Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Komedi Kemaluan tanpa Malu

Quickie Express mencoba melucu tentang dunia gigolo. Apakah kita bisa tertawa?

3 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

QUICKIE EXPRESS Sutradara: Dimas Jayadiningrat Skenario: Joko Anwar Pemain: Tora Sudiro, Lukman Sardi, Amink Produksi: Kalyana Shira Film, 2007

Komedi adalah sebuah genre film yang paling sulit, terutama, karena urat lucu setiap orang sangat berbeda (meski kita sama-sama warga Indonesia). Jadi, siapa saja yang mengumumkan dengan berani bahwa mereka melahirkan film komedi, kami sangat menghargai keberanian sineasnya, kegagahannya bercita-cita, dan kesintingannya (untuk berani mencoba melucu di antara penonton Indonesia yang selera komedinya beragam ini).

Film ini dibuka dengan munculnya seekor kuda mainan di taman hiburan rakyat. Narasi tokoh utama Jojo (Tora Sudiro) yang sedang terancam bahaya terdengar. Ia tergantung-gantung di udara, di bawah ancaman seorang preman yang setiap ucapannya disertai terjemahan bahasa gaul remaja. Lalu Jojo terjatuh.

Tapi, sebelum Jojo menyentuh tanah, Dimas Jayadiningrat, sang sutradara, memaksa penonton bertandang ke awal karier Jojo sebagai pengepel lantai, kemudian tukang tambal ban. Kelak Jojo bertemu dengan Mudakir (Tino Saroengallo), yang menawarinya ”pekerjaan terbaik yang mungkin ente dapatkan”: sebagai gigolo. Awalnya Jojo menolak. ”Ada pekerjaan lain?” Ia menawar. ”Ada,” jawab Mudakir pendek, ”Sebagai agen multi-level marketing.” Jojo emoh.

Yang lebih penting dari semua adegan itu adalah Dimas menghidangkan nuansa retro tahun 1970-an, dengan segala memorabilia yang masih tercantel di benak Joko Anwar sebagai penulis skenario: model pakaian yang norak, gaya bicara, dan transportasi yang banyak menampilkan skuter. Tata artistik? Dua jempol. Nah, jangan lupa ada parade tante girang yang menjadi obyek favorit novel-novel era tersebut, seperti novel Motinggo Busye. Apa lagi? Ah, ya, seks sebagai tangga untuk mencapai kehidupan sosial yang lebih gemerlap.

Namun, berbeda dengan Busye yang—berupaya—menampilkan potret sosial dalam persoalan seksualitas, Dimas memilih pendekatan komedi yang luar biasa konyol, sehingga pada banyak bagian terlihat vulgar dan sekaligus pandir. Imaji genitalia dari kedua jenis kelamin pun berseliweran di sana-sini: di layar televisi, dalam bentuk manekin perempuan, gambar-gambar di dinding, sampai dildo sungguhan. Ketika sebagian penonton tertawa terbahak, sebagian menggaruk kepala bertanya sembari menggumam dengan malas, ”Was that supposed to be funny?” (sebuah pertanyaan yang terlontar bukan karena ”did not get the joke”, melainkan lebih karena terasa tak lucu).

Akhirnya, cerita tak lagi penting karena duet Joko-Dimas berupaya sekeras mungkin untuk membuat penonton terbahak-bahak di ”pusat layanan seksual” yang berkedok perusahaan pizza itu: Quickie Express. Mereka berhasil. Kiat itu menjadi kombinasi ampuh bagi penonton yang terbiasa melihat seksualitas sebagai aktivitas mekanik. Ledakan tawa penonton terdengar dari adegan ke adegan, bagai cermin yang memantulkan wajah terbaru generasi perkotaan.

Jojo, yang menjadi satu dari tiga gigolo favorit Quickie Express, bersama Marley (Amink) dan Piktor (Lukman Sardi), akhirnya terlibat dalam sebuah keruwetan keluarga ”klien”. Sebuah cinta (atau nafsu?) segi empat—bukan lagi segi tiga—yang absurd karena melibatkan semua tokoh di keluarga itu.

Lalu film habis, dan kami mulai menyesal memilih antre berjam-jam karena nama besar yang menjanjikan dari produksi ini. Kalau penonton yang membeludak adalah ukuran keberhasilan perfilman di negeri ini—entah karena hantu atau karena ”komedi” slapstick seks—ya sudahlah. Memang kita baru sampai di sini. Wong festival film juga tak bisa dijadikan pegangan keberhasilan.

Akmal Nasery Basral

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus