Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Menakar Ulang Makna Sukses, Belajar dari Masyarakat Adat

Berdasarkan penelitian antropologis yang dilakukan Rara Sekar, pemuda di Desa Adat Ngadas, punya sudut pandang berbeda soal makna sukses

8 Desember 2019 | 17.37 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Peneliti Rara Sekar dan Ben Laksana mempresentasikan penelitian mereka di acara Panggung Indonesia 2045: Meet Young Scientist yang digelar di Tempo Media Week

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Masyarakat kerap berpikir makna sukses adalah soal pencapaian individu. Selama ini, kebanyakan orang punya narasi tunggal soal mana sukses, dan menganggap hal itu sudah tuntas, tak perlu lagi diperdebatkan. Apa saja yang bisa dilontar kala kata ditanya, apa makna sukses? Berpendidikan tinggi, bekerja di perusahaan bonafide, bergaji besar. Atau menjadi pegawai negeri, berseragam, dan punya jaminan hidup nyaman.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lain hal ketika menanyakan hal tersebut pada sekelompok pemuda di Ngadas, yang terletak di Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Berdasarkan penelitian antropologis yang dilakukan Rara Sekar, pemuda di Desa Adat Ngadas, punya sudut pandang berbeda soal makna sukses.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nilai-nilai adat berpengaruh kuat terhadap sudut pandang masyarakatnya. Di Ngadas, para pemudanya sama sekali tak punya makna sukses adalah pencapaian seseorang, secara individual. Sukses, berdasarkan hasil penelitian Rara di Ngadas bersifat sosial, kolektif. Sukses itu dicapai bersama, dengan modal yang juga dikumpulkan secara kolektif. “Kesuksesan ekonomi bukan melulu untuk dirinya sediri. Kesuksesan itu untuk sesuatu yang kolektif, guyub rukun,” tutur Rara.

Hasil riset yang menarik ini disampaikan Rara dalam Seminar Indonesia 2045: Meet Young Scientists, yang digelar Tempo Media Week 2019 di Perpustakaan Nasional, Sabtu, 7 Desember 2019.

Anak muda dari Ngadas menjadi studi kasus yang menarik sebab mereka memilih untuk tinggal di desa, menjadi petani kentang dan berhenti sekolah setelah SMP. Pilihan hidup seperti ini tidak sejalan dengan narasi besar pembangunan di Indonesia yang mendefinisikan kesuksesan dengan urbanisasi, hidup di kota besar dan kerja kantoran dengan prestasi pendidikan yang tinggi.

Para pemuda ini kerap bekerja sama, mengumpulkan modal sosial untuk menjaga kebersamaan dan kerukunan. Hal tersebut lanjut Rara, dilandasi dengan kuatnya relasi timbal-balik, adanya rasa tanggung jawab komunal serta kuatnya siklus gift-giving.

Lebih lanjut lagi, bagi anak muda Ngadas ini sukses bukan lagi soal akumulasi modal ekonomi. Jauh dari itu, sukses melibatkan rasa kepemilikan atas ruang, kebersamaan, dan berelasi secara timbal-balik dengan menjaga relasi sosial yang bermakna.

Temuan riset ini menurut Rara menghadirkan banyak pertanyaan yang cukup kontemplatif. Soal sejauh mana kebijakan pendidikan dan pembangunan Indonesia sudah memahami keragaman pemaknaan dan kebutuhan akan kesuksesan yang kontekstual?

Fakta yang ditemukan dari salah satu Desa Adat saja, sesungguhnya sudah memberikan gambaran baru, betapa beragamnya sudut pandang serta nilai yang hadir di tengah masyarakat. Sedang selama ini, sebagian besar masyarakat kadung mengaminkan narasi tunggal. Temuan ini menghadirkan pertanyaan soal apa dampak kebijakan dan narasi-narasi besar soal kepemudaan selama ini yang justru mematikan keberagaman atas nama pembangunan?

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus