Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perahu merah kusam bergaris hijau itu pernah tenggelam karena bocor di Situ Ciburuy, Bandung. Perahu milik nelayan bernama Pak Ujang yang menjadi saksi meredupnya kehidupan para nelayan Ciburuy itu dihadirkan perupa Aliansyah Chaniago dalam pergelaran South East Asia Forum, Art Stage Singapore (21-24 Januari 2016), di Marina Bay Sands Expo and Convention, Singapura.
Alin—panggilan Aliansyah—menampilkan video instalasi kehidupan Pak Ujang. Ia juga membawa satu ton sampah tripleks dan ditumpuk menggunung di samping perahu itu. Tripleks tersebut adalah bagian limbah yang berada di sekitar Ciburuy. Alin ingin menghadirkan sepotong cerita mengenai pencemaran lingkungan. "Tinggal tiga orang nelayan saja, situ akan ditutup untuk pencarian ikan, hanya jadi tempat wisata," ujarnya. Bukan hanya karya Alin, di bagian khusus South East Asia ini, ada juga karya Aditya Novali, yang menyajikan karya instalasi— dari berbagai ukuran materi, seperti batu bata seukuran penghapus karet anak-anak hingga yang lebih besar daripada ukuran bata normal.
Forum South East Asia ini memang menjadi salah satu fokus perhelatan Art Stage Singapore, yang telah berlangsung enam kali. Di bagian ini terdapat 19 seniman Asia Tenggara yang berkiprah dalam tema "Seismograph: Sensing the City, Art in the Urban Age", yang memfokuskan dan melihat isu global yang lebih dalam dan mempengaruhi bagian dan hidup suatu wilayah.
Di luar forum ini, banyak seniman Indonesia yang ikut ambil bagian dalam perhelatan besar Art Stage, seperti Heri Dono, Entang Wiharso, Eko Nugroho, Nyoman Masriadi, S. Teddy, Pupuk D.P., Yudhi Sulistyo, Indiguerillas, Antoe Budi, dan Made Wiguna Valasara. Mereka bersaing dengan ratusan seniman dan ribuan karya dari 173 galeri dari 34 negara yang bertebaran di hall seluas tiga lapangan sepak bola itu.
DALAM acara preview, karya artis Jepang tersohor, Yayoi Kusama, yang diboyong Galeri Sakurado Fine Arts, laku US$ 1,2 juta. Ini menjadi awal yang menjanjikan bagi Art Stage 2016. Namun proses pembelian di galeri-galeri berlanjut sangat pelan. Bukan hanya di galeri Indonesia, tapi juga galeri internasional besar, seperti Pearl Lampun. "Mungkin nanti, beberapa hari lagi," kata Nick Wood dari Pearl Lampun. Ternyata dugaannya tidak meleset. Dalam penutupan Art Stage, ia bisa tersenyum lebar karena ternyata beberapa karya laku juga, termasuk karya perupa Indonesia, Gatot Pujiarto.
Menurut laporan Art Stage, beberapa galeri yang cukup berhasil adalah Sundaram Tagore, yang mampu menjual karya artis Korea Selatan, Chun Kwan Young, seharga US$ 175 ribu. Galeri Number 1 Bangkok mencatat penjualan karya seniman Thai, Kittisak Thapkoa, Sin$ 60 ribu. Para kolektor Singapura juga tersentak karena karya almarhum seniman Singapura, Chua Ek Kay, yang dipamerkan oleh STPI Gallery, diborong kolektor.
Karya-karya perupa Bandung, Syagini Ratnawulan, yang dibawa ROH Projects, juga cepat terjual habis. Harganya US$ 30-40 ribu. "Dibeli kolektor Singapura," kata Jun Tirtaji dari ROH Projects. Esti Nurjadin, pemilik D'Gallerie Jakarta, yang membawa karya foto-foto Kinez Riza, mengatakan puas terhadap penjualan yang lancar. Tapi Biantoro Santoso, pemilik Nadi Galeri, mengatakan, dibanding tahun lalu, angka penjualannya menurun. "Dari galeri saya, lima karya seniman Indonesia terjual, tapi ukurannya kecil-kecil dibanding tahun lalu. Secara nominal, saya tidak bisa ngomong." Adapun Galeri/Museum Art1 membawa dua karya perupa Yudi Sulistyo dari Yogyakarta, tapi hanya satu terjual. Pihak galeri mengatakan tujuan utama bukan penjualan, melainkan memperkenalkan Sulistyo sebagai pemeran pameran tunggal kelak.
Edwin Rahardjo, Ketua Asosiasi Galeri Senirupa Indonesia, mengatakan karya para seniman Indonesia dicari kolektor, tapi mereka masih bekerja keras menempatkan para seniman Indonesia di pasar internasional. Kisaran harga karya para seniman, kata dia, saat ini berada di tengah-tengah, antara US$ 10 ribu dan 100 ribu. "Nah, yang tengah-tengah ini susah, mau ke mana nantinya. Kolektor jadi ragu-ragu," ujar Edwin. Edwin's Gallery mampu menjual sembilan karya, antara lain karya Anton Subiyanto, Aditya Novali, dan Kazuki Takamatzu. "Di tempat saya, yang laku lebih dulu karya seniman Jepang, kemudian melecut pembelian karya seniman Indonesia."
Karya yang menarik banyak perhatian adalah karya Mujahidin Nurrachman, yang dibawa Galeri Lawangwangi Bandung. Karya itu bertema kekerasan dan pluralisme. Ia menghadirkan instalasi stoples berisi foto-foto dari zaman Perang Dunia II di Eropa, yang diterangi lampu di dalamnya dan kelihatan seperti susunan lampu tempel menghadirkan sebuah "sosok" menggantung, seperti momok bermasker.
Ia menghadirkan papercut berpola arabesque yang sarat dengan simbolisasi Chamber of God, gambar bilik musala bergaya Timur Tengah, tapi sekaligus menyajikan suasana bilik pengakuan dosa di gereja Katolik. Pola arabesque-nya menampilkan bentuk serupa dengan senapan AK-47 dan bintang Daud. Hampir semua karya papercut laku masing-masing Sin$ 16 ribu.
Dian Yuliastuti dan Carla Bianpoen (Singapura)
Kebaya Raksasa Ibu Dubes
Patung kebaya yang terbuat dari aluminium dan dihiasi bros kupu-kupu besar itu terpajang di luar Fullerton Bay Hotel, Singapura. Karya berdimensi 250 x 168 x 100 sentimeter itu satu dari 13 patung yang dipamerkan dalam proyek bertajuk "Envision: Sculptures at the Garden City", yang digelar hingga 15 April 2016. Kebaya raksasa berjudul Armor for Change adalah karya Sri Astari Rasjid.
Bukan pertama kali Astari, yang baru saja dilantik sebagai Duta Besar Indonesia untuk Bulgaria, menampilkan karya kebaya tiga dimensi. Pada 1998, untuk memprotes pemerkosaan terhadap perempuan Tionghoa, ia menampilkan karya kebaya berjudul Prettified Cage. Pada 2002, ia membuat karya kebaya lagi. Kali ini semacam kebaya Kartini dengan dekorasi yang serupa dengan potongan tubuh (Abandoning Virility). Lalu karya instalasi lima kebaya berjudul Armors for the Soul dipamerkan di galeri museum Art-1. Astari tiada henti mendalami budaya Jawa dengan segala peraturan diskriminatif terhadap perempuan. Dalam karya-karyanya, ia berupaya "mendamaikan" berbagai prinsip diskriminatif itu dengan pemahaman masa kini.
Selain "Envision: Sculptures at the Garden City", pameran lain yang menarik bertajuk "Time of Others" di Singapore Art Museum, yang digelar sejak 21 November 2015 hingga 28 Februari 2016. Tengoklah karya Tozer Pak (Pak Sheung Chuen), seniman Malaysia. "Gunakan flash dari ponsel atau kamera Anda," ujar seorang perempuan penjaga pameran, karena ruang diletakkannya karya Tozer Pak gelap sepenuhnya. Tanpa bantuan lampu, pengunjung tak akan dapat melihat karyanya.
Begitu lampu flash kamera menyala sekejap, terlihat samar-samar puluhan potret berbingkai memenuhi empat sisi dinding. Harus berkali-kali dan makan waktu untuk melihat karya itu dengan jelas. Obyeknya beragam, dari rel, ruang keluarga, orang yang sedang berdiri, sudut sebuah toko, hingga rumah di ujung jalan. Tozer Pak memberi judul A Travel without Visual Experience: Malaysia. Gambar-gambar itu bagai penglihatan orang yang tersesat. Saat mengambil obyek dengan kameranya, Tozer Pak menutup mata dan hanya mengandalkan intuisi atau perasaannya.
Karya lain adalah karya Saleh Husein: Arabian Party. Di salah satu ruang di lantai 1, tak kurang 100 lukisan berukuran kecil terpajang rapi di dinding hitam. Banyak di antara lukisan itu menampilkan wajah Abdurrahman Baswedan, salah satu tokoh pergerakan di era pemerintahan Sukarno yang juga kakek Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan. Saleh juga memboyong beberapa arsip penerbitan dan disimpan dalam meja berlapis kaca.
Saleh ingin menampilkan politik peranakan Arab pada 1930-an. Abdurrahman Baswedan saat itu mengajak warga Arab menganut asas kewarganegaraan: di mana saya lahir, di situlah tanah airku. Ia memelopori para pemuda keturunan Arab untuk mendirikan Partai Arab Indonesia, yang mendukung perjuangan kemerdekaan. Karya ini pernah dihadirkan Saleh di Jakarta Biennale pada 2013. "Saya dibantu komunitas kampung Arab Surabaya," ujarnya di video yang diunggah di blog Saleh Husein.
Karya lain adalah "jahitan" kabel di dinding ciptaan Jonathan Jones. Kabel-kabel ini laksana benang di kain yang dijahit rapi. Di akhir "jahitan", tiap kabel tergantung lampu yang bersinar. Seniman Australia ini terinspirasi oleh praktek menjahit ibunya dan aktivitas komunal dalam membuat jaring Aborigin. Lampu, menurut dia, merefleksikan api unggun para pendatang yang memantul di air.
Carla Bianpoen dan Dian Yuliastuti (Singapura)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo