Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Mural Gegerboyo di Dinding Cemeti

Cemeti-Institute for Art and Society, Yogyakarta, menggelar pameran “Gapura Buwana” pada 9 April-7 Mei 2021. Lima perupa saling merespons karya mural masing-masing.

17 April 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pameran Gapura Buwana ,di ruang pamer Cemeti – Institute for Art and Society, Yogyakarta, 13 April 2021. TEMPO/Pito Agustin Rudiana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPASANG gapura “berdiri” meliuk ke depan dan belakang diterpa angin di ruang pamer Cemeti-Institute for Art and Society, Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa, 13 April lalu. Gapura yang dimaknai sebagai pembatas antar-ruang atau medium itu berada di kiri-kanan dinding. Ia dilukis pada dua helai kain memanjang yang transparan dan direkatkan di sisi atas. Tiap gapura dihiasi lukisan seperti relief candi dengan cat sablon. Ada torehan garis yang menyerupai rekahan dari pucuk gapura ke bawah. Ini seolah-olah menggambarkan usangnya usia sepasang gapura itu. Tak ketinggalan relief kepala raksasa pada bagian tengah atas, yang mempunyai sepasang mata bulat melotot, berhidung besar seperti jambu air yang gendut, dengan seringai mulut yang melebar. Dua taring menyembul dari sudut bibir, menambah kesan mistis dan angker.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari balik gerbang tirai, pengunjung bisa mencuri pandang suasana pameran bertajuk “Gapura Buwana” yang digelar lima perupa, yakni Vendy Methodos, Enka Komariah, Dian Suci Rahmawati, Ipeh Nur, dan Prihatmoko Moki, yang bergabung dalam Gegerboyo itu. Pameran tersebut dihelat di sana pada 9 April-7 Mei 2021. Dinding-dinding ruang pamer dipenuhi lukisan mural bercat hitam-putih dengan sebagian figur menyeramkan. Ada gambar tengkorak, kuburan, juga lelaku mistik. Adapun tiap ruangan disekat gerbang tirai dengan kepala raksasa berhidung jambu air di atasnya. Ada juga figur buaya yang menghiasi beberapa panel dinding. Warna monokromatik itu untuk mengunci agar kesan wingit atau angker menguat. “Kalau warnanya beda-beda, nanti tiap seniman punya warna kesukaan sendiri,” kata Prihatmoko Moki saat dihubungi Tempo, Rabu, 14 April lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gerbang dan Jawa menjadi tema besar mereka. Mural-mural itu menarasikan sejarah tentang perkembangan masyarakat dalam konteks budaya Jawa dari dulu hingga kini, baik dari perspektif desa maupun kota. Kisah dalam sejarah yang dibumbui mitos dan kritik tampak campur aduk di dalamnya. Seperti panel pertama dengan tulisan “Merapi njeblug”, “siang hitam”, dan “minggat”. Visualisasi kisah berlatar hitam menampilkan gunungan wayang yang menyimbolkan gunung dan hutan. Juga sosok manusia yang melangkahkan kaki sembari menenteng rumah-rumah yang diikatkan di bahunya. Ini menggambarkan suasana relokasi rumah yang terkena dampak erupsi Gunung Merapi.

Sepasang gapura dalam pameran bertajuk Gapura Buwana di ruang pamer Cemeti–Institute for Art and Society, Yogyakarta, 13 April 2021. Tempo/Pito Agustin Rudiana

Namun, di panel yang sama, ada gambar perahu yang dijubeli. Keberadaan perahu di tengah erupsi Merapi ini menarik. Terutama visual sosok berkain jarik dan mengenakan mahkota yang tengah menarik tangan seseorang berblangkon dan bercelana selutut. Namun pemakai blangkon itu berusaha untuk bergeming. Ini mengingatkan pada peristiwa juru kunci Gunung Merapi, Mbah Maridjan, abdi dalem Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, yang menolak perintah Raja untuk turun gunung. Di sela lukisan itu, ada visual naga dan ular berkepala manusia, yang memantik pengunjung untuk menebak apa maksud dan korelasinya.

Gambaran suasana hiruk-pikuk persoalan manusia di bumi kembali tergambar di dinding panel bertulisan “ontran-ontran”. Ada visual tokoh wayang Dasamuka, raksasa bermuka sepuluh. Wajah-wajahnya itu digambarkan membelah di sisi kiri dan kanan. Lima wajah di sisi kiri menggambarkan sosok-sosok yang punya pangkat bangsawan. Sedangkan lima lainnya di sisi kanan adalah wajah-wajah rakyat jelata. Sementara itu, kedua kaki raksasa tersebut menginjak kepala manusia yang bergelimpangan di bawahnya.

Di sela ontran-ontran itu, ada visual sosok berpeci dan berseragam dengan dua saku di dada dan dua saku besar di bagian baju sisi bawah. Dia tengah membuka map besar, mengingatkan pada suasana proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Sementara itu, di sampingnya ada foto perempuan berkemben dengan rambut panjang terurai berkibar ke kiri. Ini mengingatkan pada lukisan ikonik tentang penunggu Laut Selatan, Nyai Roro Kidul.

Visual lain menggambarkan bapak-ibu yang mengapit dua anaknya, laki-laki dan perempuan. Simbol padi dan kapas mengapit foto keluarga itu dengan tulisan “Keluarga Bencana”, program Orde Baru. Gambaran masa rezim Orba itu terkesan kental dalam dinding panel satu ini. Ada gambar sosok-sosok bertopi, berbaret, dengan baju seragam berkantong dua di dada, serta berkacamata hitam, yang mengingatkan pada visual foto legendaris para jenderal dalam peristiwa pasca-30 September 1965. Sementara itu, ada keterangan gambar bertulisan “Bapak Pembangunan Situs Keramat” dan “Bacem” di sisi atas. Di sebelahnya dilukiskan tengkorak yang berdiri memanjang dengan kedua kaki mengapit sejumlah orang yang terduduk dan saling menutup wajah dengan tangan. “Merampas masa mudanya” dan “setan-setan wit gedang” menjadi keterangan gambar yang cukup mengusik untuk menduga-duga itu.

Lima seniman Gegerboyo membutuhkan waktu tiga pekan untuk merampungkan mural masing-masing. Mereka melukis dengan spontan, tanpa lebih dulu membuat sketsa. Penentuan tema sebatas obrolan bersama sebelum mereka mulai melukis. “Jadi ngobrol itu ibarat sketsanya. Itu kekhasan kami juga, nonsistem. Yang penting tema besarnya dipegang dulu,” ucap Prihatmoko Moki.

Visual tokoh wayang Dasamuka dalam pameran Gapura Buwana di ruang pamer Cemeti–Institute for Art and Society, Yogyakarta, 13 April 2021. Tempo/Pito Agustin Rudiana

Mereka membebaskan interpretasi atas tema secara detail. Tak ada ikatan bagi seniman Gegerboyo untuk punya pemaknaan yang sama. Mereka merealisasi hal itu dalam metode lukisan masing-masing. Lima seniman terjun bareng menghadapi tembok. Satu tembok bisa direspons bersama atau bergantian. Posisi mereka pun bebas. Ada yang melukis di sisi atas, bawah, samping kiri-kanan tembok. Bahkan lukisan yang selesai dibuat seorang seniman bisa langsung spontan direspons seniman lain dengan lukisan berbeda.

“Jadi Gegerboyo ini tempat kami bereksperimen. Melepaskan diri dari kebiasaan melukis secara personal,” kata Moki, yang bersama teman-temannya membentuk Gegerboyo pada 2017. Sejumlah proyek berkesenian, baik nasional maupun internasional, yang pernah mereka lakoni di antaranya Art Jakarta Virtual 2020, Goro-goro Gegerboyo dalam “Karya Normal Baru”, Biennale Jogja, dan proyek “International Mural By Mail” di Elisabeth Jones Art Center.

Kurator Manshur Zikri menikmati proses saling merespons antarseniman Gegerboyo. Misalnya saat Enka Komariah yang tengah menggambar patung Gadjah Mada tiba-tiba didatangi Vendy Methodos. Saat melihat gambar Enka, Vendy tertarik merespons dengan melukis gambar kepala di bawah lukisan Enka. “Respons antarseniman itu sangat cair. Tak ada rancangan sketsa,” ujar Manshur. Metode ini, menurut dia, serupa dengan disiplin pertunjukan seni teater rakyat. Acap kali dialog yang dibangun terlontar begitu saja, tanpa harus ditulis dan dihafal. Aksi pemain teater ditimpali spontan oleh penonton dan direspons balik oleh senimannya.

Tak mengherankan bila akhirnya lukisan para seniman Gegerboyo tak menarasikan satu kronologi yang runtut dalam satu panel. “Eksperimen mereka antinaratif, lanskapnya menolak alur kronologis. Itu merangsang pemaknaan liar di kepala penikmat karya,” tutur Manshur. Meskipun demikian, lima seniman Gegerboyo itu punya kekhasan masing-masing dalam memandang Jawa yang mempengaruhi karakter dan pola garis lukisan mereka. Prihatmoko Moki suka mengkritik kekuasaan kesultanan. Enka Komariah mendalami perubahan situs lokal, semisal bangunan bersejarah berupa kuburan yang beralih fungsi menjadi mal. Ipeh Nur berfokus pada narasi mitos lokal. Dian Suci Rahmawati lebih spesifik berbicara tentang perempuan. Sedangkan Vendy Methodos adalah perupa grafiti yang mengeksplorasi obyek-obyek keseharian.

PITO AGUSTIN RUDIANA (YOGYAKARTA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus