Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Maryanto
Nyok! Bareng-bareng kite jage dan kite bangun Jakarta.” Tidaklah sulit untuk menjumpai bentuk bahasa—sebut saja sekarang ”bahasa Indonesia lokal”—yang bernada ajakan itu di DKI Jakarta. Oleh sebagian linguis Indonesia, ajakan resmi dari Pemerintah DKI tersebut dianggap tidak berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Bahasa Indonesia yang baik dan benar sudah berhasil dirancang. Perancangannya jelas berorientasi pada kebijakan (politik) bahasa nasional. Sebagai bahasa nasional, bahasa itu diarahkan berwujud bahasa baku/standar dengan harapan dapat menempati fungsi pemakaian bahasa formal/resmi. Dengan rambu-rambu bahasa baku, ajakan resmi Pemerintah Daerah Jakarta itu akan berwujud: ”Ayo! Secara bersama-sama kita jaga dan kita bangun Jakarta.”
Wujud bahasa baku bukanlah bentuk bahasa natural (natural language). Bahasa baku atau yang dibakukan tersebut biasanya harus dipelajari anak lewat bangku sekolah (pendidikan formal) sebagai bahasa kedua (bahkan sebagai bahasa asing); tentu dengan rupa-rupa kendali politik, misalnya politik kurikulum pendidikan.
Secara natural bahasa Indonesia (sebagai bahasa natural) sesungguhnya bergerak ke arah bahasa lokal; mendekati dan—bahkan—menyerupai bahasa daerah. Bahasa daerah seperti bahasa Betawi/Jakarta pada contoh tadi sudah begitu rupa dekatnya dengan bahasa Indonesia. Sudah selayaknyalah bahasa daerah seperti itu disebut ”bahasa Indonesia lokal”.
Fenomena ”lokalisasi” bahasa Indonesia tersebut sudah berlangsung lama. Bahkan, sejak masih dalam ”kandungan” bahasa Melayu (katakan sebelum peristiwa Sumpah Pemuda 1928), bahasa Indonesia sudah mulai mengkonstruksi dirinya sangat terbuka untuk memasukkan aneka ragam bahasa lokal (daerah).
Tidak hanya di daerah Betawi/Jakarta, tetapi juga di Manado, Ambon, Papua dan daerah lainnya, bahasa Indonesia sudah mampu mewujudkan identitasnya sebagai bahasa yang sangat dekat dan—bahkan—serupa dengan bahasa daerah.
Hari ini trada nasi, Pace Obed! Itu sekadar contoh tuturan berbahasa daerah (Papua) yang diakui oleh penutur generasi muda sekarang sebagai sebuah wujud bahasa Indonesia. Tuturan itu tentu bukan bentuk bahasa Indonesia baku/standar (nasional).
Pengakuan masyarakat atas fakta adanya bentuk lokal pada bahasa Indonesia mestinya membuat dikotomi bahasa (antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah) tidak meruncing. Dikotomi bahasa itu masih terpelihara sebagian karena faktor politik. Dikotomi politis itu sudah tampak kurang produktif; bisa menghambat proses integrasi kultural anak bangsa Indonesia.
Adalah kenyataan bahasa Indonesia kini bergerak melokal jauh lebih cepat; melampaui batas-batas wilayah basis penuturan bahasa Melayu tempo dulu. Sekarang, terutama di kalangan penutur muda (termasuk anak-anak), sangat mudah untuk melihat proses integrasi bahasa itu.
Bayar Rp 2.000, ngomong sak karepmu. Contoh itu diambil dari sebuah iklan jasa telekomunikasi. Iklan itu menggambarkan integrasi bahasa Jawa dan bahasa Indonesia itu sudah berlangsung untuk mewujudkan sebuah bentuk baru ”bahasa Indonesia lokal”: bahasa Indonesia Jawa. Demi integrasi itu, misalnya, bahasa Jawa rela menanggalkan morfem terikat (akhiran) pada kata bayar(-e) atau bayar(-a) dan ngomong(-e) atau ngomong(-a).
Fakta bahasa Indonesia dan bahasa daerah keduanya sudah saling berdekatan dan—cepat atau lambat—berwujud satu rupa (wujud ”bahasa Indonesia lokal”) patut dijadikan dasar pertimbangan untuk merumuskan bahasa ibu bagi anak (generasi muda) Indonesia sekarang. Sebagian besar—jika belum semua—anak Indonesia tidak selalu berbahasa ibu sama dengan bahasa yang dituturkan oleh ibunya, apalagi oleh nenek atau moyangnya.
Bahasa ibu yang hidup subur pada generasi muda sekarang adalah bahasa daerah yang berintegrasi dengan bahasa Indonesia atau bahasa Indonesia yang mendekati dan menyerupai bahasa daerah. Konsep bahasa ibu itu memberikan manfaat besar bagi dunia pendidikan anak. Dunia pendidikan perlu mengambil manfaat itu dalam perancangan buku-buku ajar bagi anak sekolah dasar (terutama usia dini).
Sejak dini, anak-anak sekolah dasar umumnya disuguhi buku-buku ajar berbahasa Indonesia dalam konstruksi bahasa nasional (formal/resmi). Alhasil, di lingkungan pendidikannya anak sering merasa asing. Mereka merasa kurang nyaman karena bahasa itu juga wajib dipelajari dalam sebuah mata pelajaran. Praktek pendidikan itu diketahui (Ahmad Baedowi, 2008) menimbulkan ”gangguan perkembangan kognitif anak”.
Setiap tanggal 21 Februari, dunia pendidikan selalu diingatkan oleh badan pendidikan PBB (UNESCO) agar memanfaatkan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar pendidikan. Peringatan itu sangat bagus. Namun, janganlah salah kaprah. Bahasa ibu dalam pendidikan itu adalah bahasa milik si anak (bukan bahasa milik si ibu atau warisan nenek moyang).
Anak Indonesia sekarang cenderung berbahasa ibu dalam fenomena ”bahasa Indonesia lokal”. Fakta itu memang masih miskin apresiasi. Sudah saatnya, buku-buku ajar (sekolah dasar tahap awal) dirancang berbahasa Indonesia lokal. Bahasa itulah bahasa ibu yang fungsional untuk pendidikan anak Indonesia sekarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo