TAUHID Isma'il Raji Al-Faruqi Pustaka, 1988, 278 halaman. ADA tiga orang guru besar di Amerika LA yang menyebabkan "kiblat" ilmu pengetahuan Islam berpindah dari Universitas Al Azhar (Mesir) ke negeri Paman Sam: Fazlur Rahman dari Universitas Chicago, Seyyed Hossein Nasr dari Universitas Georgetown, dan Ismail Al Faruqi dari Universitas Temple. Setidaknya hal itu tersirat dari anjuran Menteri Agama Munawir Sjadzali. Kata dia, bila ingin belajar tentang Islam yang relevan dengan perkembangan zaman, pergilah ke Amerika. Setidaknya karya-karya tiga guru besar itu memang tersebar luas di dunia Islam, dan banyak memberikan inspirasi, terutama buku-buku Rahman. Masing-masing memiliki ketajaman dengan warna yang berbeda. Rahman -- yang dinilai lebih maju selangkah dalam hal pemikiran dalam banyak tulisannya yang berorientasi ke Quran menampilkan agama secara rasional. Sedangkan Nasr, yang sering menawarkan sufisme di dunia modern, meletakkan paham itu sebagai pusat sains dan teknologi. Bagi Nasr, sufisme adalah tantangan terhadap rasionalisme, materialisme, dan empirisme -- faktor-faktor yang biasanya dipakai mengukur kadar modernisme. Berbeda dengan Rahman dan Nasr, Al Faruqi -- tokoh yang empat tahun lalu syahid bersama istrinya di Philadelphia, AS -- tidak hanya seorang pemikir Islam. Ia juga seorang guru dalam arti klasik. Yakni tidak saja menurunkan kepintaran, tapi juga memberikan warna pada muridnya. Faruqi mengagumi Hasan Al Bana -- tokoh pendiri gerakan Ikhwanul Muslimun sebagai satu-satunya mufakkir (pemikir) yang memiliki pijaran terang dalam menjelaskan prinsip Islam agar tampak sebagai prinsip eksistensi modern dan tahan banting. Melalui lembaga tempat ia bekerja, ataupun organisasi ilmiah yang dikelolanya, Al Faruqi mencoba melanjutkan perjalanan Al Bana -- terutama dalam hal pendalaman ideologi. Baginya, kegagalan umat Islam selama ini karena terjadinya pendangkalan ideologi. Dan itu disebabkan karena tempat mereka berpijak bukan lagi pada Islam. Itulah soalnya bila buku-buku Faruqi selalu berorientasi pada pembinaan umat, yang kini sekitar 1 milyar -- berada di wilayah yang membentang dari Atlantik hingga Paslfik. Umat bukanlah sebuah negara dalam arti "sekelompok orang menempati sebuah wilayah dengan sebuah pemerintahan". Tapi ia adalah persaudaraan universal yang tidak mengenal perbedaan warna kulit ataupun identitas etnis. Semua manusia itu satu, ukuran kemuliaannya terletak pada taqwa tidaknya kepada Allah. Otoritas tertingginya terletak pada buku Ilahi, yang dipersatukan oleh kalimat La ilaha illa Allah," Tidak ada Tuhan selain Allah". Ungkapan sederhana yang mengandung makna paling agung dalam Islam itu, dalam perjalanan sejarahnya yang penuh perdebatan, lahirlah ilmu tauhid yang, antara lain, memperbincangkan wujud Tuhan dengan segala atribut-Nya. Kelahiran ilmu tauhid bermula dari reaksi kaum Mu'tazilah untuk mempertahankan transendensi Ilahi dari kecenderungan menyerupakan Tuhan dengan manusia. Bagi kelompok ini, atribut Tuhan hanya boleh ditafsirkan secara alegoris, bukan harfiah. Kekhawatiran itu berlanjut pada Asy'ari, seorang teolog besar di abad ke-10 M. Ia berhasil mensintesakan paham ortodoks yang belum terumuskan dengan paham Mu'tazilah -- yang rumusannya lebih bersifat moral ketimbang psikologis. Di antaranya adalah "sifat dua puluh" pada Allah, yang populer di kalangan mayoritas umat, termasuk di Indonesia. Tidak mengherankan bila di surau-surau di pelosok negeri ini, paham ini banyak dihafal dan didendangkan orang, tanpa memahami maknanya. Berbeda dengan Asy'ari -- yang padi hakikatnya berbicara tentang konsep tauhid yang melangit, yang terbatas hanya untuk dipelajari dan diyakini -- lewat buku Tauhid ini, Al Faruqi membumikan nilai tauhid. Dalam arti, menjadikannya sebagai prinsip setiap aktivitas manusia: ekonomi, tata sosial, tata dunia, ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Baginya, tauhid bagaikan perekat yang merekatkan setiap unsur peradaban, lalu mengintegrasikannya menjadi peradaban Islam. Ini suatu hal yang baru. Faruqi menganjurkan perlunya setiap unsur peradaban yang ada sekarang direkonstruksikan kembali, sehingga di dalamnya tertanam nilai-nilai tauhid. Langkah pertama untuk itu adalah dengan melakukan islamisasi ilmu pengetahuan, yang erat kaitannya denan pola pikir manusia. Dan sekaligus menhilangkan dualisme ilmu pengetahuan dalam dunia Islam: dunia dan agama. Pada diri seorang muslim -- yang diciptakan sebagai khalifah Allah dengan tugas merealisasikan kehendak Ilahi di muka bumi -- mutlak diperlukan ilmu pengetahuan yang mengandung nilai tauhid, sebagai kekuatan. Sebab, tauhid menuntut mereka tampil di panggung sejarah, untuk berbuat dan berbahagia. Seperti halnya kisah Hay bin Yaqdzan dalam karya Ibnu Tufail,seorang filosof muslim dari Andalusia di abad ke- 12 M. Diceritakan: Hay -- yang sejak bayi terasing di sebuah pulau tanpa penghuni -- setelah menemukan Tuhan, mencari potongan-potongan pohon pisang untuk menyeberang dari tempat pengasingannya menuju ke tengah masyarakat, lalu menciptakan sejarah. Julizar Kasiri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini