Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HARGA gula yang melambung di pasar internasional, dan produksi yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan konsumsi gula, semestinya membuat pemerintah bergegas menata industri gula dalam negeri. Mencapai swasembada dan memerangi kartel gula merupakan langkah yang harus ditempuh.
Selama dua puluh tahun ini kita terlena pada impor gula. Lebih dari 80 persen konsumsi gula mentah dan gula rafinasi—bahan baku industri makanan dan minuman—dicukupi dari luar. Begitu pasokan seret dan harga di pasar dunia melejit, seperti terjadi belakangan ini, tak terelakkan harga gula di dalam negeri pun ikut melembak. Di berbagai daerah, harga gula yang semula dipatok pemerintah di kisaran Rp 7.500 melejit hingga Rp 12 ribu per kilogram.
Tak bisa ditampik, ketergantungan pada impor itulah biang keroknya. Selama ini kita mengandalkan impor dari India dan Thailand. India, yang dikenal sebagai salah satu pemasok utama gula di dunia, ternyata mendadak beralih menjadi importir lantaran produksinya remuk dihantam banjir. Brasil begitu pula. Negeri Samba ini banyak mengalihkan produksi tebunya untuk pembuatan bahan bakar bioetanol.
Memang di banyak negeri sedang marak gerakan berpaling pada energi terbarukan setelah harga minyak bumi terus melambung. Bahan bakar yang bersumber dari kelapa sawit, jarak, jagung, dan tebu pun menjadi alternatif. Akibatnya, harga bahan pangan itu melonjak tajam. Sebagian karena konsumsi meningkat, sebagian lagi lantaran dipakai sebagai energi alternatif.
Dengan fakta ini, Indonesia semestinya bergerak cepat, keluar dari ketergantungan impor. Sektor perkebunan tebu dan industri gula harus dibenahi ulang. Lahan tebu diperluas, benih dan pola tanam diatur kembali. Petani diberi insentif agar mereka kembali mau menanam tebu. Selama ini, akibat tekanan harga barang impor, petani ramai-ramai meninggalkan perkebunan tebu.
Restrukturisasi pabrik-pabrik gula perlu pula ditempuh. Sudah sejak delapan tahun lalu Consultative Group on Indonesia meminta Indonesia merestrukturisasi pabrik gula di Jawa, tapi pemerintah tak menggubrisnya. Pemerintah justru terkesan membiarkan 44 pabrik gula di Indonesia berjuang sendirian dengan pola manajemen lama. Akibatnya, hampir separuh dari pabrik itu tak sanggup bertahan menghadapi membanjirnya gula impor. Era pabrik-pabrik gula sebagai eksportir terbesar kedua di dunia di zaman penjajahan Belanda pun usai sudah.
Di pasar, tak ada cara selain campur tangan Departemen Perdagangan mengendalikan harga. Stok gula 500 ribu ton sampai akhir tahun sebetulnya masih cukup. Tapi, yang terjadi, harga terus merangkak naik. Permainan segelintir pedagang kakap yang menguasai sebagian besar stok gula ini jelas harus dihentikan. Mereka ingin meraup untung besar dengan tak buru-buru melepas gulanya, karena berharap harga di pasar dunia makin naik. Pemerintah wajib memperketat pengawasan dan menjatuhkan sanksi kepada para penimbun gula.
Selain beras, gula jelas merupakan komoditas strategis. Karena itu, pemerintah perlu menyusun strategi jangka panjang menghadapi kartel raja-raja gula yang mengendalikan harga itu. Cara paling jitu adalah mendongkrak produksi gula dalam negeri dengan mengaktifkan kembali pabrik-pabrik gula yang tak efisien dan bahkan mangkrak itu. Dengan banyak pemain, berpihak pada petani, dan menerapkan kebijakan swasembada yang tepat, niscaya industri gula nasional akan kembali menggeliat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo