Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
LAS!, Bsar, dan Poker Mustache menyusuri Sungai Kapuas untuk menggelar konser musik di tiga kota di pedalaman Kalimantan Barat.
Konser musik ini mengkampanyekan pentingnya perlindungan lingkungan dan mitigasi krisis iklim.
Penambangan bauksit dan pengolahan sawit di banyak lokasi di sepanjang Sungai Kapuas diduga mencemari air dan mengurangi ikan.
MATAHARI turun dari kepala ketika lima speed boat mulai mengarungi Sungai Kapuas dari wilayah Kecamatan Tayan, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, beberapa waktu lalu. Kapal bermotor 45 PK tersebut melintasi batang air di daerah dengan kandungan bauksit terbesar di Indonesia tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Itu asap dari pabrik sawit,” kata Ahmad Syukri, Direktur Lingkaran Advokasi dan Riset (LinkAr) Borneo, di perahu. Rombongan berhenti setelah menyusuri Sungai Kapuas dan mengitari Pantai Pasir Tayan. Penamaan itu menyesatkan karena mengacu pada daratan yang terbentuk akibat sedimen pasir di tengah sungai. Area tersebut akan makin luas jika debit air Kapuas surut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rombongan terdiri atas wartawan, aktivis lingkungan, serta kru grup band LAS!, Bsar, dan Poker Mustache. LAS! asal Pontianak menggawangi tur ini. Dua band lain datang dari Bali. Mereka mengadakan tur di tiga kota di Kalimantan Barat dengan tajuk BabLAS.
LAS! beranggotakan Bob Gloriaus pada gitar dan vokal, Diaz Mraz pada drum, Agaz Frial pada gitar, serta Cep Kobra pada bas. Band ini terbentuk pada 2015 dengan lagu-lagu bertemakan lingkungan.
Mereka ambil bagian dalam Music Declares Emergency Indonesia, komunitas yang menjadikan musik sebagai alat untuk melawan krisis iklim. Bob dan Diaz berasal dari Kapuas Hulu, kabupaten yang sebagian besar wilayahnya merupakan kawasan konservasi. Di sana terhampar hutan hujan tropis di Gunung Betung Kerihun dan lahan basah penyimpan karbon purba, Danau Sentarum. Bentang alam itu menjadi inspirasi lagu-lagu mereka.
Penampilan LAS! menutup rangkaian tour BabLAS! di Kalimantan Barat. TEMPO/Aseanty Fahlevi
Penumpang di perahu cepat yang menyusuri Sungai Kapuas tersebut mengalihkan pandangan pada arah yang ditunjuk oleh Syukri. Tempo termasuk di antaranya. Sepanjang sungai, kami mendapati tambang pasir dan air menjadi lebih keruh di sekitarnya. “Selain untuk ekspor, pasir ini menjadi penyumbang utama untuk pembangunan Ibu Kota Nusantara,” katanya.
Kami juga melihat kapal-kapal tongkang berukuran besar bersandar di tepi sungai. Mereka membawa bauksit yang sudah diolah menjadi alumina. Di pinggiran batang air itu juga terhampar banyak tambak ikan air tawar beraneka ukuran.
Dasar Sungai Kapuas berlumpur. Topografi itu membuat airnya berwarna cokelat susu. Curah hujan yang tinggi di hulu menyebabkan banyak sedimen tanah yang tersapu arus dan membuat sungai jauh lebih keruh. Suhu yang panas mendorong pertumbuhan mikroba yang ikut memperkeruh air di sana.
Meski airnya tak jernih, Sungai Kapuas mempunyai potensi ikan air tawar yang besar. Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Barat, produksi perikanan budi daya di Sungai Kapuas mencapai 37.309 ton pada 2014 atau meningkat 10,1 persen dari 33.878 ton pada 2011. Pemerintah setempat berupaya meningkatkan produktivitas perikanan budi daya itu. Di Tayan, menangkap ikan masih menjadi aktivitas banyak orang untuk menambah pendapatan atau sumber pangan.
Namun menangkap ikan di Sungai Kapuas tak lagi sama sejak 20 tahun terakhir. “Kesulitan tidak hanya dirasakan di batang Sungai Kapuas, tapi juga hingga beberapa anak sungai di Tayan,” kata Bob. Kecemasan itu dia sampaikan berdasarkan pengalamannya menyusuri sungai dan mendapati semua pesisir Sungai Kapuas di Tayan yang dipenuhi tambang bauksit, smelter, serta pabrik pengolahan kernel sawit.
Padahal, sebagai sungai terpanjang di Indonesia, Kapuas memiliki potensi ekowisata dengan daya jual tinggi. Batang air itu merupakan rumah arwana merah (Scleropages formosus). Silok merah—demikian nama lokalnya—tergolong spesies terancam punah dalam daftar International Union for Conservation of Nature (IUCN).
Dari Pegunungan Muller hingga Selat Karimata, Sungai Kapuas membentang 1.143 kilometer melewati tujuh kabupaten/kota di Kalimantan Barat. Sebelum ada jalur darat, sungai merupakan moda transportasi utama di Kalimantan.
Malam itu, LAS! tampil di Kabupaten Sintang, berjarak sekitar enam jam perjalanan dari Kecamatan Tayan. Wilayah yang dikenal dengan Bumi Senentang ini merupakan pertemuan Sungai Kapuas dan Sungai Melawi. Luas wilayahnya 21.635 kilometer persegi dan dua kecamatannya berbatasan langsung dengan Sarawak, Malaysia.
Berlatar Bukit Kelam, bukit yang diklaim sebagai batu monolit terbesar di dunia, LAS! menampilkan karya-karyanya. Bsar dan Poker Mustache mendukung penampilan LAS! dan ikut merasa terpukul oleh kondisi lingkungan di sana. “Saya lihat langsung, ada smelter bauksit, tapi di sisi lain warga masih bergantung pada sungai untuk air dan ikannya,” ujar Yosi, dari grup musik Bsar.
LAS! membawakan sebelas lagu, termasuk Borneo is Calling, Hutan Peradaban, Sentarum, Borneo Spirits, dan Anak-anak revolusi. Workshop mereka sebelum manggung pun mendapat antusiasme warga.
Zamzami Arnilus, Direktur Komunikasi Trend Asia, mengatakan Kalimantan Barat menghadapi tantangan besar akibat krisis iklim. Pada 2023, wilayah ini mengalami deforestasi yang signifikan, terutama akibat pembukaan lahan untuk perkebunan sawit dan industri ekstraktif.
"Tur BabLAS tak sekadar konser musik," kata Zamzami. Pergelaran musik ini mengkampanyekan kesadaran pentingnya pelindungan lingkungan. Menurut dia, kepentingan ekonomi jangka pendek menjadi hambatan besar dalam memitigasi dampak perubahan iklim.
Setelah konser, rombongan bergerak kembali ke arah Pontianak. Mereka singgah di kediaman warga yang bermukim di dekat sungai. Banyak yang waswas untuk berkisah karena keluarga mereka bekerja di smelter atau di tambang bauksit.
Musisi didampingi jurnalis dan CSO melihat dari dekat jeti milik perusahaan bauksit di Sungai Kapuas Kalimantan Barat. TEMPO/Aseanty Fahlevi
Resti, ibu rumah tangga, mengatakan tanggul limbah pengolahan bauksit pernah jebol pada 2023. Sebelumnya, pada 2015, bendungan yang sama juga jebol saat hujan deras terus mengguyur Tayan.
Warga di Dusun Piasak tidak bisa menggunakan air sungai. Mereka terpaksa membeli air bersih yang penggunaannya bisa mencapai lima-sepuluh galon per hari. Harga satuannya Rp 4.000-6.000. “Mahal," kata Resti.
Apalagi, dia melanjutkan, masyarakat kian sulit mendapat ikan. Sejak masuknya tambang bauksit, pasir, atau pengolahan sawit, nelayan setempat tercekik. Dari yang biasa mendapat puluhan kilogram ikan per hari, kini mendapat satu kilogram ikan saja sulit.
Banyak warga terserang penyakit kulit dengan gejala gatal di seluruh tubuh. “Bentol-bentol. Kalau digaruk ada airnya,” kata Resti.
Warga Dusun Piasak dua kali menuntut perusahaan. Perseroan menanggapinya dengan memberi janji pemeriksaan kesehatan gratis dua kali setahun. Sepanjang tahun ini, janji itu baru terlaksana satu kali, yaitu pada Januari.
Fian, warga Tayan Hilir, mengatakan mereka tidak pernah tahu apakah air yang mereka konsumsi dan udara yang mereka hirup tercemar oleh aktivitas penambangan. “Ada musim-musim tertentu saat banyak kolam bekas pencucian mereka merembes atau jebol dan limbahnya sampai ke Sungai Kapuas,” kata Fian.
Dia menduga kondisi tersebut berdampak pada berkurangnya jumlah ikan. Beberapa jenis ikan yang dulu menjadi sumber pendapatan warga, seperti ikan Tengadak (Barbonymus schwanenfeldii), patin (Pangasianodon hypophthalmus), dan belida (Chitala borneensis), makin sulit ditemukan. Demikian juga udang galah (Macrobrachium rosenbergii) berukuran besar.
Mobil terus dipacu menuju Pontianak. Para personel band membawa kenangan tersendiri dari tur mereka. Lamat-lamat, terdengar Hutan Peradaban dari LAS!
Hutang dilelang, alih fungsi oleh perusahaan
Hutan dijual untuk sawit dan pertambangan
Seperti inikah hidup berperadaban?
Kau dan aku menuju akhir dunia
Kau dan aku menuju akhir dunia
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo