Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEORANG mucikari bernama Franz Biberkopf keluar dari penjara dan bertekad hidup baik. Saat itu, 1920-an di Berlin, fasisme sedang murub di masyarakat. Dalam situasi semacam itu, upaya Franz untuk hidup baik ternyata sia-sia karena dirinya tetap terjerat dalam masyarakat tempat ia hidup. Dunia-dalam Franz dibentuk oleh dan menjadi gema dari dunia-luarnya. Jadilah ia sosok ganda penuh paradoks.
Di satu sisi, ia mendambakan lepas dari dunia sistem dalam masyarakatnya dan tinggal di dunia bebas kanak-kanak, seperti dalam kehidupannya bersama Mieze, pelacur yang mencintainya tanpa batas. Tapi, di sisi lain, ia juga menyerap sistem yang hendak ditolaknya sehingga ia tetap terikat dengan Reinhold, gangster yang pernah mencelakainya. Franz mengandung Reinhold dalam dirinya.
Franz Biberkopf adalah tokoh utama Berlin Alexanderplatz (1980), film televisi berdurasi 15 jam karya Rainer Werner Fassbinder (1945-1982) berdasar novel Alfred Doeblin dengan judul yang sama. Film itu bersama beberapa film karya Fassbinder lainnya diputar di Teater Utan Kayu, pertengahan bulan silam, atas kerja sama dengan Goethe Institute. Sutradara, aktor, dan penulis naskah yang mengawali karirnya di teater ini merupakan magma bagi gerakan ”Sinema Jerman Baru”. Produktivitasnya nyaris neurotik (dalam 13 tahun karirnya, ia membuat 44 film). Tema utama film-filmnya pernah disebut sebagai ”seismograf situasi sosial Jerman”. Orientasinya dalam sinema lebih pada ”penonton” ketimbang ”pengarang” sehingga ia meninggalkan avantgardisme Katzelmacher (1969) dan beralih memakai melodrama Hollywood. Sikapnya yang terus terang sebagai homoseks dan kematiannya yang mendadak karena overdosis mengukuhkan pada diri Fassbinder suatu mystique tersendiri.
Fassbinder mengaku sangat dipengaruhi novel Berlin Alexanderplatz. Menurut dia, watak ganda Franz Biberkopf, yang memimpikan cinta dan kebebasan tapi sekaligus mementahkan mimpi itu karena dalam prakteknya ia tetap terjerat dan dibentuk oleh masyarakat yang sakit, akan tetap terjadi. Filmnya, Ketakutan Memangsa Jiwa, adalah potret yang kuat tentang bagaimana hubungan cinta antara Emmi, perempuan tua Jerman, dan Ali, buruh Maroko, harus kandas karena berada dalam wacana masyarakat yang menekan dan mengucilkannya, seperti kandasnya cinta Franz dan Mieze.
Tatanan yang menindas, sebagai realitas eksternal, sudah begitu merasuk ke dalam realitas internal individu sehingga upaya emansipasi dan pemberontakan sang individu tersebut justru hanya menjadi gema bagi apa yang hendak dilawannya. Tokoh Effi Briest yang tertindas tapi menerima penindasan patriarki sebagai hal yang wajar dalam film Effi Briest, ataupun tokoh Maria Braun yang aktif dan mau melakukan apa saja asal tercapai apa yang dia inginkan dalam Perkawinan Maria Braun, pada akhirnya sama-sama hancur karena mereka masih dihantui masokisme, menikmati posisi didominasi.
Karena potret perempuan yang masokistis dalam film-filmnya, Fassbinder kerap dituduh misoginis (merendahkan perempuan). Padahal, dengan penggambaran semacam itu, ia sesungguhnya hendak menyingkap patologi yang masih melekat dan selama ini tersembunyi dalam realitas internal pelaku emansipasi, sebagaimana Freud melakukannya dengan psikoanalisis. Kamera di sini, meminjam Walter Benjamin, ”memperkenalkan kita kepada pemandangan ketidaksadaran sebagaimana psikoanalisis kepada impuls ketidaksadaran”.
Untuk menyingkap patologi ini, Fassbinder justru mengadopsi melodrama Hollywood, terutama karya Douglas Sirk, sutradara asal Jerman yang berkarir di Hollywood. Melodrama yang cenderung mengeksploitasi perasaan adalah sarana yang tepat untuk penjelajahan dunia-dalam sang tokoh dalam cerita yang berada dalam proses menjadi korban atau the other tanpa menyadarinya. Cerita dilihat ”dari dalam”, dari pandangan protagonis, bahkan ketika ia tidak hadir. Efeknya tentu saja depresif bagi penonton karena sudut pandang ”dari luar” yang dimiliki penonton jadi tidak berlaku.
Beda Fassbinder dengan Hollywood: melodrama Hollywood membiarkan penonton larut dalam emosi, sedangkan Fassbinder justru merefleksikan emosi itu. Suatu refleksi yang mirip dengan efek penjarakan Brechtian, yang membikin penonton kritis dan mampu menyingkap patologi internalnya sendiri. Dengan begitu, melodrama Fassbinder tak semata-mata mengharu biru penonton, tapi juga mengajak mereka mengukuhkan kembali ikatan pada cinta dan kebebasan dunia kanak-kanak agar tidak terkontaminasi dunia dewasa yang korup.
Ahmad Sahal
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo