Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bibiana Lee dan Indah Arsyad mempunyai akar identitas berbeda. Bibiana Lee lahir dan tumbuh dalam nilai budaya Cina, sedangkan Indah Arsyad lahir dari orang tua dengan tradisi Jawa. Namun kedua seniman itu berada di arus gagasan yang sama: mengeksplorasi wacana kritis, juga ide tentang identitas yang kabur dan makin kompleks dengan berbagai persoalan, bahkan yang bersifat politis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wacana itu mereka sajikan dalam pameran bertajuk "id: Sengkarut Identitas" di Gedung B, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, 19 Mei-16 Juni 2019. Persoalan identitas ini mengemuka dalam beberapa tahun terakhir dan menimbulkan dampak yang serius dari segi ekonomi dan sosial-politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam pameran yang dikurasi oleh Asmudjo Jono Irianto itu, kedua seniman memamerkan karya dengan medium berbeda. Bibiana Lee hadir dengan keramik, sementara Indah dengan instalasi akrilik yang dilukis atau dicetak dengan beragam lampu LED. Berada dalam narasi senada, karya mereka saling melengkapi.
Di ruang pertama, karya keduanya dipajang berdampingan. Dua gunungan transparan dengan sinaran lampu LED karya Indah disandingkan dengan aneka barang pecah-belah, seperti piring, cangkir, dan teko porselen Cina berwarna-warni kreasi Bibiana. Sementara itu, di ruang-ruang lain dipasang karya masing-masing.
Pengunjung dapat melihat piring dan cangkir dalam warna merah cerah, merah muda, dan kuning dengan beragam tulisan yang diletakkan di dalam kotak kaca. Porselen sudah identik dengan identitas Cina, barang yang juga mencerminkan keringkihan. Bibiana mengangkat identitas etnis yang melatarbelakanginya, yakni perempuan keturunan. Dua masalah yang mengemuka dalam perkara identitas adalah keperempuanannya dan menjadi warga minoritas.
Ia memamerkan lima seri karya yang sarat politik, identitas, dan politik identitas menyangkut para warga keturunan Cina. Ada seri WNI Keturunan yang dituangkan dalam cup, saucer, dan piring kecil. Kemudian seri Sejarah diwujudkan dalam empat variasi piring berjudul Since 1740, Orde Baru, May 1998, dan Indonesian Chinese.
Adapun seri Masa Tenang terdiri atas tiga variasi piring bermotif bunga dengan judul Festivals, Pesta Demokrasi, dan Post 1998. Terakhir adalah seri Politik Identitas, yang terdiri atas satu piring dan tiga mangkok. Seri ini diwujudkan dalam karya berjudul Pilgub DKI 2017, Walisongo, A Nation Divided, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Dalam tiga piring di seri Sejarah, terdapat tulisan tentang ketakutan Orde Baru terhadap warga keturunan Cina sehingga "membentuk atau memaksa" identitas mereka "menjadi Indonesia". Salah satunya dengan mengubah nama Cina menjadi Indonesia. Tulisan yang dibikin melingkar tanpa jeda itu berbunyi: "Sejak peristiwa G30S xenophobia orang Cina dituduh mempunyai loyalitas ganda dan dilarang berpolitik sehingga menjadi pebisnis."
Pada karya berjudul Pilgub DKI 2017 dalam seri Politik Identitas, pengunjung dapat melihat sebuah piring dengan tulisan dua nama calon gubernur yang bertarung dalam siluet berbentuk naga yang saling berhadapan. Di sekeliling naga ada tulisan "toleransi", "anaRAB", dan "moslem contendem". Seperti diketahui, pemilihan Gubernur DKI 2017 diikuti oleh pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat. Pemenangnya adalah Anies-Sandiaga.
Sementara itu, Indah, dengan kemampuan fotografi, memotret beberapa model dengan beragam latar belakang dan identitas, lalu hasilnya dicetak pada akrilik transparan berbentuk gunungan. Ia mengaplikasikan gunungan dengan urat pohon dan beragam hewan, sebuah mitologi simbol "sangkan paraning dumadi"(asal-muasal) sebagai perlambang akar tradisi Jawa yang membentuk identitas. Foto dan lukisan yang dicetak di gunungan itu disinari lampu sehingga menghasilkan bayangan dan figur yang terpantul pada sebuah bidang dinding.
Bagi Indah, persoalan identitas bukan hal sederhana. Ia ingin memperlihatkan identitas seseorang yang kian kabur dan tak jelas dengan berbagai persinggungan dalam hidupnya. Hal itu dialami oleh sang seniman sendiri. Dia terlahir sebagai seorang Jawa, tapi Indah mengaku tidak terlalu paham budaya Jawa. Lingkungan dan beragam faktor membuat identitasnya berubah. "Apalagi anak saya, bersekolah di sekolah internasional sehingga makin berjarak," ujar dia.
Di bagian ruang belakang, terdapat beberapa gunungan akrilik transparan dengan warna-warni lampu LED. Kian lama gunungan itu makin penuh dengan tulisan yang ditempelkan oleh pengunjung. Indah mengajak pengunjung berinteraksi dengan karyanya. Mereka bebas menulis apa pun sesuai dengan apa yang mereka kehendaki. "Makin lama makin tak jelas, berlapis identitas kita karena beragam faktor yang mempengaruhi."
Dalam pengantar kurasi, Asmudjo mengatakan karya mereka menunjukkan bahwa persoalan politik identitas dapat menjadi sengkarut dalam kehidupan sosial-politik dan ekonomi negeri ini. Identitas menjadi persoalan laten dalam masyarakat yang multikultur. Hal yang mengkhawatirkan adalah keragaman identitas dimanfaatkan dan dijadikan alat dalam politik praktis. DIAN YULIASTUTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo