HUMOR adalah kesempatan terakhir manusia untuk tidak menjadi gila. Begitu kata entah siapa. Siapa pun yang berkata, yang pasti, situasi kritis antara "kewarasan" dan "kegilaan" ternyata menyimpan peluang bisnis jutaan dolar. Film Home Alone 2: Lost in New York, tak pelak lagi, memang dibuat untuk bisa mengeruk kembali sukses komersial yang telah dinikmati oleh Home Alone (yang tanpa embel-embel, dan disutradarai juga oleh Chris Columbus). Sebagaimana dicerminkan oleh judulnya, Home Alone yang pertama kehadirannya -- dan juga keberhasilannya -- terasa lebih spontan. Sedangkan pada Home Alone 2 sudah diembel-embeli dan dibebani oleh rekayasa bisnis yang cenderung eksploitatif. Karena itu, apabila film yang tampaknya sengaja dibuat untuk menyongsong Natal 1992 itu juga sukses, tidaklah mengherankan jika nanti dibuat pula Home Alone 3, Home Alone 4, dan seterusnya. Itulah "nasib" yang sudah dijalani oleh, misalnya, Rambo, Rocky, dan Superman. Mengulang pola kisah Home Alone pertama, Home Alone 2 juga menjebloskan si kecil Kevin (Macaulay Culkin) ke dalam situasi keterasingan akibat ia "tercecer" dalam perjalanan liburan keluarga. Kali ini Kevin tidak tertinggal di rumah, melainkan terpisah di bandar udara dengan keluarganya, dan kemudian menumpang pesawat yang berbeda arah. Keluarganya ke Florida, Kevin nyelonong sendirian ke New York. Sejak itu, dalam kesendiriannya, Kevin bertualang mengikuti fantasi kanak-kanaknya. Sampai akhirnya ia bertemu lagi dengan duet penjahat konyol Harry (Joe Pesci) dan Marvin (Daniel Stern). Akibatnya, sebagaimana dalam Home Alone pertama, mereka menjadi teror bagi Kevin. Apalagi karena Harry lantas ingin membalas dendam atas kekalahannya dipecundangi Kevin tempo hari. Suasana perburuan dan petak umpet pun, yang merupakan porsi terbesar dari keseluruhan film, dieksplorasi habis dengan menampilkan aneka kekonyolan. Artinya, Home Alone 2 menyerahkan diri sepenuhnya kepada banyol-banyolan fisikal klasik (slapstick) yang riuh oleh adegan baku-benjol dan jatuh-bangun ala kartun, dengan seluruh tubuh belepotan cat. Adapun akhir cerita, sebagaimana pada yang pertama, kedua cecunguk pandir itu tertangkap polisi setelah dikerjai habis-habisan oleh si Kecil. Boleh jadi Home Alone 2 akan mengalami sukses pasar, juga di sini. Sebab, pertama, sebagai sebuah film hiburan ringan, ia mampu merangsang gelak tawa penonton. Kedua, penonton bisa sesaat melupakan beban pikiran sehari-hari. Ketiga, mereka pun akan melupakan jumlah uang yang telah dikeluarkan untuk membeli karcis. Kemudian, bagaimana dengan si Mack kecil yang bermain "rutin" (ternganga, melongo, tersenyum, dan mengernyit)? Berkat Home Alone pertama, bocah itu telah didaulat sebagai "aktor cilik paling populer pada zamannya". Sekaligus, popularitas tersebut juga telah menjeratnya. Suatu hal yang di bawah tekanan kekuasaan bisnis tak terhindarkan. Sebagai Kevin, boleh jadi ia pas. Tapi, sebagai kanak-kanak biasa, ia tak boleh tumbuh sebagaimana seharusnya. Perubahan tak mungkin ditolerir oleh produsernya. Sebab, demi sukses film-film berikutnya, ia cukup hanya melakukan akting-akting fotokopi saja. Sesuatu yang merupakan perkembangan tak dibutuhkan. Dan itulah yang dibutuhkan dalam sebuah proses eksploitasi -- termasuk terhadap para penggemarnya. Yang terjadi itu mungkin memang merupakan bagian dari sebuah "tragikomedi global" dalam dunia perfilman (yang dimainkan dengan intens oleh para produser, insan film, dan penonton). Namun kondisi tersebut tampaknya akan mudah dimaafkan. Mengingat semua pihak toh bisa terhibur dan terpuaskan oleh dolar, popularitas, dan gelak tawa. Apa pun yang terjadi di "sana", suatu hal yang tak bisa dimungkiri adalah, mereka bisa mengemas film-filmnya secara amat canggih dan memikat. Sehingga, setelah melihat Macaulay Culkin dan Home Alone serta film komedi Amerika lainnya (termasuk opera sabun yang ditayangkan oleh televisi swasta kita), sejumlah pertanyaan tiba-tiba berlompatan: Kenapa film seperti itu tak pernah dibuat di sini? Mengapa para insan film kita lebih suka berkeluh-kesah ketimbang membuat sebuah film yang bisa menohok saraf tawa seluruh anggota keluarga? Mengapa film komedi kita cuma merupakan potongan-potongan banyolan tak lucu yang disambung-sambung secara serampangan, vulgar, dan gagal menjadi humor yang membebaskan? Padahal, seperti kata si entah siapa tadi, "Humor adalah kesempatan terakhir manusia untuk tidak menjadi gila." Yudhistira A.N.M. Massardi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini