix
Takdir Hijau bernapas dan berlaga.
Pedang legendaris bersepuh warna lumut yang mampu membuat pendekar yang menggunakannya menang kembali diperebutkan. Dendam masa lalu dan keserakahan membakar para murid tokoh yang kita kenal 16 tahun lalu dalam film Crouching Tiger, Hidden Dragon karya Ang Lee (2000). Film yang meledak dan menjadi pemenang Film Asing Terbaik Academy Awards ini tidak hanya meledak di negara Asia, tapi di seluruh dunia, dan sempat melahirkan tren film wu xia, yang tak kurang diarahkan oleh sutradara maestro semacam Zhang Yimou (Hero, House of Flying Daggers) serta serombongan sutradara Cina, Taiwan, dan Hong Kong yang mendadak jadi dikenal industri film Barat.
Premis sekuel ini sama dengan induknya: pedang Takdir Hijau adalah incaran semua pendekar, tapi mereka tak peduli bahwa pedang itu hanya bisa berfungsi kesaktiannya jika jatuh di tangan "yang tepat". "Tepat" artinya mereka yang memiliki "code, honour and justice", demikian kata tokoh utama Yu Shu Lien (Michelle Yeoh) pada awal film, yang memberikan narasi perkenalan kepada penonton dalam bahasa Inggris.
Shu Lien berkisah kepada penonton, yang mungkin saja belum menyaksikan film induk, bahwa sejak kehilangan Li Mu Bai, yang tewas belasan tahun lalu, dia hidup menyendiri. Film ini dimulai dengan perjalanan Shu Lien ke tempat kediaman Gubernur Te. Dulu, Shu Lien mengunjungi Te untuk mengantarkan Takdir Hijau titipan Li Mu Bai, sedangkan kini ia datang untuk pemakaman Te.
Pedang hijau masih disimpan di rumah itu, yang dijaga putra Te. Malam itu, seorang bandit dengan jurus meringankan diri melayang tanpa suara di atap bubungan berhasil menerobos ruang tempat penyimpanan si Takdir Hijau. Sebuah adegan yang meniru adegan awal versi Ang Lee. Aksi bandit ini digagalkan Snow Vase (Natasha Liu Bordizzo), gadis muda cantik, cerdas, tapi—seperti tokoh Jen Yu dalam film pertama yang diperankan Zhang Ziyi—juga berbuih ambisi.
Si bandit muda ternyata Wei Fang (Harry Shum Jr.), utusan Hades (Jason Scott Lee), pemimpin bandit yang sebenarnya sudah memiliki sebilah pedang yang tak kalah sakti, tapi masih penasaran terhadap Takdir Hijau karena mitosnya.
Demi mengamankan si Takdir Hijau, Shu Lien merekrut para petarung untuk menjaga sang pedang sakti. Lima petarung Jalan Besi mengajukan diri. Salah satunya Serigala Senyap, yang di masa lalu mempunyai sejarah dengan Shu Lien. Maka film ini kemudian membentangkan semacam kisah Tolkienisme: ada sekumpulan penjaga cincin yang menghadang para penjahat. Dalam film ini, pertarungan terjadi antara geng penjaga pedang hasil rekrutmen Shu Lien dan kelompok bandit pimpinan Hades.
Sekuel lazimnya hanya berhasil jika memang sudah dirancang sejak awal sebagai bagian film dwilogi atau trilogi seperti The Godfather, para pemain pada film pertama tetap menjadi pemain utama, dan sutradara atau produser serta tim awal juga dikerahkan.
Problem pertama film sekuel ini, bahasa yang digunakan adalah bahasa Inggris (yang kaku). Bagi penggemar film martial arts, bahasa Mandarin dengan subtitle bahasa Inggris atau Indonesia adalah sebuah persyaratan rasa "orisinal". Tak perlu khawatir terhadap penonton Amerika, toh film Crouching Tiger pertama menggunakan bahasa Mandarin dan tetap saja memenangi Oscar serta menjadi salah satu film terlaris.
Plot utama terlalu ingin mirip dengan film induk. Padahal, jika lebih percaya diri, tim penulis cerita bisa membuat sebuah sekuel tentang generasi berikut dari para tokoh utama. Tokoh Shu Lien, yang diperankan Michelle Yeoh, adalah benang merah kedua film. Anggun sekaligus piawai beraksi laga, Yeoh adalah satu dari sedikit aktris yang memang memiliki latar belakang martial arts. Maka akan jelas bedanya dengan para aktor yang belajar martial arts hanya karena tuntutan film, karena kita akan melihat long shot (rekaman dari jauh) atau penggunaan stunt (aktor pengganti) dalam koreografi adegan perkelahian.
Seperti aktor Jackie Chan, aktris Michelle Yeoh adalah pemain yang jarang menggunakan stunt. Tapi keanggunan dan karisma Yeoh tak bisa bertahan sendirian di antara cerita yang klise. Apalagi film ini lebih terasa sebagai kisah koboi western, misalnya adegan di warung yang humornya lebih mirip humor para koboi yang sedang minum bir.
Kaitan antarkarakter terungkap dari kilas balik, misalnya sejarah Serigala Senyap dengan Shu Lien atau kaitan Snow Vase dengan Wei Fang. Adegan kilas balik itu seharusnya mampu menjadi bagian dramatis film ini, tapi tak berhasil tergali dengan dalam.
Adegan laga tetap mengulang kejayaan film pertama: adegan tubuh yang melawan gravitasi bumi dan melayang-layang seolah-olah terdiri atas helium mengandung beberapa bagian menarik. Tapi ada juga adegan laga baru yang menarik, misalnya perseteruan di atas salju yang sudah mengeras seperti kaca, sehingga mereka harus berselancar—seperti tengah bermain ice skate—dengan ancaman yang berlapis: ditusuk pedang lawan atau tenggelam ke salju cair yang dingin dan mematikan.
Maka sekali lagi: sekuel atau prekuel hanya bisa terjadi jika sejak awal cerita saga itu sudah dirancang untuk ditampilkan dalam dua atau tiga jilid. Seperti kata Shu Lien pada awal film ini, "Beberapa orang akan dikenang hanya lima atau dua puluh tahun setelah mati, tapi beberapa yang lain akan selamanya abadi." Film Crouching Tiger pertama jatuh ke kategori terakhir. Sedangkan sekuel film ini sebaiknya segera kita makamkan ke kuburan film-film yang terlupakan.
Moyang Kasih Dewimerdeka
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo