Adalah suatu fenomena menarik di balik terpilihnya kembali Hasan Basri Durin menjadi gubernur Sumatera Barat yang ditulis di beberapa nomor TEMPO. Mengapa? Dalam berbagai percakapan dengan para wartawan, Mendagri Rudini secara transparan sudah memberikan lampu merah untuk Durin karena prestasinya yang biasa-biasa saja selama menjadi gubernur periode sebelumnya. Tapi, di balik itu, tampaknya ada "suatu arus besar" yang membuat keinginan bersih dan demokratis Rudini tidak kesampaian. Setelah munculnya "kesulitan" pemerintah pusat menurunkan tiga nama dari lima nama yang diajukan oleh DPRD Sum-Bar, urang awak di perantauan menduga-duga terjadi bargaining position yang melelahkan antara berbagai kepentingan "arus besar" tadi. Karena, logikanya, kalau Durin muncul di tiga besar, sudah dapat dipastikan dia akan terpilih kembali. Sangat kita sayangkan berbagai kepentingan dari pihak-pihak tertentu ikut berperan dalam mempertahankan Durin. Padahal, Rudini telah memberikan isyarat tentang perlunya penyegaran bagi gubernur yang hanya berprestasi biasa-biasa saja, tapi hal itu tak bisa ditangkap secara jernih dan bersih oleh para anggora DPRD SumBar. Gugatan salah seorang ketua MUI Sum-Bar seperti diberitakan sebuah harian Ibu Kota adalah lagu lama tentang ketidakselarasan tigo tungku sajarangan dalam kepemimpinan Durin. Padahal, dalam mekanisme kepemimpinan Minang, seorang pemimpin didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting. Seorang pemimpin harus mempunyai hubungan yang harmonis dengan pemimpin nonformal yang disebut tigo tungku sajarangan, yaitu para alim ulama, para cendekiawan, dan para pemangku adat. Keinginan dan niat baik Rudini dalam mekanisme pemilihan gubernur patut kita acungi jempol. Tapi, untuk Sum-Bar, gayung beliau tidak bersambut. Tragis. IHSAN M. RUSLI Kaliurang Km 5,6 No. 4 Yogyakarta 55281
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini