Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Menegakkan harga diri lewat teater

Inilah grup teater aborigin, yang mencoba tampil untuk menjadi bagian yang wajar dari masyarakat australia, untuk merebut harga diri mereka kembali tanpa kekerasan.

24 Juli 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKU menulis Bran Nue Dae untuk mengurangi rasa sakit,'' kata Jimmy Chi, seorang Aborigin berdarah Cina-Melayu. Bran Nue Dae, atau hari depan yang baru, mungkin bisa disebut sebagai sebuah drama pembebasan. Pembebasan dari rasa sakit, dari prasangka, dari ketakutan, dari sejarah yang gelap. Persisnya, sejarah kaum Aborigin, kaum yang di tanah airnya sendiri, Australia, terdesak ke pinggir oleh peradaban Eropa yang masuk lewat serombongan orang terhukum pada abad ke-18. Dan pembebasan itu berjalan dengan cara damai karena disuguhkan dalam sebuah drama musikal yang kocak. Naskah itu bermula di tahun 1968, ketika Jimmy, penulis naskah ini, gagal pada tahun kedua kuliah tekniknya di Universitas Australia Barat, dan mengalami depresi berat. Dia merasakan kekecewaan, terutama dari masyarakat Aborigin pada umumnya yang menggantungkan harapan padanya. Pukulan batin ini begitu mencekamnya sehingga dia didiagnosa sebagai penderita skizofrenia. Dia lalu dirawat dalam sebuah rumah sakit jiwa. Di situlah ide menulis drama tentang cara hidup orang Aborigin mulai muncul. Sekeluarnya dari rumah sakit, Jimmy membenamkan hidupnya dalam kegiatan musik di Broome, kota kecil di Australia barat laut, tempat berbagai suku budaya berbaur. Dan di situlah Bran Nue Dae menemukan bentuknya: sebuah drama musikal, karena Jimmy pada dasarnya adalah seorang musisi dan penulis lagu, di samping seorang pe- ngarang. Di pentas Victorian Art Centre, Melbourne, 127 Juli, yang terjadi adalah sebuah pengembaraan tokoh Willie Johnson yang terusir dari sekolah misi Katolik di Broome karena kenakalan remaja. Willie yang terlunta-lunta itu, yang kehilangan pegangan dan kebingungan ketika mengembara, berjumpa dengan seorang laki-laki Aborigin setengah umur yang sehari-hari dipanggil dengan nama Paman Tadpole (artinya kecebong). Cerita punya cerita, ternyata nama si paman yang sebenarnya Stephen Johnson, dan masih kerabat Willie. Dengan Paman Tadpole, Willie mulai mengadakan perjalanan pulang ke Broome. Perjalanan ini sarat dengan pengalaman yang sempat membangun karakter Willie. Dia bertemu lagi dengan Rosie, cinta monyetnya semasa belasan tahun, dalam perjalanan ini. Di luar pentas, Willie bisa ditafsirkan menyimbolkan nasib Aborigin. Setelah kaum ini digilas ratusan tahun, barulah belakangan muncul para pembela yang berani, baik di kalangan sendiri maupun kalangan bangsa putih pendatang yang menjadi tuan itu. Para pembela itulah yang mencoba membangkitkan harga diri Aborigin, lalu bersama-sama mencari cara hidup berdampingan yang damai. Berhasilkah itu? Yang terjadi dengan Willie, kira- kira, begitulah. Dalam kehidupan yang sebenarnya, itu soal lain. Tapi, konon, drama ini, yang sudah dipentaskan di sejumlah kota di Australia, menyentuh kaum Aborigin. Banyak di antara mereka yang bilang, menonton Bran Nue Dae seperti menonton hidup mereka sendiri. Yang jelas, pertunjukan Bran Nue Dae rasanya memang memikat. Pada pembukaan, di latar belakang pentas, pada dinding yang serbaguna, diproyeksikan layar film, yang persis seperti layar film khas kota-kota kecil Australia. Sementara iklan muncul di layar, di latar depan, para pemuda Aborigin menonton sambil saling mendorong dan mengejek. Waktu cerita pada layar mulai, mereka menghilang, digantikan oleh para pemain. Iringan musik pada pemindahan adegan seperti ini tepat dan membawa penonton pelan-pelan ke dalam cerita. Lagu-lagu yang dinyanyikan, mengiringi gerak tari, berselang-seling dari lucu menjadi sedih, kadang-kadang sekaligus kedua-duanya. Jalan cerita, adegan-adegan, dan bahasanya sangat realistis. Sering tersembur sumpah serapah, dan penonton tertawa. Tak salah kesan para Aborigin yang sudah disebutkan itu. Sesungguhnya, Bran Nue Dae memang mencerminkan realita masyarakat Aborigin tanpa menyembunyikan apa pun. Misalnya, kini masyarakat Aborigin adalah masyarakat campuran: Aborigin, Indonesia, Jepang, Melayu, Cina, Filipina, Karibia, dan kulit putih. Ini terutama belangsung di Broome, kota kecil di Australia barat laut. Realita berantakannya moral pada masyarakat campuran ini pun tidak dielakkan. Pada akhir sebuah tari yang menggambarkan hubungan badan, umpamanya, dari pentas dilemparkan belasan kondom kepada penonton. Inilah cara Jimmy Chi melakukan katarsis pada dirinya sendiri. ''Willie pada akhirnya menyadari bahwa dirinya adalah daging, roh, dan emosi, dan dalam keseimbangan itu seseorang akan menyadari sesuatu yang surgawi ...,'' kata Jimmy suatu ketika. Dan oleh sebagian orang teater, drama ini pun dianggap pencuci diri Aborigin setidaknya, begitulah harapannya. Inilah drama yang mencoba memberi sentuhan agar masyarakat Aborigin bangkit harga dirinya, dengan cara kebudayaan, maksudnya tanpa kekerasan. Singkat kata, Bran Nue Dae adalah salah satu cara Aborigin menemukan dirinya sebagai apa adanya. Dan dengan itu, mereka (diharapkan) bangkit untuk duduk semeja dengan kulit putih, dengan siapa saja. Di sisi lain, drama ini pun menjadi tempat warga putih Australia ''menebus dosa''-nya. Mereka menonton, tertawa, dan (diharapkan) memahami pemilik asli Benua Kanguru ini dan membiarkannya berkembang tanpa diskriminasi dalam bentuk apa pun. Setidaknya, rombongan ini menjadi kebanggaan Aborigin, dan disambut penonton di mana saja di Australia, termasuk mereka yang putih. Dewi Anggraeni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus