Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Konfliknya teori konflik

Penerjemah : ali mandan jakarta : rajawali, 1986 resensi oleh : arief budiman.

9 Mei 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KONFLIK DAN KONFLIK DALAM MASYARAKAT INDUSTRI, SEBUAH ANALISA KRITIK Oleh: Ralf Dahrendorf Penerjemah: Ali Mandan Penerbit: CV Rajawali, Jakarta, 1986, 414 halaman THOMAS HOBBES mengatakan, pada hakikatnya manusia itu egoistis. Manusia merupakan serigala bagi manusia lainnya. Hukum Hobbes menyatakan, kehidupan manusia adalah semua melawan semua. Kalau demikian, bagaimana kehidupan bermasyarakat dimungkinkan? Hobbes sendiri menjawabnya dengan mengandaikan datangnya seorang pemimpin kuat yang memerintah dengan kekuasaan mutlak. Kekuasaan otoriterlah sendi kehidupan bermasyarakat. Apakah yang menyebabkan kehidupan bermasyarakat mungkin, bertahan, dan berkembang? Ada dua kelompok aliran ilmu sosial yang menjawab. Yang pertama menekankan saling ketergantungan antara unsur-unsur masyarakat, yang pada gilirannya melahirkan kerja sama harmonis. Dengan demikian, harmoni dalam masyarakat merupakan sesuatu yang fungsional dan normal. Yang tidak normal adalah konflik. Konflik dilihat sebagai penyakit dalam masyarakat, yang ditimbulkan oleh orang atau kelompok yang tidak dapat menyesuaikan diri. Aliran pikiran yang kemudian dikenal sebagai teori fungsionalisme ini, tampaknya lebih berhasil menjelaskan harmoni ketimbang perubahan dalam masyarakat. Karena perubahan menuju perbaikan masyarakat tersebut sering kali merupakan akibat dari suatu konflik, yang dianggap sebagai penyakit oleh aliran teori ini. Teori konflik berpendapat lain. Konflik merupakan sesuatu yang sehat, yang mendinamisasikan. Konflik bukan penyakit. Tanpa konflik, masyarakat jadi beku, mandekati konflik merupakan sesuatu yang hakiki, selalu ada dalam setlap masyarakat. Konflik melahirkan perubahan, yang serint, kali berdampak positif. Ralf Dahrendorf adalah penganut teori konflik. Dalam bukunya yang terkenal, Class and Class Conflict in Industrial Solety (diterjemahkan menjadi konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri, rupanya untuk menghindari istilah kelas yang berbau Marxis), dia menutupnya dengan kalimat: "... kebebasan dalam masyarakat trutama sekali berarti bahwa kita mengakui keadilan dan kreativitas dari kebhinekaan, perbedaan dan pertentangan" (halaman 400). Baginya, konflik merupakan unsur kreatif, merupakan ekspresi kebebasan. Unsur teori konflik barangkali sudah dimulai ketika nenek moyang kita percaya bahwa jagat raya digerakkan oleh dua tenaga yang berlawanan. Yang satu positif yang lain negatif, yang satu jantan yang lain betina. Dalam filsafat modern, pandangan ini menjelma dalam teori Hegel tentang dialektika yang dianggap sebagai tenaga penggerak searah. Bagi Hegel, sejarah merupakan proses perubahan dari apa yang ada sekarang (das Sein) kepada yang ideal di kemudian hari (das Sollen). Yang ada dan yang ideal berhubungan secara dialektis, yang satu mempengaruhi yang lain dalam suatu proses perubahan terus-menerus. Yang ada sekarang (gejala) bukanlah dirinya (esensi) yang dirinya bukanlah yang ada. Seperti biji mangga yang berproses jadi pohon mangga. Kalau Hegel masih ada pada asas filsafat Karl Marx, sang murid, menurunkannya ke dunia lebih nyata. Marx mencari aktor sejarah yang mengubah masyarakat ke arah yang ideal, dan dia menemukan kelas sosial. Dalam masyarakat di satu pihak ada kelas sosial yang memiiiki dan menguasai alat produksi, di lain pihak ada kelas sosial yang tidak memilikinya. Yang pertama kemudian menindas yang kedua, sejak zaman perbudakan, zaman feodal sampai zaman kapitalisme. Konflik antara kedua kelas ini terus berlangsung sampai tercapainya masyarakat komunis di mana pertentangan kelas tidak ada lagi, karena pemilikan alat produksi dihapuskan. Masyarakat inilah yang setara dengan masyarakat ideal Hegel, penjelmaan The Absolute Spint. Dengan demikian, menurut Marx, masyarakat tidak pernah sepi dari pertentangan kelas, sampai komunis tercipta. Pertentangan atau konflik inlah yang jadi motor penggerak sejarah menuju masyarakat yang ideal - menurut mereka. Meskipun Marx sudah membawa filsafat Hegel lebih membumi, teori Marx pada dasarnya masih sarat dengan filsafat. Karena itu, teorinya digolongkan grand theory. Dahrendorf menurunkannya menjadi apa yang disebut middle range theor (kalau diturunkan lagi jadi studi kasus), dengan membahas persoalan masyarakat industrial. Dalam melakukan studi ini, Dahrendorf jelas masih ada di bawah payung grand theory Marx. Dan Dahrendorflah yang menjadikan teori Marx, sosiologi. Tapi Dahrendorf memang tak mengikuti begitu saja teori sang guru. Dalam buku ini dia mempersoalkan konsep kelas Marx, konflik kelas, yang menurut dia sudah berlainan dari yang dibayangkan Marx. Bahkan kemudian Dahrendorf memberikan definisinya sendiri tentang apa yang dimaksudkannya dengan kelas sosial. Perubahan-perubahan ini memberikan dampak teori dan dampak praktis yang berbeda dari kesimpulan-kesimpulan Marx. Pada titik inilah buku Dahrendorf jadi menarik dan penting diperhatikan. Menurut dia, konsep kelas sosial Marx, yang dihubungkan dengan pemilikan alat produksi, tak memuaskan. Ia melihat, setiap rnasyarakat tidak dapat tidak harus mengatur dirinya sedemiklan rupa. Dan dalam pengaturan itu terjadi pembagian kekuasaan yang tidak merata. Pengaturan diri yang tidak terelakkan itu disebutnya dengan istilah ICA atau imperatively coordinated associations (diterjemahkan kurang mengena jadi perserikatan yang dikordinasi secara memaksa). Pemerataan kekuasaan inilah yang menjadi konsep kunci teori Dahrendorf. Atas dasar konsep kunci ini, ia menyusun definisi kelas sosialnya. Kelas sosial adalah kelompok yang punya kepentingan sama, yang bertentangan dengan kelompok kepentingan yang lain. Dalam suatu ICA, kelompok-kelompok ini memiliki kekuasaan berlainan. Ada yang lebih kuat, ada yang lebih lemah. Perjuangan kelas pada Dahrendorf jadi perjuangan memeratakan kekuasaan, bukan memeratakan aset ekonomi seperti yang dikatakan Marx. Dalam masyarakat industrial, konflik kelas menjadi makin lunak. Hal ini disebabkan, demikian Dahrendorf, karena masyarakat industrial lebih demokratis. Kekuasaan tidak lagi dikaitkan pada orang, tapi pada aturan permainan yang lebih obyektif dan adil. Kekuasaan juga cepat berpindah tangan. Di samping itu, masyarakat industrial menjadi lebih majemuk. Mengikuti teori Weber, Dahrendorf menyatakan, dalam masyarakat industrial seseorang tidak hidup dalam organisasi tempat dia bekerja saja, tapi juga pada organisasi kemasyarakatan lain yang kriteria pembagian kekuasaannya berbeda. Maka, bisa terjadi, seorang buruh yang tidak berkuasa dalam perusahaan, lebih berkuasa terhadap majikannya dalam, misalnya, orgamsasi gerela. Dengan teori ini, Dahrendorf jadi lebih luwes melihat macam-macam kelompok yang berbenturan satu sama lain. Dalam sistem kapitalisme klasik, bisa saja terjadi konflik antara buruh dan majikan. Tapi dalam masyarakat pascakapitalis, yang berbenturan adalah kelompok lainlagi, misalnya para birokrat, yang menguasai aparat pemerintahan, melawan warganya. Semua ini karena masyarakat harus diorganisasikan hingga kekuasaan satu kelompok dapat lebih banyak ketimbang kekuasaan kelompok lainnya. Maka, bila pada Marx, sejarah bergerak pada pembentukan masyarakat sosialis/komunis, pada Dahrendorf dia bergerak pada pembentukan masyarakat demokratis. Ini, tentu saja, merupakan perbedaan yang besar. Buku ini merupakan buku penting, dan juga sulit. Untuk membaca dengan baik, orang paling sedikit harus mengenal perdebatan di kalangan ahli ilmu soslal Marxis. Karena itu, untuk menerjemahkan buku ini, kepakaran dalamberbahasa Inggris saja tidak cukup. Hal-hal penting tenggelam dalam terjemahan, yang hanya menterjemahkan bahasanya saja tanpa penekanan yang khusus. Belum lagi istilah baru yang diciptakan pengarang buku ini, yang memang sulit diterjemahkan. Seperti konsep ICA tadi. Alhasil, membaca teori konflik Dahrendorf dalam bentuk terjemahan menimbulkan banyak konflik dalam diri saya untuk dapat menerima dan menerka apa yang dimaksud dengan terjemahannya. Untunglah, sebelumnya saya sudah mengenal teori Dahrendorf. Tanpa ini, saya tidak tahu berapa banyak yang dapat dicerna oleh pembaca awam dari apa yang tersaji dari terjemahannya. Arief Budiman (1) Marx sebenarnya banyak menulis studi kasus di samping tulisan yang bersifat teori dan filsafat. Misalnya kasus masyarakat di Inggris, Jerman, dan Prancis. Tapi pengaruh Marx dalam ilmu sosial adalah di bidang filsafat dan teori. (2). Dalam terjemahannya dipakai kata wewenang. Saya tidak tahu dalam bahasa Inggrisnya, apakah ini terjemahan power atau authonty. Kalau power, terjemahan kekuasaan jelas lebih tepat. Kalau authonty, terjemahan wewenang rasanya kurang pas. Saya setuju dengan Koentjaraningrat bahwa wewenang lebih tepat untuk legitimacy. Dalam seluruh teori Dahrendorf, saya lebih suka menggunakan kekuasaan dalam menjelaskan konsepnya tentang ICA.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus