DI negeri kita makin banyak orang menarik batas tegas antara seni dan desain dalam seni rupa. Kita mendengar, umpamanya, orang mengatakan bahwa "seni" ialah wilayah intuisi, emosi, khayal, dan pribadi. Pendek kata, wilayah subyektivitaslah. Desain, konon, ialah wilayah pikiran rasional dan obyektif, wilayah faktor-faktor obyektif, masalah obyektif, pemecahan obyektif. Pemikiran semacam ini bertalian dengan spesialisasi (dan semangat spesialisme) yang sedang tumbuh dalam pendidikan tinggi seni rupa dan dalam lapangan profesi di negeri kita. Seniman kita pun cenderung bekerja menyendiri, inrovert, menghasilkan karya otonom yang berdiri sendiri, tak punya tujuan di luar karya itu sendiri. Sebaliknya, pendesain terlibat dalam kerja sama. Hasil akhir karyanya mempunyai alasan, tujuan, dan nilai, justru dalam kegiatan dan perilaku orang, biasanya orang banyak. Perkembangan perdagangan seni rupa, dan perkembangan galeri seni rupa, mendorong penciptaan karya otonom, yang beroleh tempat terhormat dalam koleksi perseorangan. Jika karya seni "diundang" untuk melengkapi karya desain, misalnya relief di dalam ruangan atau patung di taman, ia merupakan elemen pelengkap atau elemen tambahan yang biasanya datang kemudian, dengan mudah terbedakan dan terceraikan dari karya desain itu sendiri. Itulah "elemen estetik", seperti dinamakan orang di kalangan arsitektur dan seni rupa. Sehubungan dengan itu semua, Pameran Otto Herbert Hajek kemasan Goethe Institut menarik perhatian dan layak jadi bahan pikiran. Pameran ini sedang dikelilingkan di negeri kita. Di Surabaya, lalu di Bandung (30 Maret-7 April, Galeri Soemardja ITB), dan di Yogyakarta, Jakarta, Medan. Kemasan ini berisi 68 buah foto dan reproduksi karya-karya Hajek. Otto Herbert Hajek, 62 tahun, perupa kelahiran Cekoslovakia dan warga negara Republik Federasi Jerman ini, tidak membatasi diri pada sebatas alas patung dan bingkai gambar. Yang amat menarik dalam pameran ini justru karya-karya yang memperlihatkan seni rupa yang "menyerbu" lingkungan. Misalnya, dalam sebuah ruangan galeri, lajur warna yang menyeberangi lantai, merambat pada barang-barang di situ, lalu memanjat dinding. Warna di sini menjelaskan ruang, memberinya watak serta kemampuan untuk menyajikan pengalaman ruang yang menarik. Dalam sebuah ruangan lain, kita dikelilingi oleh bentukan-bentukan trimatra yang kompleks, yang menerobos ke atas dan ke samping, memberi bentuk dan struktur kepada ruangan. Karya Hajek seperti ini bukan "elemen estetik" yang dipasang di suatu tempat: karya itu membentuk atau mencipta tempat. Bukan hanya ruangan. Jalan masuk atau gerbang, bahkan unsur kota seperti pelataran atau lapangan (alun-alun), air pancar (fountain), atau taman, dicipta oleh seni Hajek. Denan warna-warni rata dan gubahan geometrik, bentukan trimatra dan patung-patung lingkungan, peragamian tinggi-rendah lantai, dan semacamnya, Hajek mencipta tempat berkumpul, bagi publik. Tempat ini akrab dan menyenangkan, riah -- bernada optimistik -- tempat warga kota bersantai atau bertemu pribadi dengan pribadi. Lapangan atau pelataran di kota, yang oleh kondisi lalu lintas dan pertimbangan tata kota telah menjadi ruang yang tak berwatak, anonim, tidak menyiratkan daya cipta yang menggugah khayal dan peraaan, dan menolak kehadiran orang, diubah oleh seni Hajek menjadi tempat manusiawi seperti itu. Keterlibatannya dengan kota mendorong Hajek, sehubungan dengan karyanya mengarang istilah seperti "lajur warna, (colour path), "lapangan terstruktur" (structured field), "lapisan ruang", "obyek patung untuk berjalan kaki", "ikonografi urban", atau "sendi ruang" (spatial nodes). Sejumlah karyanya dinamakan "tanda", sebab karya itu menjadi bagian dari struktur lingkungan, memberi ciri kepada tempat, dan merupakan titik penting tempat orang tiba atau berangkat pergi. Istilah-istilah itu menunjukkan masalah-masalah yang dihadapi Hajek sehubungan dengan karyannya. Otto Herbert Hajek mulai sebagai pematung. Tahun 60-an ia jadi terkenal sebagai "seniman jalan" karena mengecat jalan dan rumah-rumah di Esslingen, dengan merah, kuning, dan biru. Ia juga membuat lajur warna di angkasa, dengan pesawat terbang dan uap berwarna. Kemudian ia semakin tertarik pada seni dalam ruang berskala arsitektur, pada "seni publik". Dokumen tentang Hajek dan karyanya sekarang bertumpuk -- dalam katalog, majalah, dan buku. Itu memperlihatkan pentingnya perupa ini serta relevansi karyanya dengan masalah-masalah kota dewasa ini. Dan menurut Goethe-Institut, Oktober yang akan datang Otto Herbert Hajek akan berkunjung ke Indonesia untuk mengadakan lokakarya di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB.Sanento Yuliman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini